
Bulan Ramadan 1446 H belum genap dua minggu, saya sudah menghabiskan Rp 200 ribu lebih hanya untuk beli buku. Bukan satu, tapi tiga buku. Saya memang jenis manusia yang doyan berbelanja buku, entah buku baru atau buku bekas, entah buku berkualitas atau buku “biasa saja”, dan sebagainya.
Membeli buku, bagi saya, adalah sesuatu yang saya yakini akan mendatangkan banyak manfaat di masa mendatang, baik bagi saya pribadi, maupun bagi orang lain yang ikut membacanya. Meskipun, buku-buku yang saya beli itu terkadang hanya terpajang di rak lemari, tanpa dibaca sama sekali, atau dibaca tetapi belum sampai tuntas. Meski, ya, tidak sedikit pula buku yang sudah saya baca secara khatam.
Bagi saya, yang terpenting adalah beli dulu. Urusan mau dibacanya di waktu kapan, itu tidak jadi soal. Karena saya meyakini, jikalau tidak dibaca oleh saya, atau saya tidak punya waktu untuk membuka lembar demi lembar, maka buku-buku itu insyaallah tetap akan dibaca oleh saudara-saudara saya, atau dibaca oleh orang yang tepat.
Buku sebagai investasi, gelar bukan sekadar prestasi
Jika membaca buku saja belum tentu bikin kita pintar, apalagi yang tidak suka baca sama sekali. Tetapi setidaknya, dengan membeli buku tersebut kita sudah berusaha membuat orang lain senang. Karena dengan membeli buku, khususnya di pedagang kecil, kita turut membantu perekonomian mereka. Di rumah-rumah mereka, ada anak istri yang menunggu kedatangan ayahnya pulang. Atau jika pedagangnya seorang ibu-ibu, ada susu dan makanan bergizi yang harus terbeli; ada anak yang harus terpenuhi kebutuhan pendidikannya; dan ada dapur yang harus terus bergelora.
Buku-buku yang kita beli juga tidak mungkin membuat kita miskin. Saya selalu menganggap beli buku sebagai investasi pendidikan. Investasi selalu bicara soal menanamkan modal atau aset. Anggap saja uang yang kita gelontorkan untuk beli buku sebagai modal kita meraih harapan dan keuntungan di masa depan.
Buku adalah jendela dunia, dengan membacanya kita akan mendapatkan wawasan dan pengetahuan baru, serta memungkinkan kita untuk menjelajahi dunia tanpa batas fisik, seperti menjelajahi tempat-tempat jauh dan mempelajari berbagai hal.
Buku juga sebagai ladang ilmu. Maka tanamlah ladang itu dengan membaca serta menyerap makna-makna yang terkandung di dalamnya, agar kita terhindar dari kebodohan. Seperti nasihat Imam Syafi’i “Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan”.
Kebodohan memang sesuatu yang sangat membahayakan, khususnya bagi sebuah kemajuan peradaban umat manusia. Kita pastinya tak ingin menjadi bodoh seperti umat pada zaman jahiliyah, dan kita juga tentu mendambakan orang-orang yang dipercaya sebagai pejabat di negeri ini tidaklah bodoh. Kita sangat memimpikan punya pejabat yang cerdas.
Jalan Pintas Meraih Gelar
Sayangnya, di era sekarang, kita seringkali dipertontonkan perilaku para pejabat negara yang hanya mau enaknya saja. Mau yang instan-instan saja. Seperti korupsi dan tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Ingin memperoleh gelar tapi dengan jalan pintas, atau dengan cara yang tidak umum.
Saya contohkan kasus Bahlil Lahadalia. Pejabat yang menukangi kementerian ESDM itu viral karena kelulusannya dari kampus ternama menuai polemik. Bahlil dinilai melanggar moralitas pendidikan untuk meraih gelar doktor: lulus S3 kurang dari dua tahun dan disertasi yang dibuatnya diduga plagiasi.
Kasus yang menjerat Bahlil tidak hanya mencoreng nama UI sebagai perguruan tinggi tempat Bahlil menimba ilmu, tetapi juga mencederai moralitas akademik. Di saat adanya ketidakpastian terkait Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen, dan di saat banyak mahasiswa yang berjuang mati-matian agar bisa lulus tepat waktu bahkan ada yang rela mengerjakan skripsi sambil jualan, para pemangku kebijakan di negara ini malahan memperlihatkan sikap-sikap yang tak pantas.
Sikap yang demikian itu yang ditakutkan akan menular ke banyak orang. Jika negara tak serius menangani praktik-praktik yang curang seperti ini, nantinya dikhawatirkan akan ada banyak mahasiswa yang mewajarkan cara-cara tak etis agar bisa meraih gelar, baik sarjana, magister maupun doktor. Asalkan ada uang, di situ ada jalan (pintas).
Mengutip sebuah artikel di Kompas “Pendidikan yang tidak didasarkan kepada moralitas biasanya memang akan melahirkan lulusan-lulusan yang akan menjadi perusak masyarakat, mulai dari koruptor, manipulator, penginjak-injak hak asasi rakyat, pembohong berkedok politik, kontraktor berkelakuan “tuan tanah”, nasionalis bermotif penjajah, profesor penjual ijazah, dan banyak lagi penista moralitas lainnya.” (Jannus TH Siahaan, 2025).
Bahlil hanya satu contoh. Ada contoh-contoh lain yang saya kira tak perlu saya tuliskan disini, namun Anda tetap meyakini dan percaya bahwa sistem ‘memakai jalan pintas” ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan. Namun, juga ada di pemerintahan, dengan misalnya jual beli jabatan atau praktik korupsi agar memperkaya diri sendiri, keluarga, kolega dan kroni.
Jual beli jabatan dan praktik korupsi adalah jalan pintas yang tidak semua orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang tertentu saja yang dianugerahi oleh Allah swt untuk menjalankannya.Kita sebagai rakyat jelata hanya bisa berdoa semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang jahat, yang ingin mendapatkan kehormatan dengan cara-cara yang tak bermoral.
Sebagai penutup, saya berpesan kepada para mahasiswa “Belajarlah sungguh-sungguh, jadikan kampus tidak hanya sebagai tempat mencari ilmu, tetapi juga mencari keberkahan dari ilmu itu sendiri. Jika punya uang sisihkanlah untuk beli buku. Jika ada waktu luang bacalah buku itu. Semoga kalian menjadi umat manusia yang hobi membaca (bukan hanya baca komik).