Sebagaimana disinggung di tulisan sebelumnya, bahwa catatan perjalanan Ibnu Jubair lebih banyak menuturkan daerah di sekitar Makkah. Dan ini wajar mengingat ia tinggal di sana sekitar setengah tahun. Bahkan menurut Abdurrahman Humaidah dalam karyanya berjudul “A’lam al-Jughrafiyyin al-Arab”, Ibnu Jubair menetap di Makkah selama sembilan bulan. Bagaimana kisah selanjutnya?
Setelah menuturkan Jeddah dan sekitarnya, Ibnu Jubair dalam catatan perjalanannya menarasikan kondisi jamaah haji. Menurutnya, jamaah haji pada saat itu mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari orang-orang Jeddah. Ia menuliskan:
Penduduk Hijaz dan sekitarnya terpolarisasi ke dalam banyak kelompok. Kelakuan mereka seperti orang yang tidak memiliki agama. Mereka beranggapan buruk terhadap orang-orang haji melebihi anggapan mereka kepada ahlu dzimmah. Mereka semua memiliki pandangan yang sesat. Salah satu kesibukan yang mereka lakukan adalah melakukan perampokan terhadap jamaah haji. Bagi mereka jamaah haji harus baik dan taat pada mereka. Persoalan mereka bisa kembali lagi ke tanah airnya dipasrahkan kepada Tuhan. Andaikan Allah SWT tidak menghindarkan kaum Muslim dari musibah ini dengan adanya Sultan Shalahudin Al-Ayyubi, niscaya kezaliman mereka terhadap jamaah haji lebih mengerikan lagi. Sebab, mereka menetapkan pajak tinggi bagi jamaah haji.
Ibnu Jubair marah melihat perlakuan orang-orang Jeddah terhadap jamaah haji. Penduduk Makkah melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap jamaah haji.
Kekesalan dan kekecewaan Ibnu Jubair kemudian dilampiaskan dengan mengatakan: tidak ada Islam kecuali di Maghrib! Ia menuturkan:
Secara nyata dan berdasarkan data faktual saya berani menyatakan bahwa tidak ada Islam kecuali di tanah Maghrib. Sebab kaum Muslim di Magrib benar-benar berislam secara sungguh-sungguh, tidak memiliki pretensi duniawiyyah. Sementara umat Islam di belahan lainnya, di negeri timur, mereka penuh dengan hawa nafsu, bid’ah dan kelompok atau golongan sesat, kecuali bagi orang-orang yang dijaga oleh Allah.
Bahkan Ibnu Jubair sangat mengecam perilaku para pemimpin umat Islam. Meskipun ia lagi-lagi mengecualikan dan memuji Sultan Shalahudin Al-Ayyubi. Sejak ia tiba dan berhenti di Mesir, ia memang terpukau dengan etos kepemimpinan Sultah Shalahuddin. Ia mengatakan:
Tidak ada keadilan, tidak ada kebenaran, perilaku orang yang tidak beragama kecuali khalifah dinasti Muwahhidun. Mereka adalah akhir dari pemimpin-pemimpin yang adil di masanya. Sedangkan selain mereka, para pemimpin umat Islam memberlakukan pajak sepersepuluh bagi pedagang muslim sebagaimana perlakuan mereka terhadap ahlu dzimmah. Mereka menimbun dan melipatgandakan kekayaan dengan cara apapun. Kebijakan-kebijakan yang diterapkannya penuh dengan kezaliman. Kecuali Sultan yang adil, Shalahuddin al-Ayyubi. Seorang pemimpin yang memiliki pandangan dan perilaku yang baik.
Dari Jeddah Ke Haram As-Syarif
Setelah tinggal beberapa hari di Jeddah, Ibnu Jubair beranjak pergi menuju al-Haram as-Syarif. Ia berangkat pada hari Selasa tanggal sebelas bulan Rabiul Akhir yang bertepatan dengan tanggal dua bulan Agustus. Ia menuturkan:
Pada hari itu kami pergi meninggalkan Jeddah setelah para jamaah haji menyiapkan segala kebutuhanya masing-masing dan meninggalkan nama di kendali pemimpin Jeddah, Ali bin Muwaffiq. Pemimpin Jeddah ini yang kemudian meneruskan urusan jamaah haji ke pemimpin Makkah, Muktsir bin ‘Isa. Dan Mukstir ini merupakan Sayyid keturunan dari jalur Sayyidina Hasan bin Ali. Sayangnya perilakunya tidak baik. Tidak seperti leluhurnya yang mulia.
Ibnu Jubair dan beberapa rombongan haji sampai di tanah Makkah pada pukul satu dini hari, hari Kamis tanggal tiga belas Rabiul Akhir. Para rombongan haji pun akhirnya menunaikan ibadah umrah. Ibnu Jubair mengisahkan:
Kami menunaikan ibadah umrah pada hari itu juga. Cahaya rembulan malam itu sangat terang. Suara-suara talbiyah bergema di setiap sudut tempat. Mulut jamaah haji tak henti-hentinya merapalkan doa dan memuji kepada Allah Swt.
Ibnu Jubair dengan puitis menggambarkan kegembiraannya berada di tempat suci sembari mengisahkan ibadah umrahnya yang pertama kali:
Duhai Makkah di malam yang sangat indah. Sebuah kenikmatan yang dirasakan bagi pengantin baru di malam pertamanya. Kakbah adalah pengantin yang sinarnya tembus hingga surga yang dikelilingi oleh tamu-tamu Allah. Kami melakukan “thawaf qudum”, lalu salat di Maqam Ibrahim. Bersimpuh di Multazam, sebuah tempat yang lokasinya berada di antara Hajar Aswad dan pintu kakbah. Sebuah tempat dikabulkannya doa. Lalu kami pergi menuju kubah (kanopi sumur) zam-zam. Kami pun lekas meminum airnya sebagaimana anjuran Nabi dalam sabdanya. Lalu kami melanjutkan dengan melakukan sa’i di antara bukit Shafa dan Marwah. Kemudian kami mencukur rambut dan tahallul. (aa)