Banyak ulama fikih di masa Syekh Zakariya al-Anshari kaget bukan kepalang. Pasalnya jelas, dia sejak masa kanak-kanak hidup dengan kajian tasawuf. Dia menghabiskan waktunya dengan kenikmatan membaca kisah-kisah pengalaman mistik para sufi, sehingga para ulama fikih memvonis “tidak akan ada harapan dia menjadi ahli fikih”. Namun apa yang terjadi?
Semua pendapat itu hancur ketika Syekh Zakaria al-Anshari menyusun sebuah syarah setebal sebelas jilid atas kitab nazam fikih Bahjah al-Wardiyah.
Sentimen terhadap ilmu tasawuf tampak juga menjadi perhatiannya. Suatu hari dengan terbuka dia bercerita kepada muridnya, Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, penulis Mizanul Kubra, “Beberapa wali memberi nasihat kepadaku untuk menjadikan fikih sebagai jubahku. Mereka berkata, ‘sembunyikan tarekatmu, karena sekarang bukanlah zamannya bagi tasawuf’, oleh sebab itu sampai hari ini aku hampir tidak pernah memberikan isyarat atas pengalaman kehidupan mistikku”.
Para ulama di masanya, mungkin hingga sekarang, boleh merasa heran. Seorang yang condong kepada tasawuf, bagi mereka, hampir tertutup pintu untuk menjadi ahli syariat. Tasawuf dianggap sebagai kajian atas hal-hal yang batiniah semata. Sedangkan fikih menuntut kemampuan analisis pada hal-hal lahiriah. Namun, hal itu keliru. Justru pengalaman kehidupan sufistik itulah yang memberi karakter keagungan atas fikih Syekh Zakariya al-Anshari.
Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam At-Thabaqatul Kubro memberikan jejuluk yang amat tepat bagi sang guru: Syekh Zakariya al-Anshari adalah pilar bagi tasawuf dan fikih.
Kisah akan kegagapan menilai perubahan seorang merupakan tema yang terus berulang dalam sejarah. Kita bisa melihat kekagetan ini dalam “perubahan” Gus Ulil Abshar Abdalla. Dulu menyebut namanya membuat bulu kuduk banyak orang berdiri. Kisah-kisah lisan yang berkisar tentangnya adalah hal-hal yang bertentangan dengan mainstream umat Islam. Dia dianggap sebagai penyokong liberalisme pemikiran, pendukung pemikiran Muktazilah, bahkan sempat “divonis” hukuman mati oleh beberapa kelompok.
Dari sisi para santri, mereka juga seakan merasa berjarak dengan sang pemikir itu. Rujukan dalam tulisannya banyak diisi nama-nama yang asing di telinga santri kala itu. Para pemikir filsuf Barat, yang mempelajarinya masih dinilai dengan sikap “negatif” di dunia pesantren, menempati podium utama dalam tulisan-tulisannya. Memang rujukan pada kitab-kitab kuning yang akrab bagi dunia santri juga ada. Namun, mereka seperti backing vocalists dalam sebuah simfoni pemikir Barat yang menjadi lead vocalist-nya.
Orang-orang tentu kaget bukan kepalang ketika Gus Ulil memilih mendaras al-Hikam. Bagi masyarakat umum, tema tasawuf tampak bukan a cup of tea Gus Ulil. Bagi sebagian santri, Gus Ulil dianggap sudah “lupa” akan kitab-kitab kuningnya, dan lebih senang dengan filsafat Barat. Kedua kelompok terperangah begitu Gus Ulil dengan tulisan yang amat bernas mengurai makna-makna al-Hikam dalam konteks kekinian. Dalam syarah-syarahnya ajaran al-Hikam menjadi “penyanyi utama”, sedangkan beragam teori keilmuan modern yang banyak berasal dari Barat menjadi penyanyi pendamping semata.
