Paguyuban Sumarah, barangkali, adalah salah satu paguyuban aliran kepercayaan yang, dilihat dari perkembangan zaman, adalah yang paling bisa mengikuti perkembangannya. Dahulu, menurut R.Ng. Soekinohartono, atau yang dalam Paguyuban Sumarah akrab disapa Mbah Kino, Sumarah itu “Nut jaman kelakone.”
Dalam perkembangannya, ketika ditautkan dengan konteks sosial-politik, tampak bahwa Paguyuban Sumarah lekat dengan peristiwa-peristiwa yang mengitarinya. Taruhlah ritual sujud yang seolah memiliki nama yang berkaitan dengan peristiwa sosial-politik tertentu.
Pada masa perang kemerdekaan orang-orang Sumarah menerapkan apa yang dikenal sebagai sujud perjuangan untuk mengiringi perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaannya. Sujud perjuangan ini identik dengan masa perang kemerdekaan dan sampai Soekarno, yang memerintahkan Mbah Kino untuk membentuk sebuah paguyuban untuk mewadahi orang-orang Sumarah, menjadi presiden pertama RI.
Pada masa perang kemerdekaan inilah ilmu Sumarah terbagi menjadi dua golongan: kasepuhan dan kanoman. Dalam praktik sujud-nya, dua golongan yang sama-sama berakar dari ilmu Sumarah ini memiliki perbedaan pada fungsi dan juga anasir kemanusiaan. Seandainya sujud perjuangan yang identik dengan perang kemerdekaan dapat menghasilkan apa yang disebut sebagai peristiwa karaga, kaswara, dan karasa, dimana orang-orang yang mendapatkannya dapat digdaya, sakti, atau memiliki kelebihan-kelebihan lainnya, yang berdasarkan konteks zamannya memang berguna untuk perang, maka sujud Sumarah-nya golongan kasepuhan adalah khusus untuk manembah kepada Tuhan yang Maha Esa.
Maka tak heran ketika pada masa perang kemerdekaan orang-orang Sumarah membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri. Dua di antaranya adalah Pemuda Sumarah, yang identik dengan Yogyakarta, dan Barisan Berani Mati yang identik dengan Kyai Abdulhamid di Madiun dan keterlibatannya pada peristiwa 10 November di Surabaya.
Ketika zaman berubah, ketika Soeharto dan Orde Baru-nya berdiri, ketika itu pula sujud perjuangan Paguyuban Sumarah berubah menjadi sujud pembangunan. Dan entah kenapa, karena Ilmu Sumarah memang berkaitan dengan “wahyu,” peristiwa-peristiwa seperti karaga, kaswara, dan karasa, seolah hilang dengan berubahnya zaman dan tatanan.
Tak sebagaimana dalam tarekat-tarekat sufi dimana wirid-wirid yang identik dengan alat penjagaan diri dan bahkan alat menyerang diyakini masih berguna hingga kini, ketika tak lagi ada perang, sujud perjuangan dalam Paguyuban Sumarah seolah tak lagi dapat difungsikan karena memang dalam paguyuban yang digawangi oleh trimurti Mbah Kino, Mbah Hardo, dan H. Sutadi itu, tak semuanya dapat diupayakan. Seandainya orang-orang Sumarah memiliki kelebihan-kelebihan tertentu, semuanya itu ada tanpa pernah dikehendaki.
Cukup menarik ketika menilik perkembangan spiritualitas dalam Paguyuban Sumarah dengan konteks sosial-politik. Seperti halnya prinsip khalwat dar anjuman dalam tarekat Naqsyabandiyah, orang-orang Sumarah sama sekali tak memandang atau bahkan menjauhi hal-hal duniawi yang dalam spiritualitas fatalistik dinilai rendah: menjadi petani, pedagang, politisi, orang-orang pemerintahan, seniman, dst.
Namun, meskipun ilmu Sumarah dan Paguyuban Sumarah “Nut jaman kelakone,” ternyata ada yang tetap di dalam prinsip-prinsipnya yang dinamakan Sesanggeman, bahwa keberadaan Tuhan bukanlah sebuah persoalan yang pantas diragukan. Meskipun zaman sudah sedemikian majunya, kecerdasan otak manusia sudah sedemikian canggihnya, dimana konon kehidupan manusia sudah menginjak di zaman revolusi industri 4.0, yang saking dianggap canggihnya apa yang dahulu hanya disediakan oleh agama dan kearifan-kearifan lokal sudah dapat dipenuhi oleh sains dan teknologi, tetaplah tak setiap pertemuan sperma dan ovum dapat menjadi manusia.
Dalam perkembangan sejarah Sumarah, entah seberapa besar keraguan akan kemerdekaan Indonesia ketika itu, entah seberapa tangguh Orde Baru ketika itu, entah seberapa kaya dan seberapa militannya para pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Prabowo-Sandi ketika itu, dan seberapa beringasnya basis massa Islam politik yang sempat mengoyak keberagaman Indonesia ketika itu, tetaplah kehendak Tuhan—sebagaimana yang diyakini orang-orang Sumarah—yang bekerja. Dengan demikian, biarlah anjing-anjing yang rumit dengan konsep-konsep dan praduga-praduganya sendiri menyalak sedemikian rupa, toh logika Tuhan dan kehidupan tak selalu sebangun dengan logika manusia. Dan bagi orang-orang Sumarah, ilmu Sumarah pada dasarnya adalah ilmu manembah.