Pada kisah pewayangan Jawa, Bima Sena atau Wrekudara memang tak pernah romantis, sejauh romantisisme itu diukur dengan kehebatan dalam menakhlukkan perempuan. Jelas, karena tak pernah mau berbahasa halus kecuali pada Dewa Ruci, karakter, bahasa tubuh dan gaya tutur ksatria Jodhipati itu tak pernah menjadi pilihan para perempuan. Tapi selamatkah Wrekudara dengan citra lelaki hidung belang laiknya anggapan para perempuan yang pernah patah hati, bahwa semua lelaki pada dasarnya adalah hidung belang?
Wrekudara memiliki tiga isteri yang didapatnya secara tak sengaja, atau setidaknya ia tak pernah mengincarnya. Jadi, sepertinya, Wrekudara memang laiknya cerita Kera Sakti yang sama sekali “kecil” perihal perasaan para perempuan. Ia laiknya tekat yang membulat dan runcing atau fokus pada apa yang ingin diraih. Barangkali, gelar sebagai Kusumayudha dan Kusumadilaga cukup melukiskan pribadinya yang tak pernah tergoda atau mengalami begalan. Maka dapat dipahami ketika hanya dirinyalah satu-satunya tokoh pewayangan, yang menurut Serat Pengracutan Sultan Agung, dapat menjadi “al-Ghauts” yang bergelar sebagai Syekh Senan.
Tapi lakon Bima Kopek rupanya menyiratkan pribadi yang lain dari seorang Wrekudara yang terlampau kasar untuk ukuran para perempuan. Kopek merupakan istilah yang merujuk pada tetek perempuan yang menyembul laiknya bukit. Sekonyong-konyong, dalam lakon itu, Wrekudara segera menggendong bayi Arjuna dan Sumbadra seusai bertapa dan mendapatkan wahyu cakraningrat atau wahyu kepemimpinan. Dan ia pun bersikeras untuk menamakan bayi itu sebagai Abimanyu, yang konon merupakan kerata basa dari airnya Bima.
Barkaca pada lakon Bima Kopek, ternyata Wrekudara tak seteguh karang dalam melambangkan tekat. Ia, diam-diam, doyan perempuan. Setidaknya itulah yang menjadi kepercayaan masyarakat Dieng. Asal-usul sungai Serayu rupanya adalah saksi bisu kehebatan seorang Bima Sena dalam menakhlukkan perempuan (Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Cukup berbeda dengan Bima Sena, kakaknya, Yudhistira, tampil laiknya seorang yang suci. ia memang tak seperkasa Bima atau semahir Arjuna dalam hal olah asmara dengan para perempuan. Dalam pedalangan, ksatria yang dikaruniai darah putih itu dikenal sebagai seorang ksatria pinandhita, seorang yang berasal dari kasta ksatria namun memiliki kualitas seorang pandita (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).
Namun demikian terdapat beberapa potongan lakon yang menyingkapkan pribadi yang lain dari seorang Yudhistira: kesabaran sekaligus ketegaan seorang penjudi. Barangkali, karena kelihaiannya dalam berjudi, di samping bahwa Yudhistira pernah menjadi penasehat politik Prabu Matswapati di kerajaan Wiratha, secara tersirat ia juga digambarkan menaruh hati pada seorang perempuan lincah dan cerewet isteri adiknya sendiri, Srikandi.
Yudhistira paham betul bahwa hati isterinya, Drupadi, erat tertaut dengan Arjuna, sang pemenang sayembara Menthang Langkap di kerajaan Pancala. Pada lakon Pandhawa Moksa, Drupadi adalah orang yang pertama kali limbung dan jatuh sehingga tak dapat meneruskan prosesi moksa. Sebabnya hanya satu, kata Yudhistira, ia tak setia. Maka dapat dimaklumi ketika di pelataran candi Dieng candi Yudhistira berdampingan dengan candi Srikandi dan bukannya candi Drupadi. Ketika Bima Sena yang seteguh karang saja dapat menghamili Sumbadra, bukankah dataran tinggi Dieng juga memungkinkan Yudhistira untuk menemukan pembebasan pada sosok Srikandi yang lincah dan cerewet?
Patriotisme dan nasionalisme, dengan beranjak dari kisah-kisah tersirat pewayangan, kiranya tak dapat juga dilepaskan dari sisi manusiawi para pelakunya yang acap tersembunyi di balik heroismenya. Tapi bukan penyingkapan sisi-sisi kemanusiaan para patriot bangsa yang hendak saya kupas di sini, yang tentunya cukup menarik di tengah narasi agung tentang kemerdekaan dan kepahlawanan. Kisah-kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia menyingkapkan fakta lain tentang agama dan spiritualitas yang sejak Ernst Renan dan Ben Anderson tak digubris sebagai salah satu faktor yang membentuk konsep kebangsaan dan negara-bangsa.
