Sedang Membaca
Jihad Algoritma dan Kesalehan Muslim dalam Bermedia Sosial
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Jihad Algoritma dan Kesalehan Muslim dalam Bermedia Sosial

Ffrl5cnvqaan4o5

Dalam salah satu episode podcast Habib Husein Jakfar Al-Hadar bersama Gita Wirjawan ia menjelaskan bentuk ketertinggalan umat dibidang penguasaaan media sosial terutama soal algoritma. Ia menyampaikan perlunya jihad algoritmatik atau refolusi algoritmatik, selama ini dalam bermedia sosial kita terlalu tunduk pada algoritma yang sudah ada. Secara umum algoritma dalam media sosial ini adalah produk modernisme yang mampu mengeliminasi seluruh manusia.

Madzhab Frankfrut salah satu aliran filsafat di Jerman selalu membicarakan soal pentingnya ruang publik, yang paling kencang bicara soal ini adalah Jourgen Habermas ia membayangkan dalam setiap sudut ada ruang publik yang sehat misalnya era sebelum digitalisasi menguat digambarkan dengan bentuk kafe-kafe atau warung kopi. (Supriadi, 2017) Dimana semua orang dapat mengakses dan bicara secara setara dan sehat tentang berbagai hal tanpa ada tekanan dan belakangan ruang digital diharapkan menjadi tempat pertemuan publik yang sehat dan juga menjadi tempat yang demokratis.

Ruang publik digital yang dibayangkan Habermas sangat bagus sekali, namun yang terjadi sekarang bertolak belakang dengan harapan besar Madzhab Frankfrut. Misalnya ruang publik digital sekarang lebih diarahkan oleh buzzer mereka adalah sekelompok yang sengaja dipesan oleh beberapa orang untuk kepentingan bisnis, politik atau agama.(Felicia & Loisa, 2019) Tugasnya adalah menggiring opini masyarakat sehingga arahnya adalah membenarkan satu kelompok dan menyalahkan kelompok yang lainya. sehingga pembicaraan dalam ruang publik tidak lagi menjadi natural melainkan obrolan penuh kepentingan dan opini semu.

Baca juga:  Refleksi Kritis Harlah PMII Sebagai Organisasi Komunikatif

Tentu saja secara tidak langsung para buzzer menjadikan algoritma tersendiri. Ini adalah ancaman karena dulu kita berharap media sosial sebagai media yang sehat, namun yang terjadi adalah sebaliknya, khususnya fenomena buzzer, fenomena bullying. Salah satu ancaman yang sangat berat dan nyata yang sempat kita singgung adalah hinganya kepakaran (post truth). Obrolan dari orang-orang yang bukan bidangnya di ruang publik menjadi tidak sehat dan toxic.

Dalam satu kesempatan kita dihadapkan satu pertanyaan akan lanjut bermedia sosial atau berhenti..? kalau berhenti berarti akan banyak kerugian yang harus dibayarkan, sementara kalau lanjut bagaimana pola yang akan kita mainkan. Fenomena seperti ini menjadi tugas kita untuk mencari patron-patron atau titik-titik tentang bagaimana berdigitalisasi secara sehat, sehat secara demokrasi dan sehat secara mental. Melihat  demokrasi dalam dunia digital sekarang sedang dibajak dan dibunuh. Salah satu pembunuhnya adalah perangkat-perangkat digital yang tidak bertanggung jawab. Kita sering melihat fenomena bagaimana opini profesor dalam flatfrom digital bisa dihabisi oleh seorang netizen yang jauh dari kata ahli.

Hal ini adalah gambaran besar hilangnya kepakaran (pos truth) bekerja. Beberapa ornamen baik dari politisi, agamawan maupun kelompok bisnis berhasil menaiki ombak untuk tidak berdemokrasi di panggung digitalisasi. Sehingga sangat pantas bagi kita untuk mengamplifikasi semua kerja-kerja digital adalah semu dan palsu. Panggung digital dipenuhi dengan berjejalan oleh orang-orang yang tidak kompeten dalam keilmuan namun konpotitif secara digital. Sejauh ini kita membicarakan soal karakter digital yang perlu kita benahi, tentu saja ini adalah arah tolak belakang dari arah digital yang sudah dibentuk oleh sebagian orang.

Baca juga:  Arab Saudi yang Semakin “Metro-Profan” 2 (Bagian Akhir)

Melihat karakter digital yang sudah ada, kita memandang orang-orang yang berkompeten di bidangnya sementara ini sedang mengalami kekalahan. Oleh karena itu solusi yang real adalah orang-orang yang berkompeten seharusnya mulai belajar mengasah kompetensinya tidak terbatas pada tingkat teks tapi jauh pada konteks. Solusi terakhir apabila sulit dalam memahami konteks maka lewat berkolaborasi dengan kelompok yang dapat menguasai media sosial. Misalnya seorang dosen yang memiliki kompetensi misal memiliki gelar doktoral namun tidak bisa menyederhanakan bahasanya alakah baiknya berkolaborasi dengan tim multimedia atau yang ahli dalam bab IT (Informasi dan Teknologi) agar materi-materi berat akan disederhanakan dan di atur arah algoritmanya dalam sebuah karya multimedia.

Beberapa orang yang dianggap kompeten di lingkungan universitas adalah para sarjana, Habib Husein dalam salah satu wawancaranya menyebutkan bahwa sarjana dan akademisi banyak yang menyibukkan diri untuk menulis jurnal yang mana jurnal di Indonesia rata-rata pembacanya hanya sedikit dalam sebuah riset disebutkan jurnal Indonesia hanya diakses oleh 27 orang atau kira-kira kurang dari 50 orang. Padahal dalam pembuatan jurnal perlu kekuatan ekstra penelitian dan ditulis secara serius dengan metodologi riset bukan hanya kepustakaan tapi juga dengan riset lapangan.

Melihat kondisi ini seharusnya para sarjana ada upaya untuk mengupgrade literasi jurnal agar dapat dijangkau dan dibaca oleh orang-orang pinggiran kemudian para sarjana harus bisa berdamai dengan kenyataan. Langkah nyatanya dengan turun gunung kemudian mulai menyajikan riset-riset dengan bahasa-bahasa yang populer dengan memposisikan kelas muslim menengah.

Baca juga:  Polemik Cadar: Apa Benar Cadar Identik dengan Radikalisme-Terorisme?

Dulu para cendekiawan dan intelektual muslim mampu berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi oase bagi mereka. Misalnya Nur Kholis Madjid, Jalaluddin Rahmat, Emha Ainun Nadjib dan banyak lagi. Disamping itu, mereka juga menulis beberapa buku yang populer dan uniknya selalu best seller. Sementara ini kelas muslim menengah sudah punah, para akademisi dan sarjana hanya gelar elite yang menjadikan jarak dengan orang awam, buruknya mereka berjalan sendiri-sendiri sesuai kebutuhan masing-masing.

Habib Husein juga membayangkan kelas elite muslim atau intelektual muslim mampu turun gunung dan mau bergabung dengan muslim-muslim pinggiran dan menengah. Menurunkan level dalam sosial tidak mengurangi kelas keilmuan mereka. Caranya dengan menurunkan gaya bahasa yang dipakai untuk menjadi agen yang sederhana dalam mengedukasi, menarasikan dengan bahasa-bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti oleh orang banyak. Sebab percaya saja kalau para intelektual adalah orang yang bisa menyederhanakan bahasanya. Dalam sebuah makalah arab disampaikan idza tamma aqlu qolla kalamuhu artinya ketika seseorang sudah keren atau menjadi intelektual maka dia akan sederhana pembicaraanya. Wallahu Alam

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top