Semar iku/ Pamomong satriya tuhu/ Ing njero lan njaba
Tansah gumolong nyawiji/ Kehing lamis lawan cidra swuh kabrasta
(Semar itu/ Pamomong ksatria utama/ Hati dan raganya
Selalu menjadi satu/ Seluruh dusta dan khianat habis terkikis)
— Heru Harjo Hutomo
Semar dipuja oleh dewa dari sebutir telur. Dari kulitnya terciptalah Antaga. Dari dagingnya yang putih terciptalah dirinya. Dan dari kuning itu telur terciptalah adiknya, Manikmaya.
Syahdan, setelah beranjak dewasa, terbitlah ambisi di antara ketiganya. Mereka berebut tua. Maklum, seperti lazimnya, yang tertua akan menjadi sang pengganti ayahanda. Sayembara dimulai: menelan kemudian memuntahkan kembali sebuah gunung.
Antaga tak berhasil, mulutnya sobek. Gunung itu tak dapat ditelannya. Ismaya, putera kedua dari Sang Hyang Tunggal ini, berhasil menelannya. Tapi celaka, gunung itu tak dapat dimuntahkannya. Perutnya buncit, mengandung itu gunung.
Mereka berdua, Antaga dan Ismaya, nggege mangsa (terburu-buru), menyebabkan murkanya sang ayahanda. Sudah jelek terkutuk pula. Keduanya dibuang ke dunia. Antaga bertugas memomong para ksatria berwatak jahat. Dan Ismaya memomong para ksatria utama, trahing witaradya (keturunan manusia utama).
Tinggallah Manikmaya, ketiban beja (beruntung), ambisi tak terlampiaskan tersebab gunung telah terbenam dalam perut Ismaya. Maka atas nama beja (peruntungan) jadilah ia sang penguasa Triloka yang jika dirunut menurunkan para ksatria utama.
Siapa di antara ketiganya yang sesungguhnya paling tua? Banyak sumber mengatakan, Manikmaya, karena ia tak kebagian pamer. Tapi tak sesederhana itu sebenarnya. Jawa nggone semu, jawa itu tempatnya kiasan, yang tak mudah ditelan mentahan.
Sejarah Interpretatif
Ada yang bilang, kita tak pernah menemukan makna, kita menciptakannya. Pendapat ini pernah menghiasi apa yang disebut sebagai the linguistic turn dalam epistemologi, yang pada akhirnya juga kebudayaan.
Senada dengan serpihan skeptisisme itu, pada dekade 60-an, Sartre pernah membuhul bahwa eksistensi mendahului esensi. Konsekuensi atas semua bentuk skeptisisme epistemologis semacam ini tentu serius. Paling tidak, universalitas—yang menandai modernisme—merupakan sebentuk omong-kosong ideologis. Selalu saja pertanyaannya, “Universal menurut siapa?”
Positivisme, yang merupakan paradigma tunggal sains, tumbang. Dampak ini kentara di lapangan ilmu-ilmu sosial-budaya (humaniora). Janma tan kena kinira, manusia tak bisa diukur, merupakan salah satu warisan kearifan lokal yang menegaskan bahwa tak ada standar yang pasti perihal manusia dan sekitarnya.
Dalam khazanah musik Jawa kita tak pernah tahu pasti tentang ukuran sebuah nada. Bisa jadi antara satu empu dengan empu lainnya tak sama ukuran nada dari perangkat gamelan yang dihasilkan. Berbeda dengan musik di Barat, entah di pedalaman papua atau di Amerika ukuran nadanya tetap sama—terimakasih buat komputer.
Ada satu piranti yang menjadi tolak-ukur dalam menimbang segala sesuatu dalam estetika Jawa: rasa. Jamak ketika seseorang kebingungan untuk memilih, ungkapan yang kerap terlontar: “Lha, piye rasamu?” Seje silit seje anggit, lain pantat lain pendapat. Pada akhirnya itulah yang menjadi semangat, atau diberi ruang, dalam kebudayaan Jawa.
Tapi masalah timbul ketika kejawaan itu begitu dominan dan berupaya menerapkannya ke semua segi kehidupan, di mana yang bakal terjadi adalah sebentuk nandhing sarira, yang ketemunya sudah pasti perbedaan. Celakanya, perbedaan ini bukanlah perbedaan dialogis yang menyiratkan kesetaraan, tapi hierarkis di mana satu mendominasi lainnya.
Apakah berarti semua penilaian akan semena-mena? Tak selamanya, ternyata dalam kawruh beja Ki Ageng Suryomentaram ada yang dinamakan raos sami, bahwa rasa itu sesungguhnya adalah kesatuan yang utuh, maligi (kesatuan), dari berbagai pangrasa (cabangnya rasa) atau yang oleh KAS disebut sebagai kramadangsa (kedirian/keakuan). Tapi tentu, pada dimensi keempat semacam ini kata-kata sudah binasa. Dan itu artinya, tak ada lagi harapan akan tumbuh-kembangnya sebuah pengetahuan, yang mesti terukur sifatnya.
Suksesi Sang “Aji Saka” di Nusantara
Saya akan beralih sebentar ke Gunung Tidar di Magelang Jawa Tengah. Gunung Tidar adalah saksi suksesi “Aji Saka” di tanah Jawa. Saya tak mendekati sejarah gunung ini selayaknya sejarawan pada umumnya. Seperti halnya seorang peziarah sejarah, yang memperolehnya langsung dari tempat yang disebut-sebut sebagai titik tengah tanah Jawa ini.
