Pada masa 1950-an, Indonesia setiap detik adalah politik. Kalimat itu berlebihan tapi tak terlalu bohong. Politik teranggap paling penting di mulut-mulut seperti mesin penggiling padi. Politik pun dianggap “dongeng” bagi telinga-telinga ketimbang menganggur. Sedetik tanpa politik, Indonesia murung. Politik memang terlalu meminta segala. Situasi buruk dirasakan orang-orang saat menunaikan ibadah puasa. Ramadan dialami dengan kelangkaan beras. Harga beras kelewat mahal. Orang-orang ingin bersabar, menghindari marah. Mereka ingat sedang berpuasa. Di majalah Minggu Pagi, 13 April 1958, kita mendapat ingatan-ingatan tanggapan beras dan Ramadan. Ada getir dan kelucuan. Kita membaca lagi saat Ramadan dengan keinginan beras selalu ada di rumah. Beras pemberian pemerintah atau orang-orang baik.
Di rubrik “Skets Masjarakat”, kita membaca: “Harga beras tidak bisa turun hanja dengan diomeli. Maka lebih baik diam sadja. Kalau uangnja tjukup, ja, dibelinja beras giling putih, sekalipun harganja Rp 8,50 sekilo. Kalau tak punja duit, ja, nrimo beli pohung atau tepung gaplek sadja. Tak usah banjak tjintjong.” Para pejabat memberi jawab sembrono setiap dituntut oleh publik. Seribu dalih dimiliki para pejabat atau pembesar. Setiap hari, mereka bisa memberikan jawaban sampai kaum miskin bosan memikirkan beras. Publik sudah menebak ada masalah: cari untung besar di sekian kalangan dan korupsi tiada henti. Beras selama Ramadan di masa revolusi (sulit) selesai malah ada orang-orang serakah dan fasih berbohong.
Orang-orang miskin ingin marah. Sabar itu keutamaan. Mereka bersabar sambil berbagi omelan. Kita diminta menikmati omelan blantik sapi bernama Kang Saridin. Tuturan mengandung kritik dan lelucon: “Sebabnja ialah manusia Indonesia makin dojan makan nasi. Didaerah-daerah jang dulu nrimo makan djagung atau tjampuran nasi dan djagung, sekarang emoh sudah rata-rata makan nasi, emoh djagung. Maka, karuan sadja, peta bumi Indonesia bikinan zaman Hindia Belanda dulu, jang menjebut makanan pokok penduduk kepulauan Indonesia dalam peta diberi tanda beras, tanda djagung, tanda sagu dan lainnja, sekarang peta sematjam itu sudah tidak berlaku lagi. Peta sekarang sudah meratakan semua daerah-daerah Indonesia penduduknja makan nasi.” Kalimat-kalimat serius dan mengingatkan sejarah itu terbaca orang-orang di masa 1950-an saat puasa. Kemarahan memiliki rem.
Omelan demi omelan terdengar. Kita tak boleh melewatkan lacakan realis untuk krisis beras di masa 1950-an. Jumlah pemakan nasi semakin meningkat, sulit dikendalikan. “Biang keladinja krisis beras selama ini ialah manusia Indonesia makin dojan nasi dan makin kembang biak seperti marmut,” omelan di Minggu Pagi. Kaum miskin masa 1950-an bakal kaget “membaca” roman terbesar ciptaan Soeharto: swasembada pangan. Penguasa itu mengartikan swasembada beras, mendapat pengakuan dari FAO (1984). Sempurnalah orang-orang Indonesia diwajibkan makan nasi! Pada masa Orde Baru, beras tetaplah idaman. Beras semakin mulia, memicu sekian bisnis. Di masa 1980-an, orang diminta “ingat beras, ingat Cosmos”. Konon, jutaan ibu memiliki Cosmos agar beras tersimpan secara baik. Di Tempo, 28 Maret 1992, kita membaca iklan dari Hero: “Beras terbaik Hero dinikmati berjuta keluarga Indonesia.” Semula, Hero cuma menjual beras asal Jawa Barat. Pada usia 20 tahun, Hero mulai menjual beras dari pelbagai daerah.” Iklan bergambar beras dalam kemasan plastik dan nasi di piring.” Bisnis beras mungkin semakin menguntungkan. Kita lupa mencatat beras dan Ramadan selama Orde Baru. Indonesia mungkin semakin beras. Begitu.