Pada essai kali ini saya akan mengajak pembaca untuk merenungkan kata-kata Al-Ghazali berikut:
فَالتَّرَنُّمُ بِالْكَلِمَاتِ الْمُسَجَّعَةِ الْمَوْزُوْنَةِ مُعْتَادٌ فِى مَوَاضِعَ لِاَغْرَاضٍ مَخْصُوْصَةٍ تَرْتَبِطُ بِهَا اَثَارٌ فِى الْقَلْبِ
Mendendangkan kalimat-kalimat sajak yang tertata itu adalah hal yang biasa dilakukan pada beberapa tempat untuk tujuan-tujuan tertentu yang nantinya akan berdampak meninggalkan atsar/bekas dalam hati.
Pada tulisan sebelumnya saya sudah menjelaskan bahwa musik itu musti meninggalkan efek khusus dalam hati. Baik buruknya tergantung isi dari lagu yang didengarkan. Al-Ghazali mengelompokkannya ke dalam tujuh tempat.
Bagian pertama dari tujuh tempat yang dijelaskan Al-Ghazali ialah nyanyian Haji. Nyanyian yang didendangkan masyarakat Arabia ketika datang musim haji.
Seperti halnya di negara-negara lain, masyarakat Timur Tengah memiliki keunikan musik tersendiri. Dan seperti yang lainnya, jenis musik Timur Tengah beraneka ragam, terutama musik-musik yang termasuk ke dalam musik Islami.
Senandung nyanyian haji tersebut dipraktekkan masyarakat Arabia dan sekitarnya sembari mengitari beberapa kawasan setempat dengan membawa rebana dan alat musik tradisional lainnya. Tujuannya satu, yakni menggelorakan dan membakar rindu serta semangat untuk pergi haji ke baitullah. Lantas, bolehkah mendendangkan lagu demikian?.
Jika haji merupakan amal qurbah (yang dapat mendekatkan diri kepada Allah), membuat orang lain rindu dan semangat melakukan ibadah haji dan merupakan sesuatu yang baik, apakah tidak boleh mendendangkan lagu yang digunakan sebagai perantara untuk menggelorakan rasa rindu untuk mengunjungi baitullah?.
Di era milenial sekarang ini, pernyataan Al-Ghazali tersebut diafirmasi oleh masyarakat Mesir. Musim haji oleh masyarakat Mesir memiliki tempat yang agung di hati mereka. Mereka bernyanyi dan bergembira menyambut datangnya musim haji. Tidak hanya itu, masyarakat Mesir juga melakukan kegiatan lain seperti menghias rumah orang-orang yang pergi melaksanakan haji.
Rasha Salama, kritikus seni dan peneliti Mesir mengatakan: “Lagu haji yang dinyanyikan oleh masyarakat Mesir memiliki ragam variasi. Lagu tersebut dinyanyikan ketika ada kerabat atau tetangga mereka pergi ke tanah suci. Nyanyian tersebut akan terus menerus didendangkan di rumah orang yang sudah ditetapkan akan melaksanakan ibadah haji, sampai ia kembali dari melakukan ritual ibadah haji. Baik laki-laki maupun perempuan akan mengiringi para peziarah baitullah sampai tiba di bandara, dan sekembalinya pula mereka disambut dengan nyanyian dan genderang musik”.
Menurut Salama, di antara lagu yang sering didendangkan kaum hawa ketika musim haji ialah:
رَايْحَةْ فَيْن يَا حَاجَة , يَا اُمَّ شَال الْقَطِيفَة , رَايْحَة اَزُوْرُ النَّبِي مُحَمَّد وَالْكَعْبَةَ الشَّرِيْفَة وَارْكَبِى يَا حَاجَةْ وِرْدِى غِطَاكِى ما يرعبكيش المالح (اي لا تخافي من امواج بحر الاحمر) دا ولدك في طولك (اي ابنك الذي بصحبتك صار كبيرا) وأركبي يا حاجة وِرْدِى غِطَاكِى .. ما يرعبكيش الجمل ولدك وراكي
Yang kalau diartikan menjadi: “Kamu hendak pergi kemana wahai Hajjah (perempuan yang hendak pergi haji), kamu hendak mengunjungi Nabi Muhammad dan Ka’bah yang mulia. “Naiklah, oh Hajjah merah muda sampulmu”, jangan engkau takut pada ombak laut merah. Anakmu yang selalu menyertaimu kini telah besar, naiklah wahai Hajjah, merah muda sampulmu, jangan engkau takut unta akan menakut-nakuti anakmu di belakangmu.
Lagu tersebut diciptakan oleh seorang Musisi Mesir yang bernama Nurullah Munir, yang intinya ialah sebagai wujud rasa syukur untuk mereka yang pergi melaksanakan ibadah haji.
Peneliti Mesir, Amal Musthafa Ibrahim, dalam bukunya “Municipal Singing in Egypt”, mengatakan bahwa “lagu-lagu populer Mesir mengungkapkan karakter Mesir, mengekspresikan karakteristik masyarakat, adat istiadat, tradisi dan bahkan hati nuraninya”.
Dan masih banyak lagu-lagu lain mengenai nyanyian haji seperti lagu khudzuni ma’akum ya zuwari-n-nabi (bawalah aku bersamamu wahai para penziarah Nabi), karya Jabir Al-Azb (Gaber El 3azab).
Kembali pada pembahasan “bagaimana hukumnya”?. Menurut Al-Ghazali, nyanyian haji dihukumi mubah selagi tepat sasaran. Maksud dari tepat sasaran tersebut ialah tidak sampai menyakiti mereka yang tidak memiliki biaya untuk pergi melaksanakan Ibadah haji, karena dapat menyinggungnya.
Selain itu saya saya juga menemukan satu keterangan dalam Kitab Qut Al-Qulub, karya Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah (w 386 H). Ia menjelaskan adanya perbedaan antara lagu qasidah dan lagu al- ghina. Ia menyebutkan bahwa al-ghina ialah lagu yang biasa dibawakan oleh perempuan-perempuan muda, yang isinya itu guyonan dan hawa nafsu serta menarik syahwat. Sedangkan qasidah ialah lagu yang isinya dapat mengingatkan kepada Allah, memberi petunjuk, membuat rasa rindu kepada Allah, dan di dalamnya juga disebutkan bagaimana hal-ihwal orang-orang yang termasuk ke dalam maqom as-Siddiqin.
Dalam hal ini musik haji saya rasa termasuk ke dalam golongan qasidah, karena selain merupakan wasilah/perantara untuk menggelorakan rasa rindu pada baitullah, juga sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya untuk mengunjungi tanah suci. Wallahu a’alam.
Referensi :
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya Ulum Ad-Din. 2011. KSA: Daar Al-Minhaj.
Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah. Qut Al-Qulub fi Mu’amalati al-Mahbub wa wasfi thariq al-Murid ila Maqam at-Tauhid. 2001. Kairo: Maktabah Daar At-Turats.
الاغانى الشعبية فى وداع واستقبال الحجاج فى صعيد مصر