Di rumah ilmu, orangtua bukan hanya mengantarkan tubuh ragawi anak, tapi juga sebentuk pengasuhan intelektualitas dan spiritualitas anak manusia sejak kaki pertama melangkah menuju ilmu.
Kita ingat dua kisah berikut. Ibu Zubaedah memberangkatkan anaknya yang baru berumur delapan tahun untuk mencari ilmu. Hatinya bungah sekaligus berat berpisah dengan anaknya. Zubaedah tetap memberangkatkan anaknya dengan doa restu dan satu syarat yang penuh simbolisme sakral.
Di depan anaknya Zubaedah berkata, “Kudoakan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan satu syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah”. (Samsul Munir Amin, 2011: 21).
Doa restu sudah diucapkan dengan khusyuk, syarat terpaksa diterima, sang anak berangkat. Keberhasilan berilmu menjadi impian bersama. Keduanya terpautkan dalam rindu dan doa yang mesti ditahan di jalan ilmu. Sang anak rajin belajar, suara doa ibu selalu menggema menggagalkan kemalasan dan keinginan pulang. Sudahkah pohon itu berbuah?
Bertahun-tahun, si anak terpaksa mengembara dari satu pondok ilmu ke pondok yang lain karena sudah dianggap lulus oleh gurunya. Namun belum bisa pulang. Suara ibu tak memungkinkannya pulang, sampai pohon kelapa itu berbuah, sampai ilmu diraih.
Kelak, anak itu termasyhur dengan keilmuannya di dunia Islam Nusantara bahkan internasional. Ia tak lain ialah Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), pengarang sejumlah kitab yang banyak dijadikan rujukan di pondok pesantren di Indonesia.
***
Di Mojokerto, pada pagi hari dan di depan rumah, saat akan memberangkatkan anaknya ke Surabaya untuk bersekolah di Hoogere Burger School, Ida Ayu Nyoman Rai berkata pada anaknya, “Berbaringlah di tanah, Nak. Berbaring saja biarpun kotor”. Si anak patuh pada ibunya. Kemudian Ida Ayu melangkahi badan anaknya bolak-balik sampai tiga kali.
Hari saat anak hendak berangkat belajar adalah momentum sakral. Dengan melangkahi anaknya dengan tubuhnya sendiri dari mana si anak dilahirkan dan yang mengandung kekuatan-kekuatan sakti dari kehidupan, si anak mendapat restu dari ibunya untuk selama-lamanya. (Cindy Adams, 1966: 42).
Di Surabaya, anak itu belajar dengan ketekunan visioner bagi kemerdekaan bangsanya. Kelak, anak itu membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dialah Ir. Soekarno (1901-1970), presiden pertama negeri ini.
Orang Indonesia pada zaman dahulu begitu mensakralkan momentum keberangkatan anaknya untuk mencari ilmu. