Saya dan Tim Misi Banyuwangi DREAMSEA menghadiri upacara pembacaan naskah kuno “Lontar Yusuf” di Rumah Budaya Osing di kampung Kemiren, Banyuwangi, Senin Malam (18/3). “Lontar Yusuf” ditulis dalam bahasa Jawa aksara Arab (Jawa Pegon) dan berisi kisah hidup Nabi Yusuf Alaihissalam.
Di Kemiren, upacara ini rutin diadakan setiap dua minggu sekali. Masyarakat setempat menyebutnya dengan “moco’an”. Menariknya, teks pada naskah kuno “Lontar Yusuf” ini dibaca dengan cara ditembangkan dengan pola irama tembang “Kasmaran” atau “Asmarandhana”.
Setelah pembacaan naskah selesai, para hadirin kemudian disuguhi berbagai macam kudapan tradisional khas Osing (seperti Sego Golong, Sambel Tempong, Pecel Petek, Tumpeng Srakat, Jenang Abang, dan lain-lain).
Tradisi pembacaan naskah kuno dengan cara ditembangkan yang saat ini masih berkembang di masyarakat Osing Banyuwangi ini dapatlah kiranya kita sebut dengan “living manuscript”. Tradisi ini pada masa lalu banyak berkembang di pelbagai wilayah di Nusantara.
Di Sunda, misalnya, para orang-orang tua kerap bercerita jika dulu pada masa kecil mereka kerap digelar upacara pembacaan “wawacan” dengan cara ditembangkan, seperti wawacan Nabi Babar, Nabi Paras, Nabi Mulih, Umar Maya, Amir Hamjah, Muhammad Hanapiyah, Ahmad Muhammad, Sam’un, Seh Abdul Kodir Jaelani, Sawareh Barjanji, dan lain-lain.
Baca juga:
- Dinamika Kiai NU atas Tari Gandrung Banyuwangi
- Pesantren Minhajut Thullab dan Cikal Bakal NU di Banyuwangi
- 5 Momen Paling Menyenangkan di Pesantren
Sayangnya kini, tradisi pembacaan wawacan di kalangan masyarakat Sunda sudah punah. Nah, malam tadi, di kampung Osing Kemiren Banyuwangi, saya merasa menemukan kembali sebuah tradisi leluhur yang sudah langka dan punah ketika menyimak pembacaan naskah kuno “Lontar (Wawacan/ Serat) Yusuf” itu.
Manuskrip dan Generasi Milenial
Teks yang menceritakan kehidupan Nabi Yusuf itu ditulis dalam aksara Pegon berbahasa Jawa dan dibacakan dengan cara ditembangkan. Kerennya, yang membaca adalah anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas “Mocoan Lontar Yusuf Milenial”.
Sebelum dimulai, kita disuguhi aneka macam masakan tradisional. Yang paling menarik adalah adanya Jenang Abang (Merah) dan Jenang Putih (mirip bendera negara kita ya?).
Menurut Sang Narator, kedua jenang ini adalah simbol asal muasal seluruh umat manusia yang berasal dari Adam dan Hawa. Jenang yang terbuat dari ketan menyimbolkan fitrah manusia yang harusnya erat berpegangan tangan bukan malah sebaliknya.
Saya yakin semua di antara kita sudah memahami asal muasal diri kita. Lalu, kenapa gara-gara beda pendapat, beda agama, beda etnik, atau (parahnya) beda pilihan presiden malah membuat kita tercerai-berai?