Sedang Membaca
Pesantren Telah Teruji Toleran
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Pesantren Telah Teruji Toleran

Pesantren Telah Teruji Toleran

Sebagai satu lembaga pendidikan Islam, pesantren mempunyai karakter, jati diri, jaringan, dan struktur-infrastruktur kebudayaan sehingga tidak gagap menghadapi banyak persoalan. Pesantren, terutama pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, telah teruji melahirkan insan yang toleran.

Demikian dikatakan sejumlah pengasuh dan pemerhati pesantren yang dihubungi secara terpisah beberapa waktu lalu. Mereka menanggapi ujian-ujian seperti munculnya kelompok intoleran yang mencederai umat Islam keseluruhan, penghinaan terhadap ulama-ulama NU, dan isu khilafah. Mereka menegaskan konsistensi pesantren sebagai penjaga keutuhan bangsa, seperti tertulis dalam Resolusi Jihad NU di Surabaya 22 Oktober 1945.

Pengasuh Pesantren Kaliopak Yogyakarta dan pengurus Lesbumi PBNU Hasan Basri Marwah mengatakan, berbagai ujian yang mendera pesantren sebetulnya bukan ujian baru, sehingga pesantren tetap kokoh. Santri pesantren terbiasa memahami adanya perbedaan sehingga mampu bersikap toleran.

Pendapat serupa dikatakan pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Ainur Rofiq Al-Amin. Bukti-bukti bahwa pesantren-pesantren NU telah melahirkan insan yang toleran itu sudah terpapar dan tidak perlu diragukan. “Asal jangan sampai keliru memilih pesantren, sebab sekarang tumbuh subur pesantren garis keras yang berbeda dengan NU yang ahlussunah wal jamaah,” katanya.

Tentang Kepemimpinan

Soal kepemimpinan dalam Islam, pesantren memiliki kriteria seperti tercantum dalam kitab-kitab muktabaroh, sehingga sulit mendikte para santri. Soal pemimpin itu penuh kontroversi, dan itu sudah terjadi sejak abad ke-18, ketika Belanda mengangkat Allahuyarham Al Habib Usman Bin Yahya sebagai mufti Batavia. Umat Islam di tanah air, terutama kalangan pesantren, dipaksa bersikap.

Baca juga:  Asmaul Husna (01): Ar-Rahman dan Kelebihannya

“Habib Usman sebetulnya memenuhi kreteria dalam hal keilmuan. Otoritas keagamaan jelas dan terang. Tapi pada sisi lain, pesantren dihadapkan pada niscayanya antikolonialisme dan para kolaboratornya. Ia selalu berpenampilan kebarat-baratan. Pesantren berbeda posisi, bahkan berseberangan, tapi pesantren tidak akan mencederai tradisinya yang menghormati ulama,” kata Hasan.

Ainur mengamini pendapat pendiri NU dan pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang, Abdul Wahab Hasbullah (1888–1971). Kyai Wahab saat berpidato di parlemen pada 29 Maret 1954, mengatakan, pemimpin yang memiliki pengetahuan Islam yang semartabat mujtahid mutlah itu sudah tidak ada sejak 700 tahun lalu. “Jadi untuk mengangkat imamah atau khilafah itu sudah tidak mungkin lagi. Jika ada pendapat Mbah Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah, itu tidak benar,” terang Ainur.

Pesantren dan partai politik juga menjadi isu yang selalu ada. Sejak pesantren menegaskan dirinya sebagai bagian utama dalam tata bangunan kebangsaan, politik praktis menjadi tidak lepas. Pesantren dan NU susah dipisahkan dari masalah kepartaian. “Hal ini jelas terjadi sejak peralihan dari orde lama ke orde baru, lalu orde baru, hingga sekarang. Dan itu selalu menghasilkan konflik. Tapi pada akhirnya pesantren baik-baik saja,” kata Hasan.

Sikap pesantren yang tepat, menurut Hasan, adalah menjaga kesinambungan sikap politik dan kebudayaanya. Sikap politik, bahwa masalah parpol adalah urusan warga negara dan membutuhkan kedewasaan politik. Pesantren harusnya mampu menjaga tradisi mempertahankan otonominya walaupun menurut banyak orang kompromistik.
Hasan mencontohkan sikap menantu Wahab Hasbullah, Mustain Ramli, yang berpolitik praktis. Ia sengaja menghanyutkan diri tapi tidak hanyut. Ini mirip dengan sikap Sunan Kalijaga pada abad ke-15, yakni angalaras ilining banyu ngeli,anaging ora keli (mengikuti arus sungai tapi tidak tenggelam). “Itu adalah sikap politik kebudayaan pesantren,” katanya.

Baca juga:  Puisi, Ibu, dan Rindu

Sebagai Oase

Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Sewon Bantuk DI Yogyakarta Kuswaidi Syafiie mengatakan, pesantren seharusnya tetap tampil sebagai cakrawala, juga oase yang luas di tengah padang kehidupan yang dibutuhkan oleh banyak orang dari berbagai kalangan dan golongan. Pondok pesantren harus tetap berpijak pada kultur yang kokoh.
“Dimensi ketauhidan tidak boleh tergoyahkan sehingga dengan demikian tetap menjadi soko guru bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Secara ideal, pondok pesantren tidak boleh berpihak pada kekuatan politik tertentu yang hanya akan menggiringnya pada lubang sempit ideologi,” papar Kuswaidi.

Hal senada dikatakan pengasuh Pesantren Darul Hijroh Buntet Cirebon Jawa Barat Jimmy Mustaim Billah. Para pengasuh di pesantrennya lebih mengutamakan pembelajaran kitab. Santri ditekankan untuk memfokuskan diri pada proses mengaji dan bukan ikut-ikutan aksi-aksi yang tidak dipahami. “Apalagi yang politis. Kami tidak akan turut serta,” kata Jimmy.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

    Komentari

    Scroll To Top