Wabah Corona menyebabkan aktivitas kemasyarakatan menurun drastis. Setiap orang dihimbau agar berdiam diri di rumah, menghindari bepergian tanpa alasan yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan salat berjamaah di masjid dan surau, terpaksa dihentikan untuk sementara waktu.
Bagi sebagian orang, absennya kegiatan di ruang publik itu mungkin terasa menyiksa. Nongkrong bersama kawan-kawan menjelang akhir pekan, berbincang dengan kolega di kantor di sela-sela rutinitas kerja, atau bertemu rekan bisnis sambil bertukar pikiran, misalnya, tak lagi bisa leluasa diagendakan, tak terkecuali keinginan mencicipi syahdunya salat tarawih rame-rame di luar rumah.
Mereka yang kondisi finansialnya relatif aman pun sepertinya juga tidak terbebas dari belenggu rasa kesepian. Kecukupan materi bukan berarti jaminan selesainya kebutuhan berinteraksi. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu memerlukan komunitas pergaulan agar dinamika kehidupannya berjalan seimbang.
Memang era digital dewasa ini telah berhasil membuang sekat geografis sekaligus menjadikan teknologi komunikasi dapat dinikmati oleh siapa saja, sehingga kita semua mampu bertemu dan bertegur sapa satu sama lain dengan mudah dan murah, secara visual maupun sekedar berupa percakapan suara, melalui beragam platform media sosial.
Namun sulit dipungkiri bahwa suasana tatap muka secara fisik bisa menghadirkan sensasi yang berbeda dibanding bersua via wahana daring. Kehangatan bercengkerama dan keseruan mengekspresikan emosi saat bertemu langsung dengan seseorang cenderung menjadi agak lemah tatkala ruang interaksi berpindah ke layar HP atau komputer. Pendek kata, kebosanan pun tak terelakkan bila sehari-hari dari pagi sampai malam harus “stay at home” laksana pesakitan yang sedang menjalani masa hukuman kurungan, seolah-olah udara kebebasan yang biasanya dihirup tiba-tiba hilang begitu saja.
Ikuti Esai Menarik Ida Fauziyah:
- Sayidah Khadijah, Teladan Kaum Perempuan Pekerja
- Di Samping Berdoa, Mari Kita Tumbuhkan Jiwa Kreatif
- Agama Tanpa Aksi Sosial Seperti Burung Tanpa Sayap
Tetapi pernahkah terpikir bahwa di balik keterkungkungan aktivitas kita sebenarnya terselip anugerah besar, yakni kesempatan memperkuat hubungan keluarga yang sebelumnya mungkin sering terabaikan atau sekedar memperoleh porsi perhatian yang kurang memadai.
Bukankah saat-saat seperti ini justru melahirkan keberlimpahan waktu bagi kita untuk mempererat hubungan dengan pasangan dan anak-anak, sekaligus memahami perkembangan mereka?
Banyak sekali orang yang meyakini pentingnya rapat rutin di kantor, membahas berbagai persoalan baru sambil mengkonsolidasi seluruh elemen penggerak roda perusahaan atau organisasi, tetapi mengabaikan vitalnya acara family time atau “kumpul keluarga” secara berkala dalam rangka memperkokoh ikatan di antara para anggotanya.
Padahal, “our deepest pain and highest happiness always come from home”; penderitaan terdalam sekaligus kebahagiaan tertinggi kita selalu bersumber dari dalam rumah. Jika kita kebetulan berkonflik dengan atasan di tempat kerja hingga tak lagi menemukan titik kompromi, umpamanya, mungkin tak perlu waktu lama untuk memutuskan ganti bos, atau memilih berhenti (resign) dan pindah kerja.
Tapi kalau polemik yang terjadi menyangkut hubungan kita dengan anak, maka sampai kapan pun kita mesti menghadapi dan menuntaskannya, karena tak ada orang waras yang berkeinginan mengganti anak lantaran kelelahan bertikai dengan darah dagingnya sendiri.
Kuatnya keterkaitan emosi di dalamnya merupakan alasan utama, mengapa seseorang pada umumnya lebih mudah menjadi “lumpuh” ketika dilanda prahara rumah tangga ketimbang saat tersandung masalah pekerjaan atau urusan profesional lainnya.
Jadi, tidaklah berlebihan apabila kita berupaya “merayakan” seruan “stay at home” belakangan ini dengan memperkokoh pilar-pilar keluarga kita; meningkatkan keharmonisan hubungan dengan pasangan maupun anak-anak, sehingga kebosanan yang mendera malah bisa berubah menjadi rasa bahagia.