Kebencian terhadap seseorang/kelompok/organisasi, tidaklah mungkin datang dari ruang yang hampa. Ia tidak serta merta meniadakan konteks (ruang dan waktu; situasi dan kondisi; dan lain sebagainya) yang melatarinya. Kebencian, jika disorot dari kacamata keagamaan, adalah sebuah sikap yang mestinya dijauhkan bahkan dikubur dalam-dalam oleh setiap umat manusia.
Namun, jika kebencian disorot dari kacamata politik, apakah esensinya akan tetap demikian: sebuah sikap yang mestinya dijauhkan bahkan dikubur dalam-dalam oleh setiap umat manusia? Lebih jauh, karena kebencian selalu diasosiasikan dengan konotasi yang serba negatif? Saya ragu untuk sekadar mengatakan “ya”.
Karena dalam keadaan tertentu, kebencian bisa menjadi alat yang strategis untuk meloloskan kepentingan yang sedang dijalankan. Baik itu dilakukan oleh individu, suatu kelompok atau organisasi, dan lain sebagainya, yang sekiranya—memerlukan kebencian untuk dijadikan sebagai sarana guna mobilisasi massa terkait suatu isu.
Menurut George (2017: vi), para wirausahawan politik sering kali menggunakan propaganda kebencian guna menciptakan delusi mengenai komunitas-komunitas murni, yang perlu dilindungi dari noda (cacian, makian, hinaan, dan sejenis) yang diberikan oleh pihak lain. Salah satu dari propaganda kebencian tersebut, berbentuk ujaran kebencian (hate speech), yang mendorong kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang tidak disukai.
Pada arah yang berbeda, propaganda kebencian termanifestasikan sebagai suatu letupan “ketersinggungan massa” akan sebuah “pencampakan”. Para pengunjuk rasa yang merasakan hal tersebut, tentunya akan menuntut secara langsung, agar pemerintah—selaku pihak yang bertanggungjawab atas kehidupan bersama—mengintervensi atau terlibat dalam aksi main hakim sendiri, supaya bisa meredakan perasaan agama yang terluka, yang berasal dari suatu individu maupun kelompok.
Pada tulisan ini, saya akan membawa riset mendalam Cherian George, seorang profesor asal Singapura, yang salah satu fokus akademisnya berada pada ranah kebebasan berekspresi dan propaganda kebencian. Riset mendalam tersebut telah dibukukan, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, yang bekerja sama dengan Institute of International Studies UGM—bertajuk Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi (2017).
Riset mendalamnya, saya pikir, sampai dengan hari ini masih sangat relevan. Relevansi itu tercermin jika kita ingin melakukan pembacaan atas kekerasan yang terjadi di Indonesia atas nama agama atau ketersinggungan suatu kelompok (mayoritas-minoritas), yang berkaitan dengan upaya untuk meraih kekuasaan. Maka dari itu, tulisan ini berhutang banyak kepada hasil analisisnya. Karena secara tidak langsung, hasil analisisnya telah menjadi kerangka berpikir yang sangat berguna bagi penulis.
Meski begitu, tulisan ini diharapkan tetap membawa manfaat bagi para pembaca. Misalnya, menjadi pengingat atau alarm dalam keadaan tertentu (atau masa yang akan datang), bahwa kebencian, di saat yang lain dan bersamaan, mampu menjelma pisau bermata dua: sesuatu yang merugikan sekaligus menguntungkan. Bergantung kepada konteksnya seperti apa, siapa yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana kebencian itu dimaknai.
Ancaman dan Bahayanya
“Pelintiran kebencian (hate spin) adalah teknik politik pertikaian yang secara strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan dan ketersinggungan. Pelintiran kebencian mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat identitas-identitas kelompok sebagai sumber daya dalam aksi-aksi kolektif yang tujuannya tidak prodemokrasi,” tulis George, di bagian tinjauan umum karyanya.
