Sedang Membaca
Ibu dan Amplop Kecilnya: Kenangan yang Tersimpan
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Ibu dan Amplop Kecilnya: Kenangan yang Tersimpan

Fb Img 1627873635373

Beberapa hari silam membuka dompet ibu yang masih saya bawa sejak keberangkatan ke RS. Isinya, selain kartu identitas, juga beberapa amplop bertuliskan namanya.

Amplop mini ini selalu ada di dompetnya. Biasanya diisi sekian nominal dan dibagi ke para janda sepuh di desa, atau diberikan kepada wali santri dan alumni pondok yang berkunjung, juga buat nyangoni tuan rumah yang beliau kunjungi. Kadang disampaikan sebagai zakat, kadang sedekah diatasnamakan almarhum bapak juga almarhum adik saya. Nominalnya tidak banyak, disesuaikan kondisi penerima. Tapi ibu menjadikannya sebagai rutinitas. Selalu ada amplop kecil di dompetnya.

Selain menyediakan amplop, ibu juga membawa beberapa kresek berisi beras, minyak, gula, dan mie. Kemasan ini ada di mobil. Sewaktu-waktu bisa dibagikan. Praktis.

Energi silaturahim dan berbagi ini yang belum bisa saya jiplak hingga kini. Rutinitas yang bisa memperpanjang umur dan membawa keberkahan rezeki. Salah satu alumni generasi lawas bilang, “Jika dibandingkan, umi yang lebih sering berkunjung ke sini, daripada saya yang sowan beliau.”

Saya membenarkannya. Sebab, keliling ke para kerabat dan wali santri memang rutin dilakukan. Biasanya seminggu sekali ada saja yang dikunjungi. Di desa, tetangga kampung, bahkan ke kabupaten sebelah.

Sepeninggal ayah, Februari 2015, ibu juga mulai melanjutkan kebiasaan suaminya: membiayai sekolah dan kuliah santri. Juga membelikan perangkat elektronik bagi beberapa guru yang sudah lama mengabdi di lembaga kami.

Baca juga:  Ketika Mata Laki-Laki Bernama Imam Syafi’i Membaca Perempuan 

Ketika dirawat di RS, dalam kondisi gula darah yang tidak stabil dan saturasi oksigen naik turun, ibu bahkan masih sempat menyampaikan keinginannya membayarkan UKT santri yang dikuliahkan di INAIFAS, sekaligus membelikan mesin cuci untuk Pak Hasan Sholihan.

“Pak Hasan orang baik. Ikhlas mengabdi di pondok. Dia juga masih kerabat kita. Pak Hasan juga gurumu dan adik-adikmu. Aku masih punya uang. Aku ingin membelikannya mesin cuci.”

Pesan ini sudah ditunaikan adik saya, Briliana Kharisma Mazidah, kemarin. Sekaligus menunaikan keinginan ibu lainnya, membeli beberapa sak semen atas nama dirinya dan atas nama almarhum Qoidud Duwal, adik saya. Semen juga sudah diserahkan ke Masjid Darul Falah di desa kami. Plong.

***

Seminggu merawat ibu di RS hingga wafatnya, bagi saya adalah salah satu momentum terindah. Saya bisa leluasa mengobrol dengannya, menyuapinya, memijatnya, mengganti pampersnya, memandikannya, sekaligus mengelus rambutnya yang mulai memutih, dan sepuasnya mencium kening dan pipinya.

Kadang, di saat memijat kakinya, ingatan melayang puluhan tahun silam, saat ibu merawat saya yang sakit. Saya tak ingin menampakkan kesedihan di hadapannya. Selalu ngempet nangis, dan kalaupun mewek sepuasnya, saya melakukannya di kamar mandi, di saat ibu terlelap. Plong.

Dalam setiap obrolan sambil terbaring, dan di saat saya menyuapinya, ada beberapa pesan yang saya ingat, dan saya anggap sebagai wasiat.

