“Tujuan pendidikan harus sedapat mungkin mengembangkan potensi dan menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan sedapat mungkin mencegah hal-hal negatif yang dapat merusak kepribadian anak.” (Hafis Azhari, penulis buku Pikiran Orang Indonesia)
Dalam ilmu tasawuf, kita mengenal istilah “tajalli”, suatu keadaan spiritual ketika seseorang merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, setelah ia terbersihkan dari segala noda dan dosa. Di dunia pendidikan, karakteristik seorang guru adalah cermin spiritual bagi para muridnya. Kualitas keikhlasan guru akan berimplikasi pada seberapa besar kecintaannya mendampingi para murid, untuk meraih ilmu dan hikmah yang diajarkannya.
Berharap adanya gaji dan penghasilan adalah perkara manusiawi, tetapi hal tersebut tidak lantas menjadi penghalang bagi seorang guru dalam menanamkan benih-benih tauhid dan kebaikan, sehingga kualitas pendidikan akan tercapai dengan sebaik-baiknya. Dalam kerangka tauhid ini, seorang guru harus sedapat mungkin membersihkan diri dari sifat ingin dipuji dan dihargai. Sebab, melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik, bukanlah upaya memuaskan keinginan atasan tapi memuaskan kehausan siswa untuk menikmati ilmu pengetahuan.
Sikap merasa haus akan ilmu pengetahuan itu justru harus diteladani dari para guru sendiri. Mereka harus bersemangat dan tidak akan lelah mendalami subtansi materi yang akan diajarkan, serta menggali metode-metode pembelajaran terbaik yang relevan. Dalam perspektif tajalli di atas, guru harus senantiasa memunculkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap materi pembelajaran, apapun mata pelajarannya. Spirit tauhid harus menjadi core curriculum, sehingga siswa dapat mengaitkan kehadiran dan campur tangan Tuhan, bahkan menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) terhadap Tuhannya.
Upaya untuk mengenalkan sifat-sifat Tuhan bukan semata-mata dibaca dan dihafal, tetapi dihayati dan ditanamkan pada jiwa murid, dan teraplikasi dalam tingkah laku dan perbuatannya. Jika mengenal sifat-sifat Tuhan dengan baik, maka mereka akan sampai pada kesadaran bahwa setiap gerak-langkahnya selalu dalam bimbingan dan kasih sayang Tuhan.
Indikator keberhasilan pendidikan bukan sekadar kompetensi dan kecerdasan otak dan pikiran semata, tapi bagaimana tumbuh dalam jiwanya perasaan dekat dan akrab dengan Tuhan. Saya tidak menyatakan bahwa setiap guru wajib mempelajari ilmu tasawuf, tetapi sifat dan sikap bertauhid dan berketuhanan dengan baik, harus menjadi bekal guru dalam menyikapi para muridnya. Sebab, perkara moral dan akhlak tak mungkin lepas dari penanaman kepribadian murid yang didasari tauhid dengan baik. Melalui spirit tauhid itu, maka pengguna jasa pendidikan akan merasa puas dengan kehadiran dirinya selaku tenaga pendidik dan pengajar.
Dengan demikian, upaya untuk terus memperbaiki diri harus menjadi komitmen bagi setiap guru dan pendidik. Karena, menjadi lebih baik, dan menjadi yang terbaik, harus menjadi cita-cita kita semua. Senantiasa kita pun berdoa, semoga kita mampu menebarkan rahmat kebaikan selama hidup, serta mengakhiri kehidupan dunia dalam kondisi baik (husnul khatimah).
Selain itu, kita pun mengenal tauhid “Mulkiyah” yang berasal dari kata “al-Mulk” (kepemimpinan), bahwa kita semua memikul amanat sebagai khalifah yang harus mengembangkan kapasitas kepemimpinan kita. Terlebih sebagai guru dan tenaga pendidik, maka ia wajib meningkatkan kompetensi dalam rangka meningkatkan mutu dan memberi pelayanan terbaik bagi muridnya. Setidaknya, ada empat kompetensi yang diamanahkan undang-undang kepada guru yaitu kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional.
Selain itu, guru juga harus mengisi hari-harinya dengan melipatgandakan kebaikan, karena bagaimanapun seperti yang sudah dinyatakan di atas, bahwa dunia pendidikan adalah sarana menabur benih-benih kebaikan, dan benih terbaik adalah keteladanan dari guru itu sendiri. ***