Sedang Membaca
Muhammad Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Arab-Islam
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Muhammad Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Arab-Islam

1 A Aljabiri

Dunia intelektualisme dalam beberapa dekade terakhir merupakan periode sangat krusial dalam sejarah pemikiran Islam. Karena dalam rentang waktu sekian puluh tahun, sebuah trend pemikiran dan kesarjanaan Islam baru telah muncul di tengah-tengah masyarakat muslim. Perkembangan ini ditandai dengan menjamurnya karya-karya akademis yang secara radikal menyikapi warisan budaya (tradisi, turats) dan intelektual Islam.

Sulit untuk menafikan bahwa trend ini sangat kuat sekali dipengaruhi oleh apa yang sedang berkembang di dunia filsafat, ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Barat. Para “advokator” pemikiran ini banyak mengadopsi teori kritik, dalam berbagai bentuk ekspresi dan representasinya, mulai dari Hegel hingga Karl Marx dan terus turun hingga ke Hannah Arendt, Max Horkheimer dan Jurgen Habermas, yang dianggap sebagai kekuatan sentral dalam tradisi kritik Barat.

Bermodalkan dengan perangkat filsafat dan metodologi inilah, para sarjana pendukung gerakan intelektual ini melakukan apa yang oleh George Tarabisyi disebut dengan “pembantaian turats” (madhbahah al-turats/massacre of tradition). Mereka pada umumnya mendekonstruksi hampir kesulurahan bangunan ilmu yang telah dihasilkan oleh para pemikir dan ulama masa silam seperti tafsir, fiqh dan ushul fiqh, ilmu hadis, teologi, kalam dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena ada anggapan, yang sesungguhnya masih perlu dibuktikan, bahwa kemunduran dan keterpurukan masyarakat Arab dan muslim saat ini disebabkan oleh kuatnya cengkraman pola pikir tradisi masa lampau pada masyarakat.

Di antara tokoh yang mengusung isu dekonstruksi epistemologi Islam adalah Muhammad Abed al-Jabiri. Para tokoh Islam di Indonesia pun, acapkali mengutip pendapat al-Jabiri dalam menguatkan argumentasi mereka, walaupun sebenarnya para liberalis di Arab tidak se-ekstrim tokoh-tokoh muslim di Indonesia karena mereka tidak menyinggung wilayah sensitif keagamaan, seperti al-Qur’an, syariat, tetapi mereka hanya masuk lewat pintu turats.

Baca juga:  Pendidikan dalam Serat Wedharaga

Kaum intelektual Indonesia umumnya mengafirmasi pandangan-pandangan pemikir Maroko itu. Boleh dikata, trend pemikiran keislaman pernah pada masa tertentu, dan bahkan mungkin hingga saat ini, sedang “demam al-Jabiri”. Karenanya, akibat keterpukauan berlebih terhadap pemikir yang mencetuskan “Kritik Nalar Arab” (Takwin al-Aql al-‘Arabi) tersebut, tidak banyak yang mampu mengambil jarak atau bersikap kritis terhadap keseluruhan pemikirannya.

 

Arab: ideologis?

Nama al-Jabiri memang tak bisa dilepaskan dari proyek besar itu. Menurutnya, sebagai langkah awal untuk melakukan perombakan pemikiran Arab-Islam kontemporer adalah dengan cara membebaskan diri dari otoritas turats dari sisi epistemologis. Dalam bukunya, Nahnu wa al-Turats; Qira’at Mu’asirah fi Turatsina al-Falsafi, Al-Jabiri menamakannya dengan “al-qati’ah al-ibistimulujiyah”, pemutusan epistemologis. Al-qati’ah al-ibistimulujiyah oleh al-Jabiri, bukan menolak segala bentuk yang tereproduksi dari turats yang sifatnya masa lalu. Yang dimaksud dengan “al-qati’ah al-ibistimulujiyah” berarti melakukan penalaran yang jernih yakni dengan cara kritik dan analisis tajam. Menurut al-Jabiri bahwa dalam hal melakukan pembaharuan pemikiran menuju modernisasi Arab-Islam, pertama-tama yang perlu dilakukan adalah membongkar struktur nalar Arab yang itu merupakan bagian dari warisan abad kemunduran. Maka yang perlu didekonstruksi adalah pada struktur nalar Arab-nya yang sudah lama mengendap sebagai praktik analogi mekanis.

Jika dilihat sepintas, pemikiran al-Jabiri yang telah digambarkan memang terlihat cemerlang dan seolah “tanpa cacat”. Tetapi anggapan tersebut salah besar. Justru yang terjadi sebaliknya, bahwa al-Jabiri mendapat kritik tajam dari banyak kalangan. Yudian Wahyudi, misalnya, seorang akademisi dan profesor bidang Filsafat Hukum Islam, yang sekarang menjadi Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), dalam suatu kesempatan pernah berkelakar, “Saya heran mengapa orang Indonesia terkagum-kagum dengan pemikiran al-Jabiri. Mungkin saya termasuk dari orang—untuk tidak mengatakan satu-satunya orang—yang tidak respek terhadap al-Jabiri”.

Baca juga:  Peta Jalan Indonesia 2024

Melalui pengkajian yang mendalam, dalam sebuh tulisannya, Yudian berargumen, bahwa kontroversi pemutusan “geo-epistemologi” dalam renaissans Arab merupakan pengaruh langsung dari penerjemahan trilogi filsuf sains Perancis: Gaston Bachelard (1884-1962) ke dalam bahasa Arab. Edisi Arab Le nouvel esprit scientifique adalah al-Fikr al-‘Ilmi al-Jadid (Gagasan Sains Baru, 1969); La formation de l’esprit scientifique adalah Takwin al-Aql al-‘Ilmi (Pembentukan Nalar Saintifik, edisi ke-2, 1987); L’esprit appliquée adalah al-‘Aqlaniyyah at-Tatbiqiyah (Nalar Aplikatif, 1987). 

Jadi, menurut Yudian, tidaklah mengejutkan jika buku pertama dalam empatlogi pemikir Maroko al-Jabiri, yang bertemakan Kritik atas Nalar Arab, adalah Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Pembentukan Nalar Arab, 1982) merupakan peniruan atas judul Arab kedua Bachelard, yaitu Takwin al-Aql al-‘Ilmi. Tujuan al-Jabiri adalah mentransfer fokus “saintifik” Bachelard, khususnya konsep la rupture epistemologique (pemutusan epistemologis) yang dianggap revolusioner oleh al-Jabiri, ke dunia Arab.

George Tharabisyi, bahkan secara khusus menulis tentang kritik terhadap kritik nalar Arab yang berjudul Nadhariyyah al-‘Aql: Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Dalam tulisannya itu ia mengkritik keras dan rinci kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh al-Jabiri. Di antaranya perihal konsep al-‘aql al-mukawwan (Raison Constituee) dan al-‘aql al-mukawwin  (Raison Constituante).

Pada dasarnya teori al-‘aql al-mukawwin  (nalar pembentuk) dan al-‘aql al-mukawwan (nalar yang terbentuk) merupakan teori yang diadopsi dari A. Lalande ; La Raison et les normes, yang terbit pertamakali di Paris pada 1963. Lalande mengartikan  al-‘aql al-mukawwin  (Raison Constituante) adalah sebuah kemampuan manusia dalam memahami apa yang diketahui sebagai sebuah keterkaitan dengan sesuatu yang asasi secara menyeluruh dan bersifat urgen, dan itu adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua manusia. Sedangkan al-‘aql al-mukawwan memiliki arti sebagai kumpulan dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang disandarkan ketika kita berargumentasi.

Baca juga:  Peradaban yang Mencandu 

Letak kesalahan itu dalam pandangan Tharabisyi ialah aplikasi teori tersebut oleh al-Jabiri untuk menganalisa struktur bangunan pengetahuan yang bersifat komunitas, lokal. Padahal Lalande tidak mengaplikasikannya pada hal seperti itu. Kemudian Tharabisyi dengan terang-terangan menganggap bahwa ide al-Jabiri sebenarnya bagian dari upaya yang tidak jujur dalam merujukan sumber teorinya itu. Bahkan Tharabishi berasumsi kalau al-Jabiri sendiri  mungkin tidak pernah membaca karya Lalande, sebuah karya yang salah satu teorinya mengambil dari Lalande.

Hasan Hanafi mengkritik al-Jabiri dari sikapnya yang terus-menerus mempertahankan dan membela identitasnya sebagai seorang Arab. Maka Arabisme yang melekat pada diri al-Jabiri pada akhirnya menjebakkannya pada tataran ideologis. Padahal sikap inilah yang selalu dilakukan oleh al-Jabiri agar tidak bersikap dan berpikir ideologis.

Nuruddin al-Ghadir berpandangan bahwa metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri sebenarnya sangat berbahaya bagi tradisi Arab-Islam itu sendiri. Pada tingkat tertentu, al-Ghadir berkesimpulan mengenai karya-karya al-Jabiri sepatutnya tidak layak untuk diterbitkan yang menjadi konsumsi pada ruang publik. Sementara dalam pandangan Ali Harb tentang al-Jabiri, ia  menilai kalau kajian al-Jabiri mengenai turats sangat mengandung muatan ideologis, Arab (Barat) “maghribi centrism”, bahkan secara khusus Sunni Arab “maghribi minded”. 

Pada akhirnya, al-Jabiri dianggap sama seperti pemikir lain yang dianggap pemikirannya berbau ideologis. Ia terjebak pada ideologi yang dibawanya yakni hanya mengusung pada semangat rasionalisme terutama dengan latar ke-Magribi-annya itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top