Intelektual asal Iran yang mendalami banyak bidang ilmu. Dia menulis bidang tasawuf, hermeneutika, politik, seni, hingga sinema.
Buku anyar Hamid Dabashi IRAN The Rebirh of a Nation (Palgrave, 2016) sangat memorialistik. Buku ini melengkapi tidak kurang dari 20 buku dan ratusan esai di jurnal dan koran, yang pernah ditulisnya. Bukunya telah diterjemahkan dalam banyak bahasa, Japang, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia, Ibrani, Danish, Arab, Korea, Persia, Portugis, Polish, Turki, Urdu, hingga bahasa yang tidak kita kenal: Catalan.
Buku IRAN The Rebirh of a Nation seperti memoar. Dabashi menceritakan masih kecil, remaja, dan awal kuliah di Iran. Dia lahir di Ahvaz, Iran, 15 Juni 1951. Dia tinggal di Amerika Serikat dan menjadi Professor di bidang kajian Iran, Universitas Columbia, New York.
Ayahnya seorang yang pro Kiri, pekerja keras, dan santai soal agama. Ibunya seorang Syi’i yang saleh.
Ibunya mengalunkan ayat-ayat suci, di beranda rumah ayahnya menenggak Brandy dan minuman alkohol lainnya. Ibunya pada hari besar Syiah mengajak Hamid ziarah ke beberapa makam orang suci Syiah.
Secara reguler ibunya mengundang ustadz ke rumahnya untuk mengajari Hamid membaca Alquran atau membaca rangkaian doa Syiah, ayahnya santai merokok dan membaca koran di kamar tengah.
Kelompok radikal di Iran pada akhir 1960an adalah gejala umum. Di Iran, politik berorientasi Marxis hal biasa, seperti di tempat lain. Mereka berbaur dengan pietisme tanpa ronta dan genderang kebencian.
Dalam ruang kecil seperti ruang keluarga, perjumpaan itu lumrah-lumrah saja. Dabashi menceritakan latar sosial keluarga pasti bukan untuk gagah-gagahan. Tapi ingin memberikan gambaran bagaimana pengaruh campuran antara kesalehan dan orientasi politik radikal (tentu saja Marxisme) memiliki peran besar membentuk kesarjanaan yang dicapainya sampai hari ini.
Dalam obituarinya bagi karibnya, Edward Said, Dabashi menuliskan dengan ringan tanpa bermaksud menonjolkan, bagaimana dalam rentang panjang dia sudah lepas dari kewajiban formal agama Islam. Kasarnya, tidak salat, meninggalkan puasa dan ibadah mahdah lainnya karena ketenggelamannya dalam ranah pengetahuan.
Ia menulis obituari ketika sedang dalam perjalanan pertama ke Jerussalem.
Pesawat mendarat. Dabashi dapat melewati serangkaian pemeriksaan pemerintahan zionis yang kaku, bebal, dan tidak jarang mengada-ada.
Taksi bergerak cepat, ketika melewati masjid al-Aqsha. Dalam buku barunya ini, Dabashi menuliskan bagaimana ia spontan merapal al-Fatihah tanpa mampu dikontrolnya. Dia tergetar dengan bangunan suci umat Islam, dan hotel yang ditujunya hanya beberapa meter dari al-Quds. Ini periode sebelum Dabashi sebelum menulis isu-isu politik pengetahuan, sastra persia, dan sastra umum.
Sebelum menjadi guru besar di Universitas Columbia, USA, Dabashi adalag penulis yang tajam soal tasawuf. Ia pernah menulis survei panjang soal kecendrungan sufisme pada masa dinasti Seljuk. Sebuah paper mendalam soal pokok ajaran dari sufi-martir abad 11 Masehi, Ainul Qudhat Hamdani, juga mengenai Nashiruddin Thusi dan Rumi.
Tapi senarai tulisan tentang sufisme Islam tidak perlu dibenturkan dengan absenya kesalehan pribadi seperti di negeri ini. Dan Dabashi karena kematangan intelektualnya, tidak pernah melihat agama seformal umumnya orang. Tapi dia melihat semangat kosmopolitan Islam masa lalu umat Islam menerima berbagai hal secara kreatif.
Abu Hayyan at-Tauhidi, dan yang satu pandangan, di masa lalu dianggap sebagai kelompok murtad oleh ortodoksi, tapi sejarah tidak mencopot apapun dari keberislamannya.
Dabashi memberi contoh soal masa lalu umat Islam yang urban-sekular dalam artian berseteguh dengan olah pikiran untuk melucuti otoritas siapapun di antara manusia. Kebodohan haqiqi adalah membiarkan diri diasupi pengetahuan oleh orang lain tanpa pernah berusaha belajar dengan giat untuk mematangkan intelektualitas.
Saya katakan matang secara intelektual, karena Dabashi rata-rata menulis dua sampai tiga buku dalam setahun.
Itu sekelumit tentang Hamid Dabashi. Sebenarnya, saya tidak sedang mencoba mengenalkannya. Saya hanya ingin mengapresiasi ketajaman intelektualnya lantaran beragamnya warna pengaruh dalam hidupnya, termasuk campuran kesalehan pedesaan sang ibu dan orientasi politik-radikal sang ayah yang tida perlu dipertentangkan.