Pemilihan Umum serentak telah berlalu. Meski hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum belum diumumkan, namun hasil hitung cepat (quick qount) dari berbagai lembaga survey telah memindai hasilnya. Presiden Joko Widodo hampir dipastikan kembali memimpin Indonesia. Didampingi oleh KH. Maruf Amin sebagai wakilnya yang baru.
Begitu juga belasan partai yang ikut berkompetisi. Partai-partai baru dan sejumlah partai lama diprediksi tak lolos parlementary treshold. Hal yang sama juga dialami oleh para calon legeslatif. Ada ribuan calon yang bertumbangan dan sejumlah pemimpin baru pun bakal dilantik. Lengkap dengan berbagai drama yang menyelinginya.
Di balik dramaturgi Pemilu di atas, ada hikmah yang perlu direnungkan. Apa sebenarnya hakikat partai dan hakikat pemimpin itu sendiri? Menjawab pertanyaan tersebut, menarik kiranya membaca ulang tulisan KH. Mahfudz Siddiq di “Berita Nahdlatoel Oelama” nomor 19 tahun IX, Agustus 1940. “Partai”, demikian judul tulisannya.
Partai sebagai alat perjuangan politik dibuat untuk kepentingan masyarakat dan negara. Namun, banyak rakyat Indonesia yang tak paham dengan hakikat dan fungsi partai. Akhirnya, kontrol publik pun tak ada.
“Sedemikian itoe menjebabkan partai² sendiri tidak sehat atau koerang sehatnja, perbedaan antara sifat kegolongan pihak pemimpin dan pihak jang dipimpin dan sebagainja, sebab kita sama ma’loem bahwa golongan fabrikant misalnja, tidak akan dapat mendjadi pemimpin golongan boeroeh,” tulis Kiai Mahfudz.
Kualitas partai yang demikian itu, tak jauh beda dengan kondisi saat ini, bukan?
Partai politik dengan kualitas demikian, imbuh Kiai Mahfudz, karena salah pahamnya anggapan terhadap institusi partai itu sendiri.
“Satoe perkara jang roepanja koerang dimengerti oleh oemmat oemoem, adakah sangka mereka, bahwa perkoempoelan atau partai itoe haroes dibikin dan perkoempoelan atau partai itoe moedah ‘dibikin’. Boekankah theorienja mengadakan pergerakan itoe moedah belaka?! Soesoenlah bestuurnja: giatkanlah propagandanja, dan perkajakanlah perbendaharaannja: tjukuplah soedah,” urainya.
Padahal anggapan yang keliru itu, hanya akan melahirkan partai dan organisasi yang kerdil. Partai maupun organisasi haruslah lahir dari tuntutan keadaan, bukan hanya dasar pemikiran dan keinginan satu dua orang pemimpinnya. “Keadaan atau dengan lain kalimat: KEBOETOEHAN BERSAMA, itoelah jang mengadakan dan mewoedjoedkan pergerakan atau partai itoe,” tulis Ketua PBNU termuda dalam sejarah itu.
Tokoh muda asal Jember, Jawa Timur itu, mencontohkan Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah organisasi, NU lahir dari “keboetoehan bersama”. Tak heran jika NU mampu berkembang dengan cepat dan masif, meskipun secara teoritis tak memungkinkan. Tak sedikit yang menganggap NU adalah organisasi yang kolot, lambat dan terlalu banyak aturan. Hal itu lantas membuat mereka tak mau bergabung dan mendirikan organisasi sendiri.
Namun, dalam perkembangannya, justru NU tumbuh menjadi organisasi yang berkembang pesat. Sedangkan yang menolak NU, justru semakin redup popularitasnya. Organisasi yang digagasnya pun tak berkembang.
“Empat tahoen lewat, perhimpoenan mereka tetap masih ada di dalam kampoengnja sendiri, tidak bisa berkembang, apalagi keloear kota, sedang di kampoeng sampingnya sadja tidak; oesaha² jang dirantjang sempoerna, sama sekali tidak berjalan: pemimpin-pemimpinnya boekan semakin populair, tetapi makin soeroet, tidak berarti.”
Kehadiran partai ataupun organisasi yang tak berangkat dari “keboetoehan bersama” tersebut, bagi Mahfudz, tak akan memberi faedah apa-apa bagi bangsa. Justru hanya akan melahirkan friksi yang tak berarti dan merusak.
“Apa djadinja perhimpoenan atau partai jang sebanjak itoe? Sama sekali tidak mendatangkan arti apa² di dalam peredaranja riwajat bangsa Indonesia, hanja perkelahian jang ramai, antara gerakan si anoe dengan gerakan si anoe dan perkelahian itoe pada pertama kalinja, hanja karena pengoeroesnja belaka.”
Pentingnya sesuatu yang lahir dari kebutuhan bersama tersebut, tak hanya berlaku bagi partai ataupun perhimpunan belaka. Namun, menurut Mahfudz, juga berlaku bagi lahirnya seorang pemimpin. Kepandaian, kekayaan, keluarga, dan pengaruh tak akan bisa melahirkan seorang pemimpin yang bisa mengayomi rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin tak lahir dari bikinan pihak tertentu, tapi tercipta dari kebutuhan bersama.
Dalam tulisan tersebut, Mahfudz mencontohkan seorang Mustafa Kamal Basya. Meskipun hanya orang biasa, ia mampu menjadi pemimpin Turki yang revolusioner. Hal yang sama juga bisa kita lihat dari sosok Joko Widodo. Ia terpilih sebagai presiden Indonesia, bukan karena kepandaiannya, karena banyak yang lebih pandai darinya. Bukan juga karena kekayaannya, apalagi pengaruh dari keluarga besarnya. Namun, ia terlahir menjadi pemimpin bangsa yang besar ini, karena kebutuhan bersama.
Rakyat Indonesia lelah dengan kesewenang-wenangan para elit. Kekayaan yang melimpah dan pengaruh besar justru digunakan untuk menindas. Kepongahan itulah yang dilawan oleh rakyat. Mereka membutuhkan pemimpin yang sederhana, dari kalangan biasa-biasa saja, namun mau mendengar dan bekerja untuk rakyat. Kebutuhan inilah yang melahirkan pemimpin bernama Jokowi itu.
Jika hakikat partai, organisasi dan para pemimpinnya dipahami betul oleh bangsa ini, tentu akan segera maju Indonesia tercinta ini.
“Djikalau bangsa kita mempoenjai pengertian sedemikian, Indonesia tidak akan mempoenjai 3000 matjam perhimpoenan dan partai dan tidak akan bikin 1001 pemimpin jang hanja melambatkan djalannja riwayat sadja.”