Sejak dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Kepres No. 22 Tahun 2015, hari santri nasional yang jatuh pada tiap tanggal 22 Oktober menjadi wujud negara dalam menghormati dan mengenang jasa para kiai, khususnya Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad yang dikumandangkannya pada tanggal 22 Oktober 1945.
Sembilan tahun telah berlalu, apakah para santri kiranya telah mengaktualisasi hari santri secara kaffah? selayang pandang yang penulis amati dalam beberapa dekade terakhir ini, elemen pesantren yang terdiri dari pengasuh, pengurus, dan para santri beberapa dari mereka sepertinya belum memaknai secara kaffah esensi dari hadirnya hari santri.
Bagaimana tidak? belakangan ini dunia pesantren seperti tak habis-habisnya dihujam problematika laten yang belakangan menjadi sorotan netizen di berbagai media sosial. Kasus kekerasan seksual, bullying, kekerasan fisik yang dilakukan oleh senior kepada juniornya sampai menimbulkan korban jiwa, hingga kabar yang terbaru kasus pemberlakuan takzir (hukuman/punishment) yang melampaui batas kiranya menjadi bahan evaluasi bersama bagi kalangan pemerhati dan pemangku pesantren.
Pesantren yang kiranya menjadi wadah untuk mencetak generasi perubahan dan menjadi sebuah wacana hidup dalam hal civil society (masyarakat sipil), menurut Marzuki Wahid. Sudah sepatutnya segala elemen dan perangkat di pesantren, baik itu santri, kiai, pengurus, dan masyarakat sekitar turut bahu-membahu menyelesaikan dilema yang terjadi di lingkup internal belakangan ini.
Tak jarang pesantren-pesantren salaf yang tersandung kasus perundungan terkesan menormalisasi perilaku tersebut, menutup diri, dan enggan bertindak secara tegas. Justru hal demikian itu menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat luas terhadap pesantren salaf sebagai institusi tradisional yang menggembleng anak didiknya dalam hal ilmu agama.
Dari segi kualitas santri ketika bermedsos, penulis mengamati bahwa belakangan ini sebagian dari mereka dirasa kurang bijak ketika berselancar di dunia maya. Sering kali penulis menjumpai FYP para santri yang berseliweran di berbagai platform media sosial dengan menunjukkan kitab Qurrotul Uyun dan Fathul Izzar, dimana kedua kitab yang membahas seks dalam Islam tersebut diunggah sebagai konsumsi publik dalam sebuah postingan dan reels di medsos mereka.
Ini juga yang menjadikan marwah (kedudukan) santri dan pesantren semakin terdegradasi di mata publik, seakan-akan dalam pesantren yang dibahas hanya seks dan kiai-sentris. Bersamaan dengan adanya beberapa kasus perundungan seksual hingga perzinaan yang terjadi pada sebuah pesantren.
Maka dari itu, di zaman yang kini serba berbasis kecanggihan teknologi, santri dituntut untuk mengaplikasikan jihad secara digital, agar citra pesantren dan santri kembali terangkat. Dalam hal pengaplikasian ilmu agama berbasis digital, hendaknya para santri yang sudah boyong dan mumpuni di bidang fiqih (hukum Islam) serta tauhid (teologi) membuka sistem QnA (Question and Answer / Tanya Jawab) di platform media sosial mereka, karena mau tidak mau medan jihad dan dakwah di bidang digital sangatlah luas cakupan tayangannya.
Adapun jika salah satu santri ada yang sudah menjadi influencer, maka seyogyanya mereka haruslah bijak dalam bermedsos. Dalam artian mereka harus memilah mana yang kiranya bermanfaat untuk konsumsi publik dan mana yang kiranya menimbulkan madharat ketika akan memposting sesuatu di medsos.
Waba’du, dalam memaknai kembali esensi dari hari santri ini, marilah kita sebagai santri atau siapapun yang berakhlak seperti santri hendaknya merenungi kembali berbagai peristiwa yang mengguncang pesantren belakangan ini, tidaklah hanya dengan upacara seremoni dengan segala euforianya. Wallahu a’lam.