Sesuatu dapat dikatakan sebagai mukjizat apabila sekurangnya memenuhi tiga syarat. Pertama, adanya tantangan. Yaitu tuntutan untuk diadakannya sebuah perlombaan atau pertandingan. Kedua, adanya dorongan untuk melayani (membalas) tantangan. Ketiga, tidak ada penghalang untuk melakukan dua syarat sebelumnya.
Sementara itu Masmu’ Ahmad Thalib menyebut tujuh syarat: Pertama, keluar dari kebiasaan. Kedua, dilakukan oleh seseorang yang mengklaim sebagai nabi atau rasul. Ketiga, dibarengi dengan klaim nubuwah dan risalah. Keempat, tidak dapat dikalahkan oleh tantangan musuh. Kelima, sesuai dengan apa yang diklaim oleh orang yang mengaku sebagai nabi atau rasul. Keenam, mukjizat yang timbul tidak justeru membohongkan orang yang mengaku sebagai nabi atau rasul, dan ketujuh, para nabi dan rasul menantang mereka yang mengingkari nubuwah dan risalah dengan mukjizat itu.
Nabi Saw. menantang orang Arab dengan Alquran melewati tiga fase. Pertama, Nabi Saw. menantang mereka dengan keseluruhan Alquran dan dengan redaksi tantangan yang umum mencakup orang Arab dan non-Arab, bahkan jin dan manusia agar mereka bergabung mengerahkan segenap kemampuannya untuk membuat sesuatu yang semisal dengan Alquran. Seperti digambarkan dalam QS. al-Isra`/17: 88. Kedua, Nabi Saw. menantang mereka untuk membuat sepuluh ayat saja yang semisal dengan Alquran. Sebagaimana diceritakan dalam QS. Hud/11: 13-14. Ketiga, terakhir, Nabi Saw. menantang mereka untuk membuat satu surat terpendek saja yang semisal Alquran. Seperti diceritakan dalam QS. Yunus/10: 38 dan al-Baqarah/2: 23.
Sejatinya, mukjizat Alquran tidak sebatas tantangan Nabi Saw. kepada orang Arab untuk membuat suatu bacaan yang sebanding atau, paling tidak, mirip dengan Alquran seperti disebutkan di atas. Kalau pengertiannya serupa itu malah mempersempit hakikatnya yang sedemikian luas dan ideal. Sampel di atas lebih menggambarkan kemukjizatan Alquran pada segi uslub (redaksional) ayat-ayat Alquran saja. Padahal Alquran memuat multi dimensi mukjizat. Dalam keyakinan penulis, tema-tema pokok (al-mahawir; the major theme) yang termuat dalam Alquran, itulah dimensi-dimensi kemukjizatan Alquran.
Hal ini segera mendorong kita untuk lebih lanjut membahas segi-segi kemukjizatan Alquran (wujuh i’jaz Alquran). Namun sebelum sampai pada sub-bahas tersebut, dipandang perlu terlebih dulu menunjukkan beberapa bukti kemukjizatan Alquran, sebagai pijakan bagi pembahasan tentang segi-segi kemukjizatan Alquran lebih lanjut.
Ada beberapa fakta historis dan sejumlah nas yang dapat kita nilai sebagai bukti bahwa Alquran adalah benar-benar Kitab Mukjizat. Di antaranya: Pertama, keyakinan kita bahwa Alquran yang sekarang kita baca, yang terjaga dan termaktub dalam lembaran-lembaran mushhaf adalah benar- benar Alquran yang dibawa Muhammad Saw., yang beliau bacakan kepada kaum sezamannya dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Keyakinan ini berdasar atas kenyataan bahwa Alquran diterima dan disampaikan dengan sandaran sanad yang mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya, hal mana memberi jaminan akan orisinalitas dan otentisitas Alquran.
Selain kemutawatiran periwayatannya, otentisitas Alquran lebih diperkuat lagi dengan kenyataan historis bahwa Alquran segera dikodifikasi dari catatan-catatan yang masih tercecer tidak lama setelah Nabi Saw. meninggalkan generasi awal umat ini. Hafalan-hafalan para penghafal yang tidak pernah luput dari generasi-generasi semakin memperkuat keutuhan dan kemurnian Alquran yang telah terkodifikasi dalam catatan.
Kedua, setelah kita yakin akan kemurnian Alquran, dengan sendirinya kita mesti percaya atas kebenaran warta yang dibawanya. Dalam QS. al-Baqarah/2: 23-24, Hud/11: 13-14, al-Isra`/17: 88 dan al-Thur/52: 33-34, Alquran mengabarkan bahwa ia pernah menantang orang Arab yang terkenal dengan kesusastraannya yang tinggi untuk membuat rangkaian kata berupa ayat atau surat yang semisal dengan Alquran. Mereka tidak mampu melakukan apa yang diminta Alquran itu.
Adanya tantangan Alquran dan ketidakmampuan pihak yang ditantang, dua hal yang merupakan syarat terwujudnya mukjizat, merupakan bukti bahwa Alquran itu betul-betul merupakan mukjizat. Jika mereka tidak mampu untuk menciptakan ayat atausurat yang semisal dengan Alquran, maka mereka lebih tidak akan sanggup lagi untuk mendatangkan makna-makna, ajaran-ajaran dan dimensi-dimensi seperti yang dikandung oleh ayat-ayat Alquran, sampai kapan pun.
Ketiga, pengaruh Alquran terhadap orang Arab. Pengaruhnya terhadap orang Arab musyrikin terlihat pada pengakuan mereka akan keindahan gaya dan tata bahasa serta susunan redaksionalnya yang sangat memikat. Kenyataan inilah yang memaksa al-Walîd bin al-Mughîrah al-Makhzumî untuk mengakui dan berterus terang kepada Abu Jahal bahwa Alquran adalah al-haqq (kebenaran) yang luhur dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Sedang pengaruhnya terhadap orang Arab yang beriman, Alquran lewat pendidikan yang diberikan pembawanya kepada para sahabat, telah mengubah jiwa mereka yang sebelumnya sarat dengan nilai-nilai buruk jahiliah menjadi jiwa-jiwa suci yang telah mencatat revolusi mental-sosial maha dahsyat dalam sejarah.
Demikian beberapa bukti kemukjizatan Alquran yang dapat dijadikan landasan historis dan normatif ketika membahas aspek-aspek kemukjizatan Alquran. (RM)