Pada esai Gula Kelapa Nuswantara (https://alif.id), saya menemukan tilikan lain terkait dengan perjalanan nasionalisme di Indonesia yang ketika ditilik dari perspektif Barat-modern seolah sama sekali lepas dari nuansa keagamaan dan spiritualitas. Dapat dimaklumi karena secara konseptual nasionalisme memang salah satu anak kandung modernisme yang notabene tak memberi ruang terhadap agama dan spiritualitas yang identik dengan abad pertengahan. Namun ketika nasionalisme itu dikaitkan dengan perjalanan bangsa Nusantara—yang bahkan sejak kerajaan Singasari dengan ekspedisi pamalayunya dan kemudian diteruskan oleh kerajaan Majapahit serta visi-visi para tokoh bangsa seperti Soekarno dan Tan Malaka dengan Aslianya—sangat tampak bahwa apa yang dikandung oleh pengertian nasionalisme itu sudah ada sejak masa yang purba yang tumbuh seiring dengan kearifan perenial Nusantara yang bernama kapitayan. Hal ini mirip dengan keyakinan perihal tauhid dalam agama-agama Abrahamik yang konon timbul-tenggelam dalam pusaran sejarah manusia.
Barangkali, para Indonesianis atau orang-orang Barat yang mengkaji Indonesia akan sedikit terkaget ketika menilik sisi-sisi kemanusiaan seorang Soekarno seumpamanya, yang pernah meninggalkan jejak telapak tangannya pada sebuah batu ketika bersujud dan laiknya Arjuna yang kesehariannya sama sekali tak dapat lepas dari seorang perempuan—sebuah “kebiasaan” yang lazim dilakoni oleh para ksatria dan pemimpin Jawa di masa silam. Terlepas pro atau kontra, dan tak sebagaimana nabi lainnya, Kanjeng Nabi Muhammad ternyata juga meninggalkan jejak pribadi yang di samping sangat spiritual, terbuktikan dengan status kenabian dan kerasulannya, hidup pula dengan lebih dari satu perempuan dimana pernak-pernik kisah mereka terekam cukup apik dalam beberapa hadist.
Fakta kehidupan seorang Soekarno, yang saya pandang sebagai titik kulminasi seorang pemimpin politik-spiritual Jawa, menyibakkan satu hal yang pasti bahwa agama dan spiritualitas ternyata cukup mutlak memengaruhi gelegak perjuangan bangsa Indonesia ketika itu dalam upayanya meraih kemerdekaan. Hampir semua apa yang kini dinamakan sebagai Aliran-Aliran Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa, khususnya yang secara organisasi terbentuk menjelang dan sesudah perang kemerdekaan, berdiri di belakang Soekarno lengkap beserta dengan segala mitos dan kepercayaan mereka pada anak Raden Soekemi itu.
Dari berbagai data yang saya peroleh, Soekarno memang memiliki banyak kontak dengan para pelaku aliran penghayat dan kepercayaan. Raden Soekemi, ayah Soekarno, adalah salah satu murid dari Ki Kusumawicitra saat singgah di Blitar seusai menjadi buruan Belanda dan bertapa di Banyuwangi. Ki Kusumawicitra inilah yang kemudian membidani lahirnya Paguyuban Harda Pusara. R. Ng. Soekinohartono, yang sebelum memperoleh “wahyu sumarah” menjadi pula anggota Paguyuban Harda Pusara, tercatat pernah memberitahukan “wahyu kemerdekaan” yang ia peroleh pada Soekarno. Dan atas anjuran Sang Proklamator itu, R. Ng. Soekinohartono, bersama Soehardo dan Sutadi, kemudian mendirikan Paguyuban Sumarah sebagai sebuah organisasi. Kepingan wahyu yang diserahkannya pada Soekarno akhirnya menjadi Sesanggeman Paguyuban Sumarah kini. Adapun kontak pada Paguyuban PDKK di Malang, Soekarno dan HB IX menjadi—ada satu catatan juga pahlawan PETA Supriyadi—inspirator dan pengembang ajaran. Belum lagi kontak Soekarno pada Paguyuban Ngelmu Sejati di Caruban yang sedikit banyak memiliki persinggungan dengan tarekat Naqsyabandiyah.
Dari fakta-fakta sejarah ini sangat tampak bahwa terdapat kesinambungan historis dan spiritual antara Pangeran Dipanegara di abad ke-19 dan Soekarno di abad ke-20. Di samping keduanya memiliki magnet yang dapat menyatukan beragam orang dengan latar-belakang yang berbeda, pengkultusan sebagai wali—yang tentu saja dengan segala penutupannya—pada mereka berdua dari komunitas pesantren pernah pula didapatkan. NU pun saat itu, dengan diterimanya frase “Ketuhanan yang Maha Esa” oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim sebagai sila pertama Pancasila, seolah berpandangan bahwa terdapat kesepadanan antara kapitayan, yang waktu itu direpresentasikan oleh aliran-aliran penghayat kepercayaan, dengan tauhid dalam agama Islam yang direpresentasikan oleh tasawuf dan tarekat-tarekat yang pada masa perang kemerdekaan juga erat terlibat dalam menyumbangkan semangat, darah dan nyawa.
Dengan demikian, terbuktilah bahwa agama (sebagaimana yang dalam sejarahnya diperankan oleh NU beserta tarekat-tarekat yang bernaung di bawahnya) dan spiritualitas (yang waktu itu diperankan oleh aliran-aliran penghayat kepercayaan) menjadi salah satu faktor terbentuknya nasionalisme dan konsep negara-bangsa Indonesia. Dan di atas semua itu, terbuktilah bahwa spiritualitas yang bercorak Bima Sena atau Wrekudara adalah yang menjadi role model spiritualitas di balik kemerdekaan bangsa Indonesia, dan bukannya spiritualitas biru yang ambigu laiknya Yudhistira, sang pribadi Ajathasatru.