Setiap hal yang cela melekat ancaman padanya. Pun, setiap hal yang mengancam selalu memiliki kemungkinan untuk ditantang. Pelit dan kikir menjadi salah dua sifat cela yang dapat hadir sesuai tingkat intensitas dan kontinuitas dzikir.
Melalui buku Terompah Abu Kasim yang disadur oleh Mahbub Djunaidi dan Mustafa Mahdamy inilah petaka pelit dan kikir itu dilansir. Syahdan, diceritakanlah tokoh seorang jompo bernama Abu Kasim yang masyhur di kota Baghdad. Ia masyhur bukan sebab ia seorang pemegang tampuk kekuasaan atau salah seorang jawara pencak atau pelawak atau salah seorang kriminal paling kejam. Abu Kasim yang tergolong kaya terkenal lantaran pelit dan kekikirannya diluar nalar masyarakat Baghdad – sudah tujuh tahun Abu Kasim tidak sudi mengganti terompahnya yang tambal-sulaman itu!
Selanjutnya, kisah berjalan seperti hari-hari biasa. Kekikiran dalam buku ini pun tidak diceritakan termasuk tindak kejahatan dalam hukum pidana negara serta para penduduk Baghdad tidak diceritakan menggunjing Abu Kasim. Barangkali secara tersirat memang kekikirannya sudah dianggap hal wajar atau memang kekikirannya tidak sampai merugikan liyan. Abu Kasim merasa aman dengan kekikirannya.
Petaka kikir itu mulai hadir ketika di suatu tempat sauna Abu Kasim mulai mempertimbangkan mengganti terompah bututnya lantaran bujuk sang karib. Hendak meninggalkan sauna rampung ia mandi, Abu melihat terompah baru yang bagus berada di samping terompahnya. Kepalang senang, Ia anggap itu hadiah dari sang sohib dan memakainya pergi. Naas, terompah tersebut merupakan milik seorang hakim di kota Baghdad sehingga Abu Kasim diadili dengan tindak pidana pencurian. Sebab kekikirannya lebih masyhur daripada kejujurannya, orang tak menggubris pembelaannya. Walhasil, ia dijatuhi hukuman penjara dan denda tinggi.
Namun hukuman tak membuatnya sadar akan bahaya kekikiran. Di penjara itulah ia menaruh dendam kusumat pada terompah bututnya! Singkat cerita, seusai menjalani hukuman ia lampiaskan dendam dengan membuang terompahnya, Namun siapa sangka, ia kena batunya – lalu, melalui penceritaan yang humoris, terompah bututnya membuatnya masuk penjara lagi dan membayar denda kerugian beberapa kali hingga hartanya habis-bis! Akhirnya, dari rentetan kesialan kikir, ia sadar terjungkir di titik nadir. Ia bertaubat.
Buku dengan tebal 28 halaman yang dapat dibaca rampung sekali duduk ini bagi sebagian pembaca barangkali tidak menarik lantaran tak jauh bebeda dari khutbah – hikmah kisah-kisah bahaya pelit dan kikir yang kerap kita dengar dalam siar. Namun bagi pembacaan secara saksama, buku ini sungguh menarik lantaran dua hal pokok.
Pertama, narasi tentang kekikiran dan pemaknaan ulang kebahagiaan. Manakala kekikiran telah mengabuti sanubari maka, jarak pandang kebahagiaan manusia terhalang. Manusia sebagai insan kamil berubah menjadi binatang ekonomi yang memburu nafsu menumpuk kekayaan dan enggan mengeluarkan hartanya tanpa hasil kalkulasi rasional-matematis akumulasi profit. Walhasil tatkala bala sebagai buah kikir itu menimpa baik berupa macetnya rezeki uang maupun seretnya rezeki pertolongan relasi, si kikir itu jadi gelap pikir. Ia terjebak pada slothful induction salah satu bentuk logical fallacy karena induksi.
“Bukankah terompah itu sudah kubuang ke dasar Sungai Daljah yang dalam, mengapa bisa sampai ke sini lagi dan memecahkan botol-botolku… Bukankah kau sudah cukup membikin aku celaka masuk penjara, kata Abu Kasim sambil membanting terompah itu keras keras ke lantai. Belum cukupkah kau membikin aku jadi setengah gila…” (halaman 16). Letak kesalahan berfikir Abu Kasim ini dipertegas pada dialognya dengan terompahnya yang surealistik, “Aku tahu wahai Abu Kasim, kau telah murka kepadaku. Kau anggap akulah sumber malapetaka selama ini. Tapi, ketahuilah Abu Kasim, Tuhan Maha Kuasa tidak buta. Dia tahu, semuanya ini adalah akibat kekikiranmu.” (halaman 24).
Kedua, selain wajah kehambaan dan kemanusiaan yang surut hal yang perlu sorot secara teliti yakni titi mangsa tahun serta latar belakang penyadur sungguh menarik perhatian. Mahbub Djunaidi sebagai salah satu penyadur yang giat dalam dunia aktivisme barangkali dapat dibaca turut melancarkan kritiknya atas krisis beras yang menimpa Indonesia delapan tahun sebelum buku ini terbit ada 1976. Pesan untuk tidak memilih menjadi kikir apalagi dalam masa krisis itulah yang menarik dilirik. Atau paling tidak, agaknya Mahbub juga membaca pada periode 1976 (periode rentang waktu tahun minyak) mewanti-wanti Dutch Disease (Penyakit Belanda) atau fenomena ekonomi pada negara-negara yang diberkahi minyak melimpah. Meskipun pada data yang terbaca belakangan, Indonesia yang terdongkrak ekonominya karena penjualan minyaknya yang melonjak tidak terkena fenomena tersebut.
Dus, buku tipis yang memuat pesan tebal bahaya kikir menjungkirkan manusia ke titik nadir ini, dirasa masih penting untuk masa sekarang dan mewanti-wanti hembusan prediksi musim dingin resesi 2023 dari para ahli ekonomi. Atau memang pesan untuk saling membantu, ikhlas dan senang mendermakan sebagian hartanya kepada miskin dan fakir itu akan selalu penting untuk sepanjang zaman. Insya Allah.
Judul : Terompah Abu Kasim
Penulis : Kamil Kailani
Penyadur : H. Mahbub Djunaidi & Mustafa Mahdamy
Penerbit : P.T. Alma’arif, Bandung
Cetakan : Pertama, 1976
Tebal : 28 halaman
ISBN : –