Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, Islam dibangun atas lima perkara, Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji. Ke lima perkara tersebut mempunyai bagiannya masing-masing dalam membentuk bangunan agama. Seperti yang sudah tidak asing kita dengar misalnya syahadat sebagai pondasi dan salat sebagai tiang agama. Tetapi, alih-alih hanya menjadi tiang agama, salat secara hakikat justru menjadi bangunan agama itu sendiri.
Dalam Kitab Fathul Qorib karangan Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi menuqil dari Imam Rofi’i, salat secara bahasa berarti doa, sedangkan secara istilah atau syara’ diartikan sebagai rangkaian ucapan dan pekerjaan yang diawali dari takbiratul ihrom dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
Sesuai pengertian di atas maka kita dapat membagi dua golongan kegiatan yang dilakukan dalam salat, yaitu ucapan atau qouliyah dan pekerjaan atau fi’liyah. Adapun kegiatan-kegiatan yang ada dalam salat pada penjelasan lebih lanjut disebut dengan rukun dan sunnah. Salah satu rukun ucapan itu adalah membaca tasyahud akhir yang di dalamnya ada dua kalimat syahadat.
Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa salat adalah ranah paling dasar bagi seorang muslim dalam menjalankan agamanya. Di mana dia akan mau tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat minimal lima kali sehari.
Salat sebagai Tiang Agama
Istilah ini begitu populer bagi umat muslim. Seperti sangat familiar ketika mengumpamakan salat sebagai tiang agama. Dasarnya tentu karena perintah salat diredaksikan dengan kata iqomu dari fi’il madli qoma yang artinya berdiri. Interaksi antara makna simbol dan arti tuturan ini kemudian menjadikan salat sebagai simbol dari tiang karena salat itu “didirikan”.
Hal ini linear dengan tata cara pelaksanaan salat yaitu dengan berdiri dan menjadi rukun fi’liyah pertama. Intinya adalah bahwa salat menjadi representasi yang aktif dari simbol tiang agama. Karena pada dasarnya baik pelaksanaan maupun perintahnya sudah mengarahkan kepada istilah yang lebih spesifik yaitu tiang.
Puasa dalam Perspektif Salat
Ada beberapa larangan dalam mengerjakan salat, salah satunya adalah makan dan minum. Kita dituntut fokus dalam menghadap Tuhan. Dengan kata lain, tidak ada satu pun hal di dunia ini diizinkan mengganggu proses komunikasi antara hamba dan Tuhannya.
Dan tanpa kita sadari kita benar-benar sedang berpuasa ketika salat. Seperti ada penghalang besar antara dunia luar dan dunia salat. Yang pada akhirnya bisa kita asosiasikan dengan dinding atau tembok, karena di dalamnya hal-hal yang terkait duniawi kita lepas dan mengekangnya sementara waktu.
Zakat dalam Perspektif Salat
Sebagai ibadah pembersihan, zakat berkaitan dengan meluangkan sebagian harta untuk diberikan kepada para mustahik. Cukup sulit untuk melihat zakat dari sudut pandang salat. Ada dua perspektif yang dapat ditemukan, yaitu pembersihan dan sedekah.
Nilai pembersihan dalam zakat direpresentasikan dengan wudu. Meskipun pengerjaannya di luar salat, wudu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sedangkan nilai sedekah secara filosofis mengacu pada sedekah waktu. Sebagai manusia dengan segala kesibukannya yang bersifat duniawi, salat adalah simbol pelepasan atribut keduniaan untuk sementara waktu.
Haji dalam Perspektif Salat
Kompleksitas salat sebagai ritual agama yang utuh ditutup dengan ibadah penyempurna, ibadah yang paling membutuhkan “kemampuan”, ibadah yang kita anggap mempunyai kesakralan. Apa yang dapat kita lihat dari ibadah haji jika kita melihatnya dengan kacamata salat?
Haji sebagai panggilan Tuhan dimuat dalam makna azan secara hukumiyah. Sedangkan haji sebagai ihram tercermin dalam bacaan takbir pertama yang kita sebut sebagai takbiratul ihram. Dan haji sebagai sarana menziarahi ka’bah juga tersirat dalam proses salat yang harus dilakukan dengan menghadap ka’bah.
Memahami perspektif yang luas dari salat adalah bentuk tadabbur kita, betapa Allah sudah menciptakan ibadah begitu kompleks dan sangat representatif baik dalam pelaksanaan maupun nilai-nilainya. Salat bukan hanya sekadar tiang agama, namun ia adalah simbol dari agama itu sendiri. Salat adalah pembeda agama islam dengan agama lain.
Dan meskipun demikian, bukannya kita menyepelekan ibadah-ibadah yang lain. Tetapi alih-alih menyepelekan justru dengan ini kita mengetahui bahwa salat tidak bisa dianggap ibadah biasa, dan ibadah-ibadah lain juga punya nilai yang tidak bisa kita sepelekan begitu saja.
Demikian penjelasan dari saya yang fakir ilmu, semoga dapat menambah pemahaman kita semua. Dan menjadi ajang muhasabah dalam diri saya dan diri para pembaca, sudah sejauh mana kita mendirikan agama ini dari titik paling krusialnya yaitu rukun islam.