Pertama, agar menyelesaikan S3 secepatnya. Tidak usah molor seperti S1 dan S2. Saya nyengir saja mendengar pesan ini sembari mengalihkan perhatian. Tapi ibu tetap ingin agar saya bisa menyelesaikan kuliah ini sesuai dengan target.

Baca juga:  Perempuan dan Media Iklan

Kedua, menyelesaikan pembangunan rumah. “Aku ingin menyaksikan rumahmu selesai sebelum aku wafat,” katanya suatu ketika. Tetapi, rumah belum juga tegak, beliau sudah berpulang dulu.

Ketiga, agar saya menyediakan kamar tamu yang bagus. Luas, diberi kasur empuk, wangi, ber-AC, dan ada kamar mandinya. “Biar tamumu senang. Dan, kamu bisa melayani dengan baik para guru yang menginap di rumahmu,” katanya suatu saat. Rumah yang baik, kata ibu, adalah yang nyaman bukan buat tuan rumah saja, melainkan bagi tamu yang berkunjung. Melayani tamu dengan baik adalah jalan keberkahan sebuah rumah, katanya. Oke. Saya nderek.

Keempat, melanjutkan pengajian rutinan dengan masyarakat. Arbain Nawawiyah, setiap malam Rabu, dan Tafsir al-Ibriz, saban malam Kamis. Dalam kondisi yang belum membaik diiringi selang oksigen, ibu bahkan menanyakan, “Apakah Pak Nahrowi (takmir Masjid Darul Falah) dan Pak Abd Rohman (takmir Masjid Ulil Azmi) sudah dikabari kalau kamu di sini, dan tidak bisa ngaji sesuai jadwal?”

Ibu selalu ingin agar saya bisa ngaji keliling rutinan di masjid atau mushala di sekitar pesantren kami. Juga pesan agar tetap istikamah ngajar ngaji walapun yang datang hanya satu atau dua orang. “Ganjarane podo senajan sing hadir ngaji mek wong siji-loro [pahalanya sama walaupun yang hadir mengaji hanya satu-dua orang],” katanya memotivasi pada suatu ketika.

Baca juga:  Perempuan Menulis (3): Kenapa Seksisme Masih Dianggap Bercandaan?

Kelima, ibu punya keinginan agar saya kelak bisa menghidupkan kembali asrama untuk lansia yang dulu pernah dibina Simbah Kakung saya. Ya, di pondok kami, pada tahun 1970-an, ada beberapa santri gaek. Mereka diasuh dan dibimbing Mbah Kakung saya, melalui Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, tarekat Mbah Kakung saya berbaiat kepada KH. Romly Tamim Rejoso Jombang. Para santri sepuh ini sebagian tinggal di pondok hingga wafatnya. Dibina ibadah kesehariannya, ngaji kitab tasawuf, dan diberi amalan rutinan. Masyarakat dulu menyebut santri sepuh ini sebagai santri pondok “Khusnul Khotimah” karena harapan para lansia ini hanya bisa menutup usia mereka dengan baik.

Rasanya berat melaksanakan beberapa pesan beliau di atas. Apa boleh buat, saya anggap sebagai wasiat yang harus ditunaikan. Dilakoni ndisek, embuh engko, meminjam Arek Suroboyo. Dilaksanakan dulu, entah nanti. Sebab Gusti Allah senantiasa bersama orang nekat. Dan pada puncak kenekatannya akan tawakal. Dan tawakal adalah jalan pembuka ridla-Nya.

***

Dua Minggu ini, rasanya melow banget. Lebih sensitif. Apalagi ketika mendengar lagu “Ibu”-nya Iwan Fals, “Untukmu Ibu”-nya Exist, “Ummi”-nya Haddad Alwi, “Ibu”-nya Haddad Alwi feat Farhan, “Bunda”-nya Potret, maupun “Keramat”-nya Bang Haji Rhoma Irama.

Tapi, saya menikmati sensitivitas ini. Menikmati sensasi kesedihan, kerinduan, yang bercampur cinta. Indah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top