Pukul sembilan malam, saya mulai menjauh dari keramaian kota menuju sebuah desa di pinggiran Situbondo. Suasananya sepi, jalanan aspal perlahan mulai berganti tanah berdebu. Udara malam yang dingin mulai menusuk kulit hingga ke tulang. Saya terus melaju menyusuri lorong-lorong sepi dalam cengkeraman gelap malam.
Lamat-lamat terdengar suara lelaki tua seperti sedang bernyanyi namun tak jelas nada dan lafal yang diucap. Semakin lama, sumber suaranya semakin jelas terindra. Suara itu menuntun langkah saya menerobos kegelapan menuju pelataran rumah yang cukup ramai.
Mata saya dipaksa fokus kepada sumber suara yang diamplifikasi oleh speaker toa. Tampak duduk bersila sejumlah orang sepuh berkopyah, tertunduk membaca kitab dengan lantunan syair mamaca yang jernih, lincah nan lembut.
Sekelompok sepuh ini tampak khusyuk membaca dan menerjemahkan isi bacaan secara bergantian. Yang lain, duduk tenang menunggu giliran membaca sembari mengepulkan asap rokoknya yang pekat. Suaranya menguasai ruang udara malam di desa. Melalui kekuatan corong toa yang dipancang ke beberapa sudut desa, mereka tampak seperti orang tua gagah yang sedang mendongeng dan memberikan petuah kepada anak cucunya yang hendak tidur.
Suara toa terus menggema lantang ke sudut-sudut desa, menerabas sunyinya malam, menembus dinding-dinding rumah, dan melewati lorong desa yang sepi. Para pendengar yang ada di lokasi duduk menyimak dan merenung, ada yang menikmatinya dengan berbaring dan telentang, ada pula yang mendengar sembari menyiapkan konsumsi pernikahan untuk esok hari.
Malam ini kami lewati bersama keriuhan suara orang tua. Mereka terus khusyuk membaca kitab hingga subuh menjelang, hingga suara adzan menggantikan singgasana kekuasaannya.
***
Beberapa waktu lalu, polemik tentang toa masjid kembali ramai diperbincangkan, terutama berkaitan dengan toleransi dan kenyamanan masyarakat di wilayah urban. Polemik ini bukanlah hal yang baru, dari tahun ke tahun masalah penggunaan toa dalam konteks masyarakat urban selalu menjadi masalah klise. Lalu bagaimana dengan masyarakat rural?, apakah penggunaan toa juga bermasalah? Bagaimana mereka memaknainya, khususnya dalam syiar Islam?
Seperti yang saya gambarkan melalui catatan etnografi di atas, di wilayah masyarakat Madura, seperti di Situbondo (Jawa Timur), toa memiliki peran dan makna yang cukup penting khususnya berkaitan dengan syiar Islam dan tradisi kebudayaan-nya. Salah satu tradisi yang berhubungan dengan syiar Islam dan erat kaitannya dengan penggunaan toa di ruang-ruang publik adalah kesenian mamaca.
Mamaca merupakan seni pertunjukan yang berkembang di lingkungan masyarakat Madura. Bentuknya hampir sama dengan seni macapat Jawa, bedanya kesenian ini menampilkan dua peran penting yakni tokang maca (pembaca) dan tokang tegghes (penafsir).
Sorang pembaca (tokang maca) memiliki peran membacakan syair dalam kitab, dengan cara ditembangkan (dilagukan) menggunakan kaidah tembang tertentu seperti kasmaran, artatè, sènom, dan sebagainya. Sementara penafsir (tokang tegghes) berperan menginterpretasi makna dan menerjemahkan ke dalam bahasa Madura dengan gaya teatrikal laiknya seorang dalang.
Kitab mamaca sebagian besar ditulis menggunakan huruf Arab pegon, berbahasa kawi (Jawa sastra), namun sebagian kecil di Situbondo juga ditemukan kitab mamaca yang berbahasa Madura. Jenis kitabnya bermacam-macam antara lain kitab Pandhâbâ (kisah pandawa lima), Nur Bhuwwât (kisah nabi Muhammad), Mè’rad (Isra’ Mi’raj), Marsodo (cerita Marsodo), Juhar Manik (cerita Johar Manik), dan Babad Besokè (Babad Besuki).
Dalam budaya Madura, mamaca memiliki peran penting khususnya dalam ritus tradisinya, baik ritus peralihan, musiman (siklus panen dan laut), rokat (ruwatan), maupun peringatan hari besar Islam. Misalnya, pernikahan, khitanan, kandungan, rokat tasè’ (selamatan laut), rokat pandhâbâ, selamatan desa, Isra’ Mi’raj, dan Maulid Nabi.
Tradisi mamaca berkaitan erat dengan peristiwa syiar Islam sejak jaman walisanga. Ia digunakan sebagai media syiar para wali untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam pada masyarakat lokal khususnya Madura. Teks-teks manuskrip tersebut berisi kisah-kisah reflektif dan kritis yang bermuatan nilai-nilai Islami bernuansa lokal. Sebagian besar menarasikan gambaran kompleksitas kehidupan manusia. Orang Madura biasa memaknainya sebagai ngaji abâ’ (mengenal diri).
Kisah-kisah Islami yang dekat dengan kehidupan masyarakat mengantarkan pemahaman orang Madura untuk mengenali jati dirinya, dan membentuk kepribadiannya. Ketika saya berkunjung ke rumah KH Ismail di Paberasan, Sumenep, beliau mengatakan bahwa mamaca adalah sebuah proses membentuk adhâb (membentuk tatakrama) bagi orang Madura.
Tidak seperti seni pertunjukan lainnya yang dinikmati secara audiovisual, mamaca lebih banyak dinikmati secara auditif (didengar). Mamaca merupakan jenis seni syiar resitatif (bermedium suara), yang tentunya memiliki tujuan untuk disebar luaskan kepada masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Madura, seni mamaca berhubungan erat dengan penggunaan perangkat pengeras suara. Ihwal ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan syiar, dengan harapan supaya dapat didengar oleh banyak orang.
Sebagian besar pergelarannya dilakukan pada malam hari, ketika suasana tenang dan sepi. Beberapa pelaku mamaca mengatakan bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk membaca (merefleksikan diri) karena pikiran kita jauh lebih tenang dan siap menerima informasi.
Penggunaan toa pada seni mamaca sebetulnya juga mempertimbangkan aspek gender, karena kehadiran toa pada akhirnya memberikan peluang kepada perempuan Madura untuk turut menikmati kesenian ini. Sebagaimana yang kita pahami bahwa keluar rumah di malam hari bagi perempuan Madura adalah suatu hal yang tabu.
Penerimaan bunyi toa di malam hari tentunya tidak bisa di-gebyah uyah di setiap tempat. Penerimaan ini umumnya berlaku pada lingkungan masyarakat Madura yang sudah akrab dengan tradisi mamaca. Mereka telah terbiasa dengan ekosistem bunyi mamaca di malam hari, dan tidak menganggapnya sebagai suara distorsi (noise) yang mengganggu waktu istirahat.
Beberapa orang mengatakan kepada saya, bahwa suara mamaca justru lebih cepat membuatnya tertidur. Sebagian lain mengatakan bahwa mendengar mamaca membuat hatinya lebih tenang, bahkan ada juga yang meyakini akan mendapatkan berkah dan pahala.
Penggunaan toa sebagai pengeras suara dalam mamaca merupakan simbol dari masyarakat komunal. Toa dan mamca adalah dua piranti yang penting dalam praktik kebudayaan masyarakat Madura. Dan, karena peran itulah yang membuat keduanya tetap lestari hingga saat ini.