Seperti PKI dan buku-buku berbau Marxisme, seperti yang belakangan ini bergaung kencang; feminisme dan anarkisme, hari Valentine juga gemar dianggap seperti malapetaka, menakutkan, dan mampu merusak moral. Dan oleh sebab itu, perayaannya harus ditolak, dirazia, dan diberangus jika perlu.
Saking seramnya, beberapa kepala daerah menolak hantu Valentine seperti halnya Orde Baru merumuskan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran marxisme, lenisme, komunisme.
Dari tahun-tahun sebelum pandemi covid-19 merecoki banyak manusia, beberapa kepala daerah seperti di Jabar, Bogor, dll, pernah menelurkan surat larangan perayaan hari Valentine. Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali pada tahun 2018 sempat bikin heboh. Lewat Instruksi Bupati Nomor 451/882/2018 tentang Imbauan Larangan Perayaan Hari Valentine Day, Bupati Aceh Besar menilai perayaan Valentine bertentangan dengan syariat Islam. Valentine budaya liberal barat. Ajaran pemuja seks bebas. Bukan budaya Islam.
Dulu, di Jakarta, pada Minggu 10 Februari 2019, di kawasan Car Free Day (CFD), sebuah komunitas muslimah kelas menengah peduli hijab, melangsungkan sebuah kampanye. Kegiatannya bertajuk Gerakan Menutup Aurat (GEMAR). GEMAR bagi-bagi hijab kepada pengunjung CFD dan berkampanye ihwal hari Valentine,yang sebaiknya diisi dengan menjalankan syariat islam, bukan malah bersuka cita merayakannya. Merayakan hari orang-orang celaka.
Ketakutan terhadap perayaan Valentine, sesuatu momen peringatan yang dianggap bukan berasal dari budaya nusantara dan tradisi agama Islam, disebut Najib Kaelani, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, dalam sebuah jurnal berjudul Kepanikan Moral dan Dakwah Islam Populer; Membaca Fenomena Rohis di Indonesia (2011) sebagai ekspresi kepanikan moral (moral panics). Kepanikan dan kecemasan moral mengakar dalam jati diri masyarakat karena sinisme akut dan pikiran tertutup, juga disebabkan miskin referensi dan puritanisme beracun. Sehingga segala hal yang asing, cenderung disikapi secara reaksioner.
Ekspresi paranoid itu, menurut penelusuran Najib, pada mulanya muncul tatkala adanya tsunami budaya pop Barat sekitar tahun 1970-1990an yang menghantam kesadaran orang Indonesia, lewat produk seperti film, musik, buku, dan benda-benda impor. Maraknya produk budaya pop, yang mengalir lewat saluran TV –MTV dan film Hollywood- pada gilirannya, pelan-pelan memengaruhi bagaimana remaja Indonesia mencipta sikap, gaya berpakaian, hingga cara bergaul dengan sebayanya.
Gempuran budaya asing itu dinikmati di satu sisi tetapi juga ditangkal di sisi yang lain. Ekspansi budaya “jorok” itu, tak dinyana telah bikin beberapa komunitas umat muslim Indonesia gelagapan. Khawatir sekaligus terancam. “Mereka berasumsi bahwa budaya pop telah menampilkan dan mengajak remaja untuk mengadopsi budaya Barat yang negatif seperti pakaian seksi, hubungan di luar nikah sebagaimana tergambar di film-film Hollywood dan MTV”, tulis Najib. Dan dari pijakan itulah kepanikan moral tumbuh dan hinggap bertahun-tahun di kepala masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim. Garis tegas pun ditarik untuk memilah mana yang baik dan buruk.
Hal itu cukup tampak dari beberapa narasi alternatif yang diproduksi oleh media berstempel Islam untuk menangkal imaji monster ciptaan mereka sendiri. Media seperti Sabili dan Hidayatullah, misalnya, dulu, setiap bulan Februari, kerap menaikan wacana penolakan perayaan hari Valentine. Media sebagai alat propaganda dan kampanye, mengimbau agar umat muslim tidak ikut-ikutan atau tasyabbuh, bergembira menyambut hajatan 14 Februari itu. Sebab, pemaknaan Valentine, menurut narasi di teks media tersebut, mengundang remaja untuk menampakkan daya tarik secara seksual kepada lawan jenisnya secara bebas, seperti yang tergambar di film-film Barat.
Kepanikan moral ini, menurut pendakuan Stanley Cohen di buku berjudul Folk Devils and Moral Panics: The Creation of Mods and Rockers (2002), merupakan reaksi masyarakat yang tidak proporsional terhadap suatu hal. Perasaan terancam diglorifikasi. Dibesar-besarkan dan dihubungkan dengan hal-hal yang kerap tak memiliki kaitan sama sekali. Setamsil, perayaan hari Valentine seringkali dikaitkan dengan hari kasih sayang di mana untuk setiap orang yang tidak jomlo, dianggap sebagai momen yang pas saling bertukar coklat, yang tidak tahu dari mana ke mana, dengan gegabah menyimbolkan coklat sebagai penanda gairah sesksualitas, penanda kemaksiatan. Penanda the great sin.
Perayaan hari Valentine juga acap diberi predikat bermasalah, karena dihubungkan dengan banyaknya tuduhan ihwal aktivitas seksual di luar nikah. Perilaku itu dicap sebagai indikator kemerosotan moral. Padahal jika ditimbang-timbang, Valentine atau tidak, Februari atau bukan, hubungan seks di luar nikah yang ditakutkan oleh sebagian kelompok muslim, akan tetap ada, bertukar coklat pun tetap ada. Itu fakta sosial yang tak bisa dibantah. Artinya, ketakutan berlebihan terhadap hal abstrak semisal hari Valentine, mirip-mirip dengan kecemasan akut seorang kakek tua tatkala menerbitkan buku Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, atau laku menjijikan beberapa orang tua yang hobi mencipta ketakutan lewat hantu fiktif bernama komunisme gaya baru (KGB). Hantu yang barangkali hanya diketahui oleh mereka.
Hal itu bukan saja buruk, tetapi juga akan membuat masyarakat tak terbiasa berfikir logis dan rasional. Masyarakat bakal lebih sering memercayai hal gelap, konspiratif, atau dalam istilah yang sedang moncer, menggemari sains semu. Kepanikan moral bisa bikin masyarakat dengan sangat mudah memvonis salah atau buruk sesuatu di luar diri dan keyakinannya. Namun di sisi lain, enggan merefleksi diri sendiri. Melihat ke dalam dengan waras, dengan jernih, dengan adil.
Cacat logika seperti itu, bikin gemas, dan sebenarnya tak sulit kita temui di dinding media sosial. Seringnya terjadi bencana alam, misalnya, dianggap karena negara kita menerapkan sistem thogut. Covid-19 dianggap bencana gara-gara kurang beribadah. Kenaikan kasus covid-19 selalu dikaitkan dengan wacana karena umat muslim mendekati bulan Ramadahan. Dan, jika masalah terus-menerus melanda negeri ini, solusinya cuma dua, turunkan presiden dan tegakkan Khilafah.
Di media sosial, masyarakat di Indonesia masih seringkali jatuh pada kekeliruan berfikir yang terlihat dari cuitan atau tulisan mereka. Jika terjadi masalah, dengan enteng orang-orang menisbahkannya pada satu hal, atau benda-benda yang lain. Lalu menciptakan ketakutan dan menyebarkannya pada para tetangga. Bisa lewat grup Wa atau saat nongkrong di pos ronda. Dan dari situlah tercipta benih-benih awan hitam kepanikan moral.