Kekagetan semakin menjadi ketika Gus Ulil memilih untuk mendaras secara online kitab Ihya’ Ulumddin Imam al-Ghazali. Mereka yang merasa berjarak dengan pemikiran Gus Ulil, menemukan oase yang menyatukannya dengan pesantren. Kelancarannya dalam memberikan makna-makna kitab. Terlebih lagi kejeniusan untuk mengurai isi kitab dalam konteks kekinian dan teori-teori yang amat kaya dari ceruk keilmuan manapun. Semua itu mengubah sikap banyak santri yang mungkin tadinya antipati dengan pandangan-pandangannya. Seakan kali ini cara perkenalan mereka dengan Gus Ulil lebih tepat. Pintu masuknya adalah kitab-kitab kuning. Mereka diajak untuk mengkaji kitab yang sudah amat terkenal di pesantren. Lalu, dalam keadan asyik ma’syuk mengaji, mereka memperoleh informasi amat kaya dan paralelisme pemikiran dari banyak sekali sumber keilmuan yang tadinya asing di telinga.
Sebagai santri, melihat kenyataan pada diri Gus Ulil, membuat saya teringat pada Syekh Zakariya al-Anshari, yang saya singgung di atas. Tepatnya, apabila Syekh Zakariya al-Anshari hidup di masa kini, mungkin beliau akan seperti Gus Ulil. Seperti sang pilar tasawuf dan fikih, Gus Ulil juga sedang membangun jembatan. Sebuah jembatan agung bagi pertemuan antara keilmuan yang amat luas yang tidak dikenal di pesantren pada mulanya yang masuk di dalamnya filsafat Barat dan diskursus sains modern, dengan kitab-kitab kuning di pesantren.
Para santri diajak berdiri tegap dalam sebuah diskusi dengan cabang ilmu yang sebelumnya tampak hegemonik itu. Gus Ulil sering memberikan contoh bagaimana mendialogkan filsafat Barat dengan ajaran Asyariyah. Hasilnya tidak selalu harmoni, namun keberpihakannya kita tahu diberikan kepada yang mana.
Bagi umat muslim pada umumnya, bahkan non-muslim, yang tidak mengenal diskursus pesantren, beliau memberikan jembatan yang lebih aman sebagai kaum beragama dalam menghadapi hantaman pemikiran modern, sains, dan bahkan ateisme. Orang beragama tidak perlu merasa inferior, namun juga tidak jumawa, terhadap para pengusung ateisme terutama yang berkedok saintisme. Jawaban yang amat penting di kala muncul gelombang jawaban anti-rasional untuk memenangkan agama dari sebagian kelompok.
Namun ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam kasus Syekh Zakariya al-Anshari, aspek sufistik kehidupannya seringkali tidak dikenali lagi. Tertutupi dengan gemerlap mahkota sebagai Hujjatul Islam dalam ilmu fikih. Di pesantren, meskipun kitab-kitabnya mencakup bidang yang amat luas itu, namun hanya kitab-kitab dalam bidang fikih seperti Fathul Wahhab yang dikaji secara intensif.
Gus Ulil semoga terus mempertahankan kecenderungan untuk melakukan sintesa akan pandangan-pandangan dari beragam keilmuan Barat dalam bingkai keilmuan Islam, menembus batasan era klasik dan yang kontemporer. Sangat disayangkan bila nantinya para santri Gus Ulil “hanya” mengenalnya sebagai pengusung kitab-kitab Imam al-Ghazali dan tradisi keislaman klasik tanpa mendapatkan kekayaan rujukan dan elaborasi dari ceruk-ceruk keilmuan lainnya yang penting di masa modern ini. Bila demikian, bagi santri itu sama artinya kembali seperti dahulu, kajian pesantren yang hampir tidak bisa direlevansikan dengan kondisi kekinian dan perkembangan keilmuan modern. Kajian yang hampir tidak memiliki satu kata untuk menjawab tantangan modernitas dan Barat. Kajian yang pernah suatu ketika dituding hanya melahirkan “orang-orang yang terlambat lahir” dan “a-historis”. Semoga.