“Berita Nahdlatoel Oelama” (selanjutnya ditulis “Berita NU”) merupakan produk pers yang dikembangkan oleh PBNU. “Berita NU” adalah majalah yang beredar pada 1931 dan terbit dua kali dalam sebulan. Format majalah ini berbeda dengan majalah-majalah awal terbitan NU lainnya seperti “Swara Nahdlatoel Oelama” ataupun “Oetoesan Nahdlatoel Oelama” pada 1928. Majalah yang diasuh oleh KH. Mahfudz Shiddiq tersebut terlihat lebih profesional dengan berbagai rubrikasi khusus.
Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Jakarta: Mata Bangsa, 2014), disebutkan bahwa Berita NU tersebut memuat beragam rubrik yang tak melulu keorganisasian NU maupun artikel keagamaan saja. Namun juga memuat tulisan ekonomi, persoalan tanah, pertanian, bahkan politik baik dalam negeri maupun luar negeri.
Saifudin Zuhri dalam otobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Yogyakarta: LkiS, 2013), mengenangkan majalah tersebut demikian:
“Aku sangat mengagumi majalah ini karena selain sifatnya ilmiah islamiyah, juga kupasannya tentang masalah-masalah aktual kemasyarakatan menggunakan wawasan yang luas cakrawalanya, tidak sunyi pula dari masalah politik yang sedang menghangat (menjadi topik), seperti perdebatan sidang Volksraad (Dewan Rakyat) buatan Hindia Belanda. Pidato-pidato Mohammad Husni Thamrin, Wiwoho, Mr. Muhammad Yamin, Sukarjo Wiryopranoto dan lain-lain yang mengobarkan aspirasi nasional, oleh Berita NU selalu dikupas secara kritis.”
Bahkan, masih dalam keterangan Kiai Saifuddin, Berita NU berpolemik dengan tulisan-tulisan yang muncul pada majalah lain. Seperti saat Ir. Soekarno menulis di surat kabar Pemandangan berjudul “Memudakan Syariat Islam”, Kiai Mahfudz Shiddiq menanggapinya dengan cukup kritis dan dimuatnya dalam Berita NU (hal.141). Begitu juga saat majalah Adil tentang kesyirikan azimat, Berita NU menurunkan tulisan yang menentangnya sebagaimana terdapat dalam edisi Nomor 9 Tahun ke-9.
Konten Berita NU yang kental dengan propaganda politik ke-NU-an yang menjunjung tinggi nasionalisme dan anti imperialisme tersebut, juga mempengaruhi para pembacanya. Rasa nasionalisme dan keinginan untuk merdeka pun terpantik dari jiwa-jiwa mereka. Hal tersebut, bahkan berujung pada sikap perlawanan terhadap hal-hal yang mengusik nasionalisme mereka.
Ada satu perlawanan yang cukup penting berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh Berita NU. Uniknya, kejadian tersebut, tidak terjadi di Indonesia, tapi justru terjadi di Arab Saudi. Dalam Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim (Pustaka Tebuireng, 2015), Abubakar Aceh menceritakan perihal para pelajar dari nusantara di Madrasah Shaulatiyah, Mekkah, melakukan perlawanan (hal. 100).
Pada saat itu, seorang pelajar dari Jawa (sebutan untuk orang Melayu di Arab) bernama Zulkifli menerima kiriman majalah Berita NU. Adik dari Kiai Zuber Demak tersebut lantas membacanya di ruang kelas Madrasah Shaulatiyah bersama dengan teman-temannya. Di tengah asyik membaca tiba-tiba masuklah sang wali kelas.
Mengetahui para muridnya asyik membaca buku yang bukan pelajaran dari madrasah, sang wali kelas marah. Apalagi bahasa yang dipergunakan bukan bahasa Arab seperti yang dikehendakinya, tapi bahasa Jawa yang merupakan bahasa ajam di madrasah tersebut. tak hanya menghardik Zulkifli bersama kawan-kawannya, ia pun merampas majalah Berita NU itu lalu merobeknya dan membuangnya dari jendela lantai tiga kelas tersebut.
Sontak saja perbuatan sang wali kelas tersebut, mendapat reaksi keras dari kalangan pelajar Madrasah Shaulatiyah yang hampir 95 persen berasal dari Jawa. Salah seorang pelajar lantas turun mengambil sobekan Berita NU yang telah dibuang itu dan melaporkannya kepada kepala madrasah. Wali kelas tersebut pun ditegur karena sikapnya yang berlebihan.
Mendapat teguran yang demikian, sang wali kelas tak terima. Ia justru semakin marah dan menghina para pelajar dari Jawah. “Bangsa JawaI (Indonesia) adalah suatu bangsa yang rendah budinya,” umpatnya.
Umpatan tersebut, semakin memperkeruh suasana. Akhirnya para pelajar dari Jawa melakukan aksi boikot dan mogok belajar. Mengetahui hal tersebut, para sesepuh Jawa yang berada di Mekkah turut merasa prihatin dan berinisiatif untuk mendirikan madrasah sendiri. Seorang saudagar bernama Syekh Abdul Manan dari Indonesia lantas ditunjuk sebagai pimpinan pendirian madrasah baru tersebut.
Syekh Abdul Manan lantas menggalang iuran diantara para syekh haji, sudagar dan para wali murid sebesar dua jeneh untuk membiayai pembangunan madrasah baru tersebut. Kurang dari setahun, sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Darul Ulum ad-Diniyah berdiri megah di Suqail Lail. Menempati gedung berlantai empat yang disediakan oleh Syekh Yaqub dari Perak. Dari madrasah tersebut, lantas menjadi tempat belajar para santri yang kelak dikenal menjadi ulama-ulama besar di Nusantara maupun di tanah Hijaz. Menggeser reputasi Madrasah Shaulatiyah.
Tindakan perlawanan yang dilakukan oleh para pelajar tersebut, tentu tak bisa dilepaskan dari sikap nasionalisme dan anti imperialisme yang mulai tumbuh. Bacaan-bacaan yang nasionalistik seperti yang dimuat dalam Berita NU menjadi pupuk yang mensuburkan sikap tersebut. Sikap yang tak hanya berhenti di madrasah tersebut, tetapi terus dipertahankan ketika kembali ke tanah air. Banyak dari lulusan Madrasah Darul Ulum itu, sekembalinya ke Indonesia, turut menjadi tulang punggun perjuangan mencapai Indonesia Merdeka di daerahnya masing-masing. Semua itu, bermula dari insiden Berita NU.
Baca juga tulisan senada oleh Fathoni Ahmad di NU Online http://www.nu.or.id/post/read/86014/majalah-berita-nahdlatoel-oelama-tahun-1936