Saya memahami bahwa di sinilah “sejarah interpretatif” mendapatkan ruang, setelah sekitar 500-an tahun mengubur fakta-fakta historis hingga menyisakan cuma serpihan “tanda.” Kebenaran pada akhirnya adalah perihal kemanfaatan.
Dalam Kitab Musarar gubahan Sunan Giri Prapen (Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdapalon, Andjar Any, 1979), yang barangkali induknya sudah ada pada masa Kediri, dikisahkan bahwa dahulu kala ada seorang syaikh dari Ngerum atau yang kini dikenal sebagai Turki: Maulana Ali Samsu Zain (Maolana Ngali Samsujen), sang penumbal tanah Jawa, yang bersenjatakan cis—semacam tombak kecil nan panjang. Konon, saat itu dekadensi telah melanda tanah Jawa, digambarkan dengan lelembut (makhluk halus), jin, dan brekakasan yang menjajah tanah tersebut.
Dalam cerita tutur lainnya, jauh sebelum masa Maulana Samsu Ali Zain, kita mengenal yang namanya Aji Saka yang datang dari Bumi Majeti. Dikabarkan bahwa ia adalah pembawa peraaban pertama di nusa Jawa. Secara semantik “Aji” bermakna nilai-nilai dan “Saka” adalah tiang. Jadi, Aji Saka hanyalah gelar.
Persis yang dialami Maulana Samsu Ali Zain dalam Kitab Musarar, Aji Saka secara khusus diutus untuk menumpas Prabu Dewata Cengkar yang dikisahkan sebagai seorang kanibal. Apa benar kanibal? Mungkin tidak, karena sastra Jawa, baik lisan maupun tertulis, lekat dengan pasemon (perumpamaan). Barangkali, Dewata Cengkar hanyalah seorang tiran yang suka menghisap dan menindas orang. Aji Saka, utusan dari Bumi Majeti itu menegakkan kembali sebuah kondisi dekadensi—atau bahkan nihilisme—yang melanda Jawa. Karena itulah ia digelari sebagai Sang “Aji Saka”.
Lantas, di puncak gunung Tidar, ada lagi satu tokoh yang “tertidur” dan dikenal sebagai Eyang Ismaya Jati—atau dalam pewayangan menjadi nama lain dari Ki lurah Semar Badranaya.
Lalu bagaimana dua cerita ini terangkai? Bagaimana sastra lisan memunculkan keyakinan bahwa Maulana Samsu Ali Zain waktu itu bernegosiasi terlebih dahulu dengan Eyang Ismaya Jati? Adakah titik-sambungnya, ketika yang pertama lekat dengan citra islami dan yang kedua adalah citra kearifan lokal? Apakah Eyang Ismaya Jati adalah sang “Aji Saka” dan Maulana Samsu Ali Zain adalah Syaikh Subakir?
Ketika saya memaknai “Aji Saka” sebagai gelar, maka dimungkinkan bahwa Eyang Ismaya Jati yang diyakini bermukim di Tidar itu adalah representasinya. Adapun Maulana Samsu Ali Zain adalah Syaikh Subakir. Dalam Kitab Musarar diceritakan bahwa Maulana Samsu Ali Zain bersenjatakan cis udharati (tongkat besi).
Dua penegak tata nilai yang pernah rusak tersebut, Eyang Ismaya Jati dan Syaikh Subakir, memiliki titik-sambung sebagai sesama penegak sebuah tata nilai dari dekadensi dan krisis moral yang dimunculkan oleh Dewata Cengkar. Dewata berarti para dewa dan cengkar berarti gersang = desakralisasi. Adapun nihilisme adalah terjadinya devaluasi, ketika apa yang dulu dianggap bernilai kini tak lagi bernilai.
Mencermati kiprah Eyang Ismaya Jati, mestinya kita bisa pula menyeksamai berbagai kisah Semar dalam pewayangan Jawa, seperti saya tuturkan di awal tulisan. Konon rusaknya jagad tersebab Manikmaya, sebagai penguasa Triloka, terpikat oleh rayuan Durga.
Karena itulah ia dikenal pula sebagai Sang Hyang Jagad Pratingkah, bahwa gejolak dunia seturut dengan gelegak sang kutub para dewa itu. Hanya Semar yang mampu menundukkan, dengan membuat penguasa Pasetran Ganda Mayit itu wirang (marah).
Siapakah yang sebenernya tua, atau siapakah penguasa Triloka sesungguhnya? Adalah Ismaya, apabila ukurannya purih (pretensi). Tanpa purih orang tak mungkin melenyapkan purih. Maka dalam berbagai kisah, Ismaya-lah yang paling berwibawa hingga Manikmaya tunduk.
Ismaya, yang setelah kejatuhannya bernama Semar, menjadi karakter yang hidup di ruang ambang. Segala paradoks menyatu di dalam dirinya. Ia lelaki tapi kopek, payudaranya besar. Matanya berlinang air mata, tapi mulutnya tersenyum (menandakan duka-suka). Ia dewa sekaligus jelata, cuma pembantu. Secara hakikat, justru Ismaya-lah representasi dari Yang Maha Tunggal itu.
Inilah risalah ketauhidan yang timbul-tenggelam sepanjang zaman, Sang Alif, titik-sambung antara Eyang Ismaya Jati atau Sang Aji Saka dan Maulana Samsu Ali Zain atau Syaikh Subakir. Tidar adalah belukar, yang kerap digambarkan dalam pewayangan sebagai janma mara janma mati (modar), untuk tegaknya Sang Alif (isbat).