Pagi itu, seorang perempuan melaju terburu-buru di atas papan luncurnya. Tubuhnya menahan keseimbangan, kakinya naik turun menambah kecepatan, telinganya sibuk mendengarkan musik dari headphone yang menjepit kepalanya. Ia mengenakan setelan kasual: kerudung hitam, jaket denim berbordir, celana jins biru, sepatu kanvas klasik, dan ransel wadah buku.
Namanya Hala. Hala Masood. Gadis muda yang ketinggalan bis sekolah dan memutuskan berangkat dengan skateboard pembelian ayahnya. Ia menyusuri pinggiran Chicago saat musim gugur tiba. Mengabaikan hawa dingin meski matahari masih bersinar terang. Hala hanya berharap tahun terakhir di SMA-nya bisa dilalui dengan baik dan mendapatkan universitas setelah lulus.
Sekilas tampak biasa-biasa saja. Tapi di balik kehidupan normalnya, ia dihadang masalah pelik yang nyata.
Hala adalah karakter fiktif dalam film yang berjudul sama. Sebagai karakter utama, ia menyimpan identitas dan latar belakang yang unik sebagai warga Amerika. Hala adalah gadis Pakistan-Amerika yang lahir dari orang tua imigran muslim Pakistan. Ia mengalami gegar budaya serius. Di satu sisi, perempuan yang baru beranjak dewasa itu tumbuh dalam lingkungan yang modern dan bebas. Di sisi lain, orang tuanya adalah penganut nilai-nilai lama yang “luhur”, proteksionis, dan selalu berhati-hati supaya tak menjadi omongan komunitasnya.
Hala tumbuh dalam masa pencarian jati diri. Hormon remajanya mendorongnya untuk selalu mempertanyakan perihal keyakinan, batas-batas tradisi, juga eksplorasi seksualitas. Tapi proses itu selalu terbentur dengan aturan orang tuanya.
Ia ingin bebas di saat orang tuanya melarang bermain dengan anak laki-laki. Ia masih ingin menikmati masturbasi saat orang tuanya menggedor kamar mandi supaya segera menunaikan salat Subuh. Ia hanya bisa memandangi gaun ketat tanpa lengan saat ibunya memilihkan baju flanel kotak-kotak yang tak disukainya. Atau ia hanya ingin jatuh cinta dengan teman sekelas kaukasiannya di saat orang tuanya menjodohkannya dengan diaspora muslim-Asia pilihan mereka.
Apa yang lebih menyibukkan dari relasi orang tua-anak yang lahir dari rahim kebudayaan dan tubuh generasi yang berbeda? Kita hanya akan melihat kompromi-kompromi yang saling menyakiti hati dalam ikatan keluarga. Setidaknya itu yang tak pernah luput setiap hari.
“Aku seperti dua bagian yang terpisah. Yang satu bergegas maju tanpa rasa takut. Yang lain mempertanyakan segala hal. Aku bagai orang asing sekaligus keluarga di bawah satu atap, berbicara bahasa yang berbeda, belum lagi berbagi darah yang sama,” kata Hala dalam monolognya yang intim.
Kita bisa menyebut Hala menyimpang, durhaka, amoral, tercerabut dari akar, progresif, adaptif, menolak kolot, visioner, atau apa pun itu. Tapi perlu diketahui bahwa entitas seperti Hala sangat dekat dengan kehidupan kita. Ia nyata sebagai produk dari benturan zaman. Pun dengan para orang tua hari ini yang selalu cemas dengan kemajuan peradaban yang sukar dibendung; ia sering kali memaksa, menerabas, dan menabrak segala nilai yang seharusnya dianut anak-anaknya.
Tak ada yang diuntungkan dalam gap generasi ini. Hanya serpihan pelajaran hidup dan kerelaan satu sama lain yang bisa dipungut keduanya setelah melalui drama dan pergulatan batin yang panjang.
Hala tidak sendiri. Kisah-kisah dengan premis serupa bisa kita jumpai dalam Le Grand Voyage (2004), tentang relasi kaku bapak-anak dalam bingkai perjalanan haji; The Big Sick (2017), drama komedi romantis antara anak imigran Pakistan dengan gadis kaukasian Amerika; atau bahkan Mignonnes (2020), film coming-of-age yang sempat menjadi kontroversi di Netflix, tentang anak imigran muslim Senegal yang tumbuh dalam lingkungan sekuler Prancis. Setidaknya itu yang sudah saya tonton.
Hala (2019) sendiri ditulis dan disutradarai oleh Minhal Baig. Baig lahir di Chicago dari orang orang tua imigran Pakistan. Sama seperti Hala. Sutradara perempuan yang juga menulis naskah untuk serial Ramy dan Bojack Horseman itu membuat Hala dengan tujuan supaya orang-orang seperti dirinya tidak merasa sendiri.
Saya akui film ini sangat emosional. Melalui sinematografi yang rapi dan subtil, didukung music scoring yang sederhana nan intens (orkestra ringan, dominasi biola, suara angin, jangkrik, kesunyian malam), juga narasi yang lekat dan menyentuh; ia mampu membuat fokus penonton terpaku dan tak berjarak.
Konfliknya cukup kompleks sejak memasuki babak pertengahan. Sulit rasanya hanya menaruh empati pada satu karakter sembari menghakimi karakter lain. Entah itu empati kepada Hala (Geraldine Viswanathan) yang senantiasa tertekan secara psikologis; kepada Eram (Purbi Joshi), sang ibu yang penyayang tapi terasa jauh: ia hanya bicara dengan bahasa Urdu pada anaknya dan dibalas dengan bahasa Inggris; atau kepada Zahid (Azad Khan), sang ayah yang lebih moderat, kasar, dan misterius.
Hala mendapat banyak ulasan positif dari para kritikus. Meski begitu, banyak pula kritik yang menganggap bahwa film ini telah ikut mengabadikan stereotipe miring pada para orang tua imigran, terutama dari kalangan muslim dan Asia. Juga semakin mengamini bahwa laki-laki kulit putih adalah standar pasangan idaman bagi perempuan kulit berwarna.
Namun terlepas dari itu, saya kira Hala adalah produk sinematik yang cemerlang dengan sentuhan drama yang lugas dan jujur, alih-alih drama bombastis yang hanya mengejar pasar penonton Amerika belaka. Film ini tayang perdana di Festival Film Sundance pada Januari tahun lalu. Hala baru rilis di bioskop pada November 2019. Kini, film tersebut bisa ditonton di Apple TV+ selaku pembeli hak distribusinya.