Sebagai muslim yang taat, sudah patut bagi kita untuk mengikuti apa yang diperintah oleh syariat islam dan meninggalkan apa yang dilarang oleh syariat islam juga. Namun dalam menjalakan syariat islam, bukan berarti seorang muslim harus meniru Allah Swt atau meniru semua apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Dalam pengajian rutin kitab Tafsir Jalalain di Yogyakarta pada surat Shod ayat 48-88 yang diampu oleh K.H Bahaudin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha, beliau menyampaikan bahwa dalam menjalankan syariat agama islam kita harus mengikuti mahluk (bukan kholiq) yaitu para nabi, yang kemudian diteruskan oleh para ulama.
“Untuk menuju jalannya Allah, mau tidak mau kita harus meniru mahluk. Maka keliru jika ada orang yang bilang dikit-dikit ikut Pengeran (Allah), (karena) Pengeran itu tidak makan dan tidak minum,” ucap Gus Baha.
Hal tersebut dapat kita cermati dalam surat al-Fatihah pada ayat ke tujuh, disebutkan bahwa ketika kita berdoa dengan surat al-Fatihah, kita meminta jalan yang lurus kepada Allah Swt melalui jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah Swt,
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka (yang) dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang tersesat”.
Menurut Gus Baha, lafaz shirothol ladzina an’amta ‘alaihim harusnya diganti dengan lafaz shirotoka yang berarti “jalan Engkau (Allah)”, andai orang islam diwajibkan untuk meniru Allah Swt secara langsung. Akan tetapi Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk meniru orang-orang yang saleh. Karena Allah Swt memiliki sifat yang berbeda dengan mahluk dan tidak boleh ditiru, seperti dalam surat as-Syura ayat 11,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (dalam semua hal)”.
Selain itu, Gus Baha juga menuturkan bahwa kita sebagai seorang muslim tidak boleh asal berkata “kita ini mengikuti Nabi”. Mengapa demikian, karena Nabi Muhammad saw itu akan selalu berada dalam kebenaran, tetapi sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada beliau belum tentu benar. Kemudian, misalnya riwayat tersebut memang benar dari Nabi Muhammad saw, makna yang dipahami seseorang itu belum tentu benar atau tidak, karena bisa saja salah.
“Misalnya kamu bisa meniru Nabi, (dalam) salat qobliyah-nya. (Salat) qobliyahnya mengikuti Nabi, cingkrangnya meniru Nabi, (salat) ba’diyahnya meniru Nabi. Nanti kalau tidak ada riwayat, Nabi itu hidupnya di Makkah dan Madinah, kenapa kamu tidak hidup di Mekkah dan Madinah?” tutur Gus Baha yang disambut gelak tawa para jemaat.
Dalam memahami apa saja yang boleh ditiru Nabi Muhammad saw, dibutuhkan para ulama yang mempunyai kapasitas dalam berijtihad. Jika saja tanpa ulama, umat islam saat ini tentu tidak akan memiliki mata rantai keilmuaan yang sampai pada Nabi Muhammad saw.
“Andaikan sunnah rasul dimaknai secara sepihak, maka harus hidup di Madinah. Maka jika ada orang islam yang tidak pernah ke Madinah, (dia) akan dianggap tidak mengikuti sunnah rasul,” jelas Gus baha.
Dalam mukadimah kitab Shohih Muslim, Abdullah bin al-Mubarok berkata tentang pentingnya sanad atau ketersambungan suatu ilmu,
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ماشاء عن عبدالله بن المبارك رضي الله عنه أنه قال:
“Dari Abdullah bin al-Mubarok, dia berkata: sanad itu sebagian dari agama. Jika tidak ada sanad, sungguh seseorang akan berkata apa saja yang dia kehendaki”. Wallahu a’lam.