Lahirnya karya tulis terkhusus dalam kesusastraan sangat erat kaitannya dengan latar belakang atau kondisi sosial yang pernah atau sedang dialami penulisnya. Dengan gamblang kita bisa lihat dan rasakan potret Madura pada puisi-puisi D. Zawawi Imron; nuansa alam pedesaan dalam novel-novel Ahmad Tohari; atau keberanian Pramoedya Ananta Toer, yang hidup di bawah tekanan penguasa, ketika menggemakan suara “orang-orang kecil” dengan penanya, dengan ketajaman dan kedalaman kata-katanya.
Hal serupa juga bisa kita jumpai dalam karya-karya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Sebagai orang pesantren, kiai, sekaligus sastrawan, Gus Mus sangat piawai menanamkan spirit keislaman dan memberi sentuhan nilai-budaya pesantren dalam setiap anggitanya. Salah satu yang bisa kita jadikan contoh adalah kumpulan cerpennya yang berjudul Lukisan Kaligrafi. Dalam buku yang memuat lima belas cerita pendek ini, Gus Mus begitu arif menyikapi dan meluruskan konsep keberagamaan di negeri ini. Sejak halaman pertama, kesadaran kita digugah berkali-kali. Kita diajak menilik ke dalam diri. Merenungi kealpaan dan kerak yang mengendap dalam hati.
“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kaulihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan.” (Halaman 10).
Kalimat-kalimat yang kebak oleh debar religi itu diungkapkan Kiai Tawakal kepada Gus Jakfar, tokoh yang dalam cerpen berjudul Gus Jakfar digambarkan sebagai seorang yang oleh Allah dianugerahi kemampuan dapat mengetahui peristiwa yang akan terjadi, atau yang akrab kita kenal dengan ilmu kasyaf. Mulanya, Gus Jakfar bermaksud berguru kepada Kiai Tawakal, tapi niatnya berubah ketika ia melihat dengan jelas di kening Kiai Tawakal terbentang tulisan “Ahli Neraka”. Hal itulah yang mengganjal hatinya dan mendorongnya menyelidiki sebab yang ia lihat. Alih-alih menjawab pertanyaan yang selama ini menggelayuti pikirannya, justru ia mendadak mendapat siraman rohani.
Kita sering melampaui batas bertindak seolah “Tuhan” yang bisa menilai isi hati dan mengukur kadar keimanan seseorang. Keretakan ukhuwah islamiah yang semakin melebar belakangan ini banyak disebabkan egoisme mempertaruhkan kebenaran diri sendiri atau kelompok masing-masing. Kita yang dalam setiap aktifitas kebaikan selalu menyebut sifat kasih sayang Allah yang termaktub dalam basmalah, justru dengan mudah melontarkan cacian, celaan, atau bahkan mengafirkan saudara sendiri.
Masih dalam cerita yang sama, Kiai Tawakal melanjutkan petuahnya, “Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.” (Halaman 11).
Cobaan tak harus selalu berupa getir dan pahit dalam hidup. Manis anugerah yang melekat pada diri pada hakikatnya juga ujian. Karena kuman-kuman berupa takabur, ujub dan sesamanya, lebih mudah mengotori batin seorang yang dianugerahi kelebihan dan keistimewaan oleh Allah dibanding seorang yang diliputi kekurangan dan keterbatasan. Kita dituntut selalu bijak menyikapi dua variasi cobaan itu, agar kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki sama-sama mampu menjadi tangga yang dapat membantu kita menggapai rahmat-Nya.
Lebih luas lagi, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang sering kali tak lebih dari sekadar formalitas belaka juga menjadi sorotan. Dalam cerpen Amplop-Amplop Abu-Abu misalnya, betapa Gus Mus membuat kita sadar bahwa pengajian-pengajian yang diharap mampu membawa angin segar dalam transformasi perilaku buruk seseorang pada kebaikan justru sering kali hanya merupakan seremoni penuh kehampaan; tak ada makna, tak memberi dampak apa-apa. “Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental yang diberi pengajian.” (Halaman 22).
Adapun cerpen yang menjadi judul buku ini, Lukisan Kaligrafi, juga tak kalah menarik. Berkisah tentang tokoh Ustadz Bachri yang awalnya hanya pandai menggores khat Arab dan tak mengerti apa-apa tentang dunia lukis tiba-tiba menjadi bintang baru dalam bidang seni ini.
Semua berawal ketika teman lamanya yang juga seorang pelukis melihat tulisan rajah yang tertempel di pintu rumahnya, lalu memintanya untuk melukis kaligrafi untuk kemudian diikutsertakan dalam sebuah pameran. Namun di luar dugaan, lukisan Alif-nya mampu menjadi primadona dan menarik perhatian publik. Kesuksesannya ramai diberitakan di media massa. Koran-koran memampang fotonya. Tapi yang aneh pada semua foto itu adalah lukisannya sama sekali tak ada yang terlihat. Sang Ustadz seakan berdiri di samping kanvas kosong.
Ustadz Bachri menuturkan tentang ide, proses, dan prinsip karyanya. Ia mengatakan bahwa pada mulanya hendak melukis lafaz Allah, karena memang cat yang tersisa hanya tinggal dua warna: putih sebagai latar dan silver menjadi pemolesnya. Karena posisi Alif sebagai huruf pertama yang ia lukis tepat berada di tengah kanvas, ia pun mencukupkannya. Menurutnya, mungkin itulah sebab mengapa lukisannya tak tampak ketika dipotret.
Bila kita tarik pada kehidupan nyata—namun ini sebatas pembacaan saya yang tentu berpotensi keliru—mungkin seperti ini: bila kita hendak melakukan sesuatu tulus karena Allah seperti tamsil lafaz Allah yang hendak dilukis Ustadz Bachri, maka yang pertama kali harus kita lakukan adalah mendasarinya dengan kesucian niat sebagaimana representasi warna putih lalu memolesnya dengan keanggunan sifat rendah hati bagai kelembutan warna silver seperti cerita di atas. Agar segala yang kita persembahkan ke hadirat-Nya tak menguap sia-sia.
Secara umum, buku ini bisa disebut sebagai bagian dari dakwah ramah lingkungan. Seruan yang mengajak pada keanggunan ajaran Islam dengan penuh kasih dan degup cinta. Bukan pemaksaan doktrin-doktrin dengan arogansi dan keangkuhan yang membabi buta.
Melalui Lukisan Kaligrafi, Gus Mus bagaikan melukis jati diri seorang muslim yang sesungguhnya.
Judul: Lukisan Kaligrafi
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Kompas
Cetakan: Keempat, April 2017
Tebal: 144 halaman
ISBN: 978-602-412-229-4