Masih terbilang satu rumpun dengan banyak etnis di Indonesia adalah negara yang terkenal dengan menara kembarnya, Malaysia. Wilayahnya terbagi ke dalam dua bagian besar Malaysia Barat dan Timur. Masing-masing wilayah ini berbatasan langsung dengan dua pulau Indonesia, Sumatra dan Kalimantan. Karenanya, tak heran jika di sana dijumpai dua suku Indonesia dengan jumlah yang besar, Minang dan Bugis.
Kedekatannya secara geografis ini nampaknya juga berpengaruh terhadap kultur dan budaya. Hal ini yang agaknya jarang diketahui, hingga tak jarang menimbulkan konflik. Batik misalnya, adalah salah satu warisan budaya yang juga dimiliki oleh Malaysia. Hanya, sebagaimana batik di Indonesia pada umumnya, motif batik di Malaysia memiliki corak khasnya tersendiri.
Perlu diketahui pembaca sekalian, saat ini pihak Indonesia yang diwakili oleh Dinas Kebudayaan dan Pendidikan telah mengajukan seni pantun sebagai warisan budaya bersama, Indonesia, Malaysia dan Brunei. Kemarin saat saya berkunjung ke KBRI Indonesia untuk Malaysia, salah satu staf menyampaikan bahwa pengajuan itu telah sampai dan sedang dalam proses di UNESCO. Seperti apa hasilnya, kita tunggu bersama-sama.
Satu hal yang saya anggap menarik dari negera tetangga ini adalah bagaimana sebuah warisan budaya dilestarikan dan dipertahankan. Warisan budaya yang dimaksud di sini adalah pegon. Sekilas tentang pegon, adalah salah satu aksara penulisan yang menggunakan huruf Arab namun dengan bahasa yang justru tidak bahasa Arab. Ada beberapa macam pegon, melihat dari adopsi bahasa yang dipergunakan dan juga pakem metode transliterasinya.
Di kalangan pesantren di wilayah Jawa Tengah misalnya, santri-santri akan sangat familiar dengan pegon jawa, aksara pegon dengan bahasa Jawa. Ini mungkin akan berbeda dengan mereka yang berada di Jawa bagian Barat yang lazimnya menggunakan bahasa Sunda atau Madura dengan bahasa Maduranya dan lain sebagainya.
Nah untuk Malaysia yang cakap Melayu ini, pegon yang digunakan juga disebut dengan pegon Melayu. Pakem metode penulisan menurut transliterasinya juga mungkin ditemukan sedikit perbedaan, namun tidak begitu banyak, dan tetap dapat dikenali bagi mereka yang telah familiar dengan aksara ini. Perbedaannya mungkin hanya sebatas pada penggunaan huruf ya’ atau waw sebagai pengganti vokal ‘i’ dan ‘u’, atau pada transliterasi konsonan yang tidak dijumpai pada aksara Arab murni, seperti ‘p’ dan ‘g’, dan sebagainya.
Oleh Malaysia, pelestarian warisan budaya ini diwujudkan, salah satunya, dalam penggunaannya dalam beberapa penulisan nama sebuah instansi, lembaga, petunjuk arah. Sehingga bagi pembaca sekalian yang kebetulan sedang melakukan trip, maka cobalah perhatikan dan anda bakal sering berjumpa dengan tulisan ini.
Dalam penggunaannya, tulisan beraksara pegon ini lazimnya ditulis sebagai terjemah dan bahasa pendamping. Malaysia sebagai negara yang tergolong negara maju memang telah menggunakan bahasa Inggris, apalagi didukung fakta bahwa ia merupakan negara persemakmuran United Kingdom, sehingga bahasa Inggris menjadi bahasa kedua resmi negara, setelah bahasa Melayu. Sehingga dalam sekali penulisan nama instansi misalnya akan dijumpai empat tulisan sekaligus, aksara abjad dengan bahasa Melayu dan dengan bahasa Inggris, aksara Arab dengan bahasa Arab dan dengan bahasa Melayu. Nah yang tersebut terakhir ini adalah aksara pegon yang alfaqir maksudkan.
Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), salah satu universitas peringkat kedua di Malaysia setekah Univeristi Malaya (UM), misalnya, juga menerapkan hal yang demikian. Setidaknya dua kali alfaqir menjumpai penulisan ini, yakni di Fakulti Pengajian Islam dan di komplek Kolej Pendeta Za’ba.
Pelestarian budaya semacam ini mengingatkan alfaqir saat berkunjung ke Yogyajarta, dimana setiap nama jalan, setidaknya, menggunakan aksara jawa, hanacaraka, selain huruf abjad. Namun penggunaannya tidak dapat menyeluruh dan masiv sebagaimana di Malaysia. Paling hanya berkutat di wilayah Yogya saja, tidak diwilayah lain yang mengenal aksara Jawa. Maka tidak heran jika eksistensi warisan budaya semacam ini di negeri kita masuk dalam daftar yang harus diselamatkan.
Dalam kasus yang sama, pegon, di pesantren misalnya, banyak saat ini santri-santri yang mulai dipertanyakan kemampuannya akan penulisan aksara pegon, apalagi yang sesuai pakem dan standar yang semestinya. Sewaktu saya mondok saja, sudah banyak santri yang memberi makna gandul dengan tulisan gedrik alias aksara Latin. Karenanya menurut saya sendiri, pemberian makna gandul pada kitab-kitab turats memiliki arti lebih dalam melestarikan aksara pegon ini, bukan sekedar mengikat makna per kata saja.
Maka benar adanya, budaya peninggalan leluhur akan terus lestari bagi mereka yang sungguh menghargainya dengan terus mempelajari, mempraktekkan, dan menjaganya dalam bentuk-bentuk yang lain. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penulis ini nampak tak begitu faham ikhwal Alam Melayu. Kami orang Melayu Sumatera dan banyak negeri Melayu lain menyebutnya ‘Arab Melayu’, manakala Aceh, Semenanjung, termasuk Patani, menyebutnya ‘Jawi’. Arab Melayu ditemukan sejak abad 12-13, sementara Pegon (dari bahasa di India yang bermakna ‘menyimpang’, yang kemudian jadi label untuk model Arab Melayu tapi untuk bahasa Jawa) mengadopsinya di abad 18-19.