Sebagai makhluk tak kasatmata yang juga berpikir multidimensional, jelas bahwa Iblis dianugerahi kecerdasan otak untuk berpikir dan menalar. Karena ia punya kemampuan berpikir taktis dan strategis, ia pun punya rencana-rencana yang diagendakan untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Tetapi, sebagaimana kecerdasan otak manusia, makhluk iblis punya keterbatasan-ketarbatasan tertentu untuk dapat menggoda dan mengelabui manusia. Sehebat apapun kecerdasan dan rekayasa iblis dan golongannya, takkan pernah mencapai tujuannya, manakala Tuhan tidak mengizinkan tercapainya maksud dan tujuan tersebut.
Dengan kecerdasan otak itu, para iblis mengukur kapasitas dan kesanggupannya untuk dapat mengelabui dan melumpuhkan kekuatan iman manusia. Kita mengenal kisah yang dialami Nabi Ayub dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Pada mulanya si Iblis merasa gembira karena telah berhasil memperdaya dan melumpuhkan Ayub selama bertahun-tahun. Seakan ada kerjasama atau konspirasi terselubung antara satu makhluk tak kasatmata (iblis) dengan mikrobiologis (virus) yang juga tak kasatmata.
Rencana dan kehendak Iblis menang pada awalnya. Ayub dilumpuhkan dan digerogoti penyakit hingga terbaring lemah tak berdaya. Dunia iblis berpesta-pora dan tertawa terbahak-bahak, termasuk orang-orang yang dengki pada perjuangan Ayub. Tetapi, orang setangguh Ayub tidak serta-merta menyerah, walaupun ia terkalahkan dalam momentum awal. Ia konsisten pada perintah Tuhan untuk berusaha dan berdoa seoptimal mungkin. Kesabarannya juga tercermin dari sifat dan karakteristiknya, bahwa tiada seorang pun yang menjadi penolong baginya kecuali Sang Penggenggam semesta ini.
“Apakah manusia mengira dirinya sudah beriman, padahal ia belum menghadapi ujian berat untuk menentukan kualitas imannya?” Demikian firman Tuhan dalam ayat-ayat pertama surah al-Ankabut.
Ketika Ayub bangkit dari keterpurukannya, kemudian terus konsisten menebarkan benih-benih kebaikan, dunia iblis dirundung rasa cemas dan frustasi. Termasuk orang-orang yang tidak menyukai Ayub. Segencar apapun mereka berusaha melumpuhkan kehidupan Ayub, namun demikian Ayub berusaha untuk bersabar menghadapi penyakit (malapetaka) yang dideritanya. Dengan demikian, Tuhan sama sekali tidak mengizinkan rencana dan kehendak para Iblis berjalan mulus sebagaimana yang dicita-citakan mereka.
Dari perspektif lain, nafsu eksplorasi Raja Iblis yang obsesif dan ambisius, tercermin dalam karya sastra Wolfgang Goethe (Jerman) menyimbolkan kekuatran Raja Iblis pada kemenangan Mefisto yang berhasile menggoda dan mengelabui seorang ilmuwan dan peneliti ulung bernama Doktor Faust. Di ambang kegagalannya setelah sekian tahun menekuni riset dan penelitian di pusat laboratorium, Mefisto kemudian muncul dan menawarkan iming-iming menarik yang selama ini mernjadi dambaan sang ilmuwan. Faust dijanjikan menjadi kaya raya dan populer (unsur duniawi), dengan syarat harus menuruti setiap petuah dan nasihat Sang Mefisto, hingga kemudian menjadi pengikutnya yang setia.
Nafsu eksplorasi yang ambisius pada perjalanannya menjadi sehaluan antara kehendak dan cita-cita Faust dengan Mefisto yang menjadi guru teladannya. Penemuan itu menjadi semacam “juggernaut” yang kelak membawa malapetaka bagi peradaban manusia, sebagaimana Albert Einstein pernah memberi peringatan: “Berhati-hatilah, karena tidak setiap yang terjangkau oleh kekuatan otak, boleh dilakukan sekehendak hatinya.”
Ada beragam versi mengenai kisah Faust yang dimodifikasi oleh banyak sastrawan Barat, termasuk kalangan Protestan yang menyatakan bahwa sosok Faust akhirnya bertobat dan minta ampun, serta tidak lagi menuruti petuah Raja Iblis itu. Tetapi, versi asli yang merupakan gubahan Goethe digambarkan mengenai kemenangan dunia Iblis yang berhasil mengelabui Faust hingga tak sempat bertobat, dan terus menjadi pengikut setianya hingga akhir hayat.
Goethe seakan menampilkan sosok Firaun (Ramses II) dalam kisah-kisah islami, bahwa pada akhirnya, meskipun Firaun menyatakan diri bertobat dan mengakui keagungan dan kemahakuasaan Tuhannya Musa (Rabbu Musa), tetapi tetap ia tergolong orang yang hina dan nista dalam peradaban sejarah umat manusia. Tuhan tidak menerima pertobatannya pada detik-detik akhir, dan ia pun tewas di Laut Merah, menjadi pengikut yang setia dari Raja Iblis.
Firaun tentu saja bukan orang bodoh dan dungu. Ia tergolong penguasa yang licik, cerdas dan jenius. Tetapi, godaan Raja Iblis dapat memenangkan dirinya hingga ia menjadi terlena dan terpedaya oleh bujuk-rayunya. Sampai kemudian, mereka yang mengutamakan kepentingan duniawi yang fana dan sementara ini, akan mudah terjebak oleh kemahiran Iblis untuk menyiasati dan mengelabui kehidupannya. Dengan berbagai godaan dan bujuk-rayu tersebut, manusia dibikin terlena dan terpedaya bahwa “hakikat kehidupan” seolah-olah bukan di akhirat nanti, melainkan kehidupan saat ini, di dunia ini.
Di era digital dan penemuan teknologi tinggi akhir-akhir ini, perangkap setan dan iblis tentu tidak kalah canggihnya dengan kecerdasan otak manusia. Seperti yang sudah saya katakan di atas, ia telah dianugerahi kecerdasan yang multidimensional juga, tetapi tentu saja masih tetap dalam kerangka manajemen dan kekuasaan Sang Pencipta. Para Iblis dapat menerobos masuk dan merusak peradaban manusia, sebagaimana virus yang menggerogoti kesehatan, manakala Tuhan memberikan izin atasnya. Dan Tuhan senantiasa memberikan izin, manakala manusia lupa diri dan terlena pada kebesaran dan keagungan-Nya.
Di bulan Ramadan ini, selama sebulan penuh kita hendaknya melakukan riyalat (dari bahasa Arab: riyadlah), yang berarti melatih diri, membakar diri, agar senantiasa kita mendekatkan diri pada petunjuk dan hidayah Tuhan. Semakin akrab seorang hamba mendekatkan diri kepada-Nya, semakin ia diliputi jiwa yang “bertakwa” hingga tertutup kemungkinan ia terpedaya dan tergelincir di jalan kelaliman dan kemungkaran.
Inilah filosofi makna dari terikatnya setan-setan di bulan Ramadan, karena di bulan ini jutaan umat Islam di seluruh dunia sedang melatih, menempa dan membakar diri, untuk mencapai derajat ketakwaan yang senantiasa diliputi rahmat dan maghfirah Allah, Tuhan Semesta alam.