Selain itu, ia juga menjelaskan ancaman serta bahaya yang dapat ditimbulkan dari pelintiran kebencian ini. Dari segi elektoral, misalnya, pelintiran kebencian dapat memanipulasi “ketakutan” sebagai strategi kampanye politik; dari segi sosial, dapat memarginalisasi suatu agama/kelompok minoritas; dan dari segi ideologis, dapat menyensor buku-buku maupun karya seni yang menentang narasi dominan atau yang dapat mengguncangkan kemapanan (status quo).
Menurut George, strategi itu juga sering kali menyusup dalam bingkai-bingkai “ketidakadilan”, yang digunakan oleh para pemimpin politik atau gerakan sosial. Hal ini dilakukan agar para agen pemelintir kebencian tersebut, dapat mendulang “solidaritas” dan “dukungan” dari sebuah anggota kelompok terhadap agenda yang sedang dibawa. Ringkasnya, mereka hendak merekayasa suatu pertikaian politik berbasis identitas (agama/ras/suku/sejenis).
Seperti yang dikatakan William Gamson, Profesor Sosiologi di Media Research and Action Project (MRAP), bahwa “bingkai ketidakadilan” bisa secara efektif memobilisasi para pendukung. Bingkai ini bisa menciptakan narasi yang meyakinkan anggota sebuah kelompok bahwa ada pihak kuat di luar sana, yang melanggar kepentingan dan nilai mereka (George, 2017: 15). Untuk itu, pihak yang “dianggap” melanggar hal tersebut mesti ditindaklanjuti. Tidak bisa diabaikan terlalu lama atau didiamkan begitu saja.
Selain itu, jika bingkai ketidakadilan tersebut dikaitkan dengan simbol-simbol yang kuat. Tentu, dapat membuat anggota suatu kelompok yang dimobilisasi merasa relevan, bahwa mereka seperti memiliki keterikatan satu sama lain: senasib-sepenanggungan. Ada unsur sentimen yang dibangun dalam simbol-simbol tersebut.
Contoh dari simbol-simbol ketidakadilan ini, misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan insiden Holokaus bagi orang Yahudi, atau publikasi sebuah kartun Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh media asal Denmark, Jyllands-Posten, yang kemarahan puncaknya, terjadi pada Februari 2006 silam.
Studi kasus termutakhir, ialah seruan global yang terjadi pada 2020 dari berbagai negara mayoritas Muslim untuk memboikot produk Prancis (Rafika, 2020). Hal itu berakar dari “tanggapan kontroversial” Presiden Macron atas insiden terbunuhnya seorang guru di Prancis, setelah mengampu pelajaran kebebasan berpendapat kepada siswanya. Sebelum terbunuh, guru tersebut sempat menunjukan karikatur Nabi Muhammad SAW yang telah diterbitkan majalah satire, Charlie Hebdo, pada 2015.
Macron menanggapi kasus ini dengan pembelaan yang penuh semangat, bahwa ia sangat menghargai kebebasan berbicara dan nilai-nilai sekuler yang berlaku di Prancis. Tanggapan Presiden Macron merujuk pada semboyan yang dianut oleh Prancis, terutama setelah terjadinya Revolusi pada 1789: Liberté, égalité, fraternité—adalah kebebasan, persamaan hak, dan persaudaraan. Muaranya, Presiden Macron dikecam habis-habisan oleh umat Muslim di dunia, lantaran telah “melegitimasi” penghinaan atas keyakinan umat Muslim.
Pada akhirnya, berbagai hal itu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Serangan demi serangan, teror, atau sampai pada taraf pembunuhan/pembantaian oleh anggota kelompok masyarakat yang perasaan agamanya merasa terluka, akibat agen pemelintir kebencian bak menyalakan api dalam sekam (menyinggung sentimentalitasnya; sesuatu yang diyakini/dipercayai), menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. Harapan akan perdamaian antar sesama umat manusia menjadi kian sulit terwujud. Wallahu a’lam bishawab. [*]