Sejak kecil saya dididik dalam lingkungan pondok pesantren atau madrasah yang sifatnya informal. Di mana ngaji (belajar agama) bukan menjadi pendidikan pokok, melainkan aktivitas “ekstrakulikuler”. Semakin berkembang, kini pondok pesantren yang dulu hanya tempat singgah ngaji menjelang Maghrib sudah mulai banyak didatangi santri.
Ketika kuliah saya memutuskan untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) minat bakat teater. Sejak pertama aktif berteater, citra kontradiksi antara agama dan seni menjadi konsumsi cerita sepanjang hari. Seni – dalam hal ini teater – dianggap sebagai kegiatan yang bertentangan dengan agama. Apalagi kebiasaan seniman yang dinilai urakan, seks bebas, misuh-misuh, dan suka mabuk-mabukan.
Meskipun demikian, hingga sekarang sudah lebih dari 10 tahun saya masih terlibat dalam dunia perteateran. Pernah menjadi aktor, sutradara, hingga menulis naskah sebuah pertunjukan. Bukan tanpa alasan, jika bisa bijak mengorelasikan antara seni dan agama, menjalani kehidupan bisa dengan tenang dan bahagia.
Teater adalah kegiatan seni memainkan peran. Kadang disebutnya drama yang menjadi medium bermain film atau sinetron. Pemain perannya disebut artis (aktor untuk pria, aktris untuk wanita). Meskipun tidak segemilang dan setenar film, teater masih tetap lestari di sekolah, kampus, dan komunitas seni lainnya. Teater masih dijadikan batu loncatan untuk bermain film.
Patut dimaklumi sebab masa depan perteateran, khususnya di Indonesia jauh dari kemapanan. Banyak teaterawan yang hidup jauh dari berkecukupan. Sehingga teater bukan dijadikan pekerjaan utama, melainkan hobi. Biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan biaya tiket pertunjukan yang rendah. Teater masih jauh dari perhatian pemerintah untuk mengangkat eksistensi kesenian panggung tersebut.
Secara konteks teater tidak hanya pertunjukan drama 1 atau 2 jam di panggung tertutup. Teater bisa dimaknai secara luas sebagai bentuk pertunjukan, apapun jenisnya. Termasuk teater tradisi seperti ludruk, ketoprak, wayang wong, dan lain sebagainya. Merawat tradisi dan budaya harusnya dimulai dari membangun pondasi kehidupan berteater yang kokoh.
Menjadikan teater seimbang dengan kesenian lain sebagai harapan untuk menggantungkan kebutuhan hidup yang layak.
Belajar Hidup Berteater
Teater bukan seni kebohongan (pura-pura) seperti yang banyak dituduhkan. Justru dengan berteater seseorang diajarkan untuk jujur memainkan peran agar pertunjukan menjadi menarik disaksikan. Bagi penikmat teater akan mudah mengenali mana artis yang berpura-pura dan mana artis yang bisa menjiwai tokoh sepanjang pertunjukan. Penilaian bisa dilihat dari sorot mata, gestur tubuh, dan dialog artis.
Pemain teater harus bisa mengaktualisasikan peran imajinasi sutradara di atas panggung. Metode yang dilakukan bisa dengan meniru aktivitas orang lain yang mendekati peran naskah. Mengamati secara detail gerakan, perasaan, dan motivasi orang lain (tokoh) akan mengubah cara pandang seseorang untuk bisa lebih menghargai perbedaan.
Meyakini bahwa setiap orang punya peran dan keyakinan akan sebuah kebenaran. Jika benar belajar teater, seharusnya seniman teater menjadi orang paling toleran di muka bumi. Berteater akan mengajari banyak hal seputar dunia seni sebab semua elemen kesenian tercakup dalam proses teater seperti desain interior (setting), musik, lukis/ gambar, tata rias, lampu, kostum, dan lain sebagainya.
Namun ada esensi yang lebih dalam dari teater. Bahwa diakui atau tidak, setiap orang sedang berteater. Seperti lagu panggung sandiwara dengan cerita yang mudah berubah. Bermain peran ketika di lingkungan (panggung) kantor dengan menjadi tokoh yang pura-pura disiplin dan bekerja keras agar diapresiasi atasan. Menjadi sosok yang manja ketika tiba di rumah bertemu istri. Menjadi sosok yang tegas ketika di hadapan anak. Menjadi konyol ketika ngobrol bareng teman-teman.
Hampir setiap adegan kita memainkan peran sebagai tokoh protagonis (Center of the universe). Bertemu dan berdialog dengan tokoh antagonis yang berputar di sekitar orbit kita. Ada pula tokoh yang betemu (berpapasan) namun tidak memberi cukup makna yang signifikan. Kemudian pemeran figuran yang berada di orbit terluar. Orang-orang yang tidak pernah diperhatikan. Padahal masing-masing dari mereka adalah organisme yang sama kompleksnya dengan kita.
Ketika hidup kita berpindah dari satu adegan ke adegan lain, mereka akan selalu ada tanpa pernah disadari. Menjadi semacam latar dengan miliyaran kisah. Figuran-figuran itu barangkali hanya akan muncul sesekali dalam hidupmu; sebagai seorang yang minum kopi di sebuah kedai, sebagai kilatan kabur cahaya lampu mobil di jalanan malam, bisa juga sebagai satu jendela dari apartemen di seberang jalan.
Momen ketika menyadari bahwa kita menjadi tokoh figuran dalam kisah hidup seseorang di luar sana, itulah yang disebut sonder. Belajar hidup berteater akan membuat kita sering melakukan refleksi diri dengan tidak mudah menyalahkan orang lain. Menekan egoisme dalam diri dengan kesadaran bahwa setiap orang punya keyakinan dan tujuan hidup masing-masing. Hidup bukan melulu tentang kita.