Sedang Membaca
Sedikit Membincang Metodologi Tafsir Gus Awis dalam Karyanya Hidāyatul Qur’ān
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Sedikit Membincang Metodologi Tafsir Gus Awis dalam Karyanya Hidāyatul Qur’ān

Tafsir Gus Awis

Beberapa bulan terakhir sejak Desember 2023, khazanah dunia pesantren bertambah tinta emasnya. Setelah terbit Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran (3 Jilid), terbit lagi Kitab Hidāyah al-Qur’ān fī Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān (4 Jilid; Dar al-Nibras, 2023, Kairo) karangan Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi Ramli, Lc., MA. Salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur.

Menurut pengakuan penulis yang kini berkhidmat sebagai Katib PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), bahwa penamaan kitab ini merupakan suatu bentuk tabarukannya kepada KH Muhammad Mufid Mas’ud (Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman) yang memberikan nama Hidayatul Qur’an untuk pondok tahfidz al-Qur’an.

Tradisi ulama pesantren menerbitkan karya mereka di penerbit Timur Tengah, khususnya Mesir, telah diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, pada akhir abad 19, Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897) sudah menerbitkan kitab Tafsīr Marā Labīd li Kasyfi Ma’nā al-Qur’ān al-Majād pada 1880 di Makkah.

Pada pertengahan abad 20, ada kitab Turjumān al-Mustafīd karangan Syekh Abdur Rauf as-Singkili (w. 1693), yang diterbitkan oleh Musthafa al-Babi al-Halabi, Kairo, Mesir, pada 1952, dalam bentuk Hāmisy. Dan di abad 21 ini, para pembaca bisa kembali menikmati kitab tafsir ulama Nusantara diterbitkan penerbit Mesir.

Selain pengarang dan kitab yang disebutkan, masih banyak kitab-kitab tafsir al-Qur’an karangan ulama Nusantara, baik yang diterbitkan maupun tidak oleh penerbit Timur Tengah. Satu di antaranya adalah kitab Tafsīr al-Azhār karangan HAMKA atau Haji Abdul Malik Karim Amruhllah (w. 1981), yang diterbitkan Kerjaya Printing Industries, Pte Ltd, Singapura, pada 1990.

Baca juga:  Kitab Ulama yang Hangus Dibakar Istrinya

Metode Tafsir Gus Awis

Berbeda dari ulama-ulama mufassir (ahli tafsir) dari Nusantara lainnya, Gus Awis panggilan akrab Kiai Muhammad Afifuddin Dimyathi Ramli menggunakan metode tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān (menafsirkan ayat al-Qur’an menggunakan ayat al-Qur’an). Metode ini adalah satu di antara jenis metode tafsir bi al-ma’tsūr (menafsirkan ayat al-Qur’an menggunakan dalil riwayat) lainnya.

Beberapa mufassir klasik yang memilih metode tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān adalah Imām Ibnu Katsīr (w. 774) dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, Imām Al-Shan’ānī (w. 1182) dalam kitabnya Mafātih al-Ridhwān fī Tafsīr al-Dzikr bi al-Ātsār wa al-Qur’ān, Imām al-Syanqīthī (w. 1393) dalam kitabnya Adhwā’ al-Bayān fī Īdhāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān, dan lainnya.

Dengan begitu, kitab tafsir karangan Gus Awis ini menawarkan dimensi pembeda dibandingkan para mufassir Nusantara lainnya, seperti Syekh Nawawi, Syekh Abdur Rauf, bahkan HAMKA. Bisa dikatakan pula, Gus Awis adalah mufassir terdepan dari Nusantara, yang menggunakan metode tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān dalam karyanya yang diterbitkan oleh penerbit luar negeri.

Penting untuk dicatat bersama-sama bahwa pengertian tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān tidak terbatas hanya pada penggunaan satu ayat untuk menafsirkan ayat lain. Sebaliknya, ada dua teknis (tharīq al-wushūl) dalam metode tafsir ini, yaitu: Nash Sharīh dan Ijtihād.

Dengan menggunakan teknik nash sharīh, seorang mufassir tinggal menggunakan satu ayat secara langsung untuk menafsirkan ayat lain. Sementara dengan teknik ijtihād, seorang mufassir boleh mengutip pendapat para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in maupun ulama salaf terkait penggunaan ayat.

Dalam kitab Hidāyah al-Qur’ān fī Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān, Gus Awis sebenarnya tidak semata-mata menggunakan teknik nash sharīh melainkan juga ijtihād. Salah satu contohnya adalah ketika menafsirkan ayat-ayat pertama Surat An-Nabā’, Gus Awis mengutip pendapat Imām al-Baghawī (w. 1122), seorang mufassir asal Iran.

Baca juga:  Rihlatus Sairafi: Kitab Arab Pertama yang Menyebut Nusantara

Tidak saja mengutip ulama klasik, Gus Awis juga mengutip pendapat Syekh Muhammad Sayyid Thanthāwī (w. 2010), seorang mufassir al-Qur’an asal Mesir sekaligus ditunjuk sebagai Grand Syekh Universitas Al-Azhar oleh Presiden Husni Mubarok pada 1996 (Jilid 4, hlm. 430).

Dalam menafsirkan ayat 25 surat An-Nāzi’āt, Gus Awis bahkan mengutip pendapat Imām ath-Thabarī (w. 923), seorang mufassir asal Iran yang hidup pada masa kekhalifahan Abbasiyah (Jilid 4, hlm. 441).

Dengan begitu, Gus Awis menyajikan Hidāyah al-Qur’ān fī Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān dalam rupa karya akademik, yang memenuhi standar ilmiah. Kelebihan lain kitab karangan Gus Awis ini menyuguhkan dialektika antara ulama kalam dan ulama fiqih.

Misalnya, ketika menafsirkan ayat 15 surat Al-Muthaffifīn, Gus Awis lebih memilih mengutip pendapat Imām Ibnu Katsīr, di mana Ibnu Katsīr masih harus mengutip pendapat Imām al-Syāfi’ī (w. 802). Kenapa ini dilakukan? Dalam Al-Muthaffifīn, ternyata Imam Syafii tidak mengkaitkan tafsirnya dengan al-Quran dan Ibnu Katsirlah yang menguatkannya dengan ayat al-Quran.

Pendapat Imam Syafii berhenti di kalimat:
وفي هذه الآية دليل على أن المؤمنين يرونه عز وجل يومئذ.
Demikian komentar Ibnu Katsir. Maka disinilah kejelian Gus Awis dengan kitab tafsirnya ini, dialektika antar tokoh dibangun sedemikian ketat dan berjenjang. (Jilid 4, hlm. 461).

Meski demikian, saya membayangkan eksplorasi lebih jauh keselarasan topik dan kepakaran tokoh mungkin sesekali perlu disajikan sebagai diskursus. Misal, Imām al-Syāfi’ī adalah seorang pakar fikih pendiri mazhab Syafi’iyah. Sementara topik yang sedang dikaji adalah bidang teologi (‘ilm al-kalām), tepatnya apakah manusia kelak di akhirat akan melihat Allah swt secara langsung atau tidak.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (38): al-Luma’, Kemilau Ushul Fiqh

Memang perdebatan teologis semacam itu sudah banyak dibahas dalam disiplin ilmu kalam atau teologi Islam. Beberapa mazhab teologis pun bermunculan, seperti Mu’tazilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Qadariah, Jabariah, dan lainnya. Mungkin karena alasan ini, Gus Awis sengaja tidak mengeksplorasi wacana teologis ini dari para pakarnya sendiri.

Selain mungkin tentu ada yang lebih prinsip. Gus Awis sepertinya hanya akan mengeksplorasi ayat-ayat yang itu jika berkaitan dengan ayat yang lain, atau sumber rujukan mengutip ayat yang lain. Sebagai komitmen menggunakan model penafsiran al-Quran bil Quran.

Dengan hadirnya kitab tafsir ini, Gus Awis telah berhasil membangkitkan gairah intelektual khususnya di kalangan pesantren. Karya ini di satu sisi turut memperkaya khazanah keilmuan Islam, khususnya di bidang tafsir al-Qur’an. Di sisi lain, karya tersebut memantik respon balik, baik pada tataran diskursus maupun aksi.

Pada level diskursus, karya Gus Awis ini bisa diperbincangkan melalui forum-forum diskusi dan bedah karya, sehingga kekayaan informasi di dalamnya dapat digali secara maksimal. Namun, pada tataran aksi, para intelektual pesantren (Gus maupun Kiai) tertantang untuk turut meramaikan penerbitan buku karya ulama Nusantara di luar negeri. Dengan begitu, ilmu akan terus berkembang.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top