Kala pagi di 12 Juli 1997 di Mignora, sebuah kota kecil di lembah Swat, Pakistan Utara telah lahir seorang anak bernama Malala Yousafzai. Terlahir sebagai anak dari Ziauddin, seorang aktivis hak asasi manusia dan ibu Tor Pekai. Pemberian nama Malala merupakan harapan ayahnya terhadapnya agar bisa menjadi penerus pahlawan masa lalu Pakistan yakni Malalai dari Mainwand.
Ayahnya menaruh harapan besar bahwa Malala akan menjadi anak pemberani seperti pahlawan itu, tentunya dapat memperoleh kebebasan seperti anak laki-laki dengan memberikan kesempatan kepada Malala untuk bersekolah. (Malala-Christina Lamb, I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban hal.8).
Terlahir di sebuah kota Swat, daerah muslim dengan budaya patriarkal. Perempuan disuruh tinggal di rumah, laki-laki bekerja. Meskipun begitu tidak diterapkan secara ketat, dikarenakan mereka cukup menghargai hak dan kebebasan semua orang termasuk untuk perempuan mengakses pendidikan. Keterbukaan ini memberikan kesempatan untuk Malala mengakses sekolah formal.
Pada tahun 2008 terjadi pergolakan besar, kelompok ekstremis Taliban telah berhasil menduduki dan menguasai Pakistan Utara, salah satunya Swat tempat Malala tinggal. Kelompok ini menghancurkan sekolah dan melarang banyak hal diantaranya dilarang menonton televisi, mendengarkan musik barat dan pendidikan bagi anak perempuan. Pengendalian juga terjadi di bidang politik, kehidupan beragama juga kehidupan sosial. Malala menceritakan bahwa kedatangan mereka membuat daerahnya sepi. Fasilitas dan sekolah-sekolah untuk anak-anak yang telah dibangun bapaknya juga dihancurkan. Untuk tetap bersekolah, Malala harus berangkat tanpa seragam dan naik mobil yang tertutup dengan banyak kekhawatiran dikarenakan setiap saat bisa saja ditangkap oleh para Taliban. (Malala-Christina Lamb, I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban hal.9).
Perkembangan pemikiran Malala dipengaruhi oleh pendidikan formal yang dikelola oleh ayahnya. Dari ayahnya lah, Malala kecil mulai belajar tentang makna pentingnya pendidikan, hak asasi bahkan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Secara tidak langsung ia banyak belajar dari sosok ayahnya untuk mewujudkan pendidikan terutama bagi anak-anak perempuan. Malala memulai perlawanan dan perjuangan ketika kaum Taliban masuk ke lembah Swat dan melarang anak-anak perempuan bersekolah, namun Malala dan kawan-kawan tetap nekat berangkat sekolah dengan tidak memakai seragam.
Tak hanya berhenti disitu, Malala melalui blog internet sangat aktif menyuarakan tentang pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Ia menceritakan bahwa kesulitan-kesulitannya menjadi anak perempuan yang tinggal di daerah yang dikuasai oleh Taliban. Karena keberaniannya, Malala diundang ke sebuah saluran TV Pakistan untuk wawancara. Malala kembali menyampaikan pentingnya pendidikan bagi setiap orang secara khusus anak perempuan. Tentang semangat dan tekadnya ini, dia menyerukan “In my heart was the belief that God would protect me. If I am speaking for my rights, for the rights of girls, I am not doing anything wrong. It’s my duty to do so.”(Terri Patterson, Malala the Brave, 9).
Pada 2011 Malala masuk nominasi dan memperoleh penghargaan Children’s Peace Prize oleh Desmond Tutu, aktivis dari Amerika Selatan. Di tahun ini juga, dia memperoleh penghargaan Pakistan’s National Youth Peace Prize dari perdana menteri Pakistan. Aktivitas Perjuangan Malala yang vokal tidak selalu berjalan mulus, suatu hari gagasannya dianggap berbahaya oleh para Taliban hingga berakhir dengan percobaan pembunuhan terhadap dirinya.
Pada 9 Oktober 2012, Malala ditembak oleh seseorang tak dikenal di dalam sebuah bis ketika berangkat ke sekolah. Satu dari tiga peluru yang ditembakkan menembus dari bawah mata sebelah kiri hingga menembus pundaknya. Beruntungnya dia segera dibawa ke rumah sakit militer untuk mendapatkan pertolongan pertama. Dia selamat namun harus pergi jauh dari kampung halamannya untuk melakukan penyembuhan atas lukanya tersebut dan memperoleh tempat tinggal yang lebih aman. Dia kemudian dibawa ke Birmingham, Inggris, dan tinggal di sana hingga sekarang. ( Malala-Christina lamb, I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban, 8).
Pada 2013 Malala menulis sebuah buku berjudul I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban. dalam buku tersebut, Malala menceritakan kisah perjalanan hidupnya dari kecil hingga Taliban datang ke Swat. Perjalanan yang membawanya menjadi target dari Taliban dan mengharuskan ia pergi dari kampungnya tercinta.
Pada 2014, keberanian dan usaha Malala memperoleh penghargaan perdamaian dari UN sekaligus memberikan kesempatan berpidato dengan seruan ajakan untuk seluruh pemimpin Negara di dunia untuk memperhatikan, memberikan perlindungan serta akses pendidikan kepada para anak perempuan terkhusus di daerah rawan konflik dan dikuasai teroris. Di penghujung pidatonya, ia menegaskan demikian “One child, one teacher, one pen and one book can change the world. Education is the only solution. Education First.” (“Malala Speech’s in United Nations”, www.un.org).
Pendidikan untuk Perempuan
Awalnya pemikiran pendidikan Malala tak bisa dilepaskan dari kekacauan yang dilakukan oleh Taliban dengan menghancurkan sekolah-sekolah bagi anak perempuan di Swat dimana Malala tinggal. Selain sekolah yang dihancurkan, mereka juga melakukan indoktrinasi/talibanisasi kepada masyarakat setempat. Taktik yang dipakai ialah dengan melarang apapun yang berbau barat, menonton televisi, film dan bahkan melarang para anak perempuan untuk sekolah. Hal-hal itu dianggap tidak islami dan haram, sebagai gantinya mereka menyiarkan ajaran Islam dalam pandangan Taliban melalui satu-satunya siaran radio yang bisa diputar yakni Mullah FM dengan Fazlullah, pemimpin Taliban, sebagai pembicara utamanya.(Malala-Christina Lamb, I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban hal.53).
Secara perlahan pandangan Taliban telah menjadi konstruksi, banyak perempuan mengurung diri di rumah, meninggalkan hal-hal yang berbau kebaratan dan tidak diizinkannya anak-anak berangkat ke sekolah. Hal ini mengetuk hati dan semangat Malala yang selalu dimotivasi oleh ayahnya bahwa perempuan harus sekolah.
Peristiwa lain yang memotivasi Malala ialah penghancuran sekolah dan pelarangan para perempuan keluar rumah. Sejak saat inilah Malala mulai menyuarakan pentingnya pendidikan untuk perempuan dari penderitaan yang telah diciptakan Taliban. Upaya yang pertama dilakukan Malala ialah dengan mengikuti ayahnya wawancara di stasiun TV BBC dan beberapa surat kabar.
Selain itu, ia juga menuliskan pengalaman dan pandangannya melalui sebuah blog internet dengan nama Gul Makai, hal ini terjadi karena bantuan seorang Kolomnis di Urdu BBC TV. Setelah beberapa lama, berita ini tersebar ke seluruh Pakistan. Tulisan berupa diary Malala semakin dikenal banyak orang dan orang-orang mulai memperbincangkannya termasuk kawan-kawannya. Upaya ini memberikan penyadaran Malala bahwa kekuatan tulisan. Hal itu menyadarkan dirinya akan kekuatan tulisan untuk menyebarkan pandangannya. Meskipun hal ini tidak langsung berdampak, tapi dalam waktu yang berjalan terjadi perubahan pola pikir dalam masyarakat Pakistan, meskipun para Taliban semakin gencar untuk melanggengkan pemikirannya. ( Malala-Christina lamb, I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban, 72).
Kesetaraan Gender
Pemikiran Malala tentang kesetaraan gender tidak bisa dilepaskan dari perjuangan pentingnya pendidikan perempuan. Secara jelas, Malala menjadikan masalah utama yang ia lawan adalah tidak adanya persamaan hak terhadap perempuan khususnya untuk mengakses pendidikan. Malala sangat merasakan pembatasan terhadap perempuan. Malala mengkritisi sebuah rumusan yang berkembang “In Pakistan when women say they want independence, people think this means we don’t want to obey our fathers, brothers or husbands”. Malala tidak setuju dengan pandangan tersebut.
Baginya, ketika perempuan berbicara tentang kebebasan, hal tersebut tidak berarti melawan tradisi, melawan ajaran islam, ataupun sikap tidak hormat terhadap para lelaki melainkan keinginan untuk menentukan jalan hidup bagi diri mereka sendiri, bebas bekerja dan bebas memperoleh pendidikan. Malala menanggapi pendasaran pandangan Taliban pada Al-Quran dengan menyatakan bahwa meski perempuan adalah tanggungan laki-laki, meski perempuan bergantung pada laki-laki, itu bukan berarti bahwa mereka harus manut dengan segala perintah dari laki-laki.
Perkembangan pemikiran kesetaraan gender Malala berkembang justru setelah peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya yang memaksa dia berpindah tempat tinggal ke Inggris. Dalam setiap pidato dan wawancara terhadap dirinya, Malala selalu menegaskan bahwa semua orang, khususnya para pemimpin Negara harus berjuang untuk mewujudkan pendidikan khususnya bagi anak perempuan.
Misalnya saja ketika dia mendapat kesempatan berpidato di depan Parlemen Kanada sesaat setelah dia diangkat menjadi warga kehormatan Kanada (12 April 2017), Malala mengajak para pemimpin Kanada untuk memberi kesempatan yang lebih besar kepada perempuan untuk menunjukkan eksistensinya. Dia bahkan mengatakan bahwa pendidikan perempuan adalah jawaban terhadap segala krisis di dunia. Menurutnya, bila semua orang memberi kesempatan pada perempuan, pernikahan usia dini dapat diatasi, penyebaran HIV bisa diminimalisir, dan kualitas tenaga kerja semakin bertambah baik.
Bagi Malala, kesetaraan gender hanya bisa terwujud bila perempuan mendapatkan akses pada pendidikan dan pelatihan keterampilan atau skill individu. Demi terwujudnya hal tersebut, dia mendirikan organisasi ‘Malala Fund’. Seperti dikatakan di atas, tujuan dari organisasi ini adalah terwujudnya akses bagi anak-anak perempuan untuk memperoleh pendidikan dasar 12 tahun. Cara yang ditempuh adalah mereka menghimpun dana atau sumbangan dari berbagai orang di banyak Negara, mengelola sumbangan tersebut untuk kemudian menyalurkannya sebagai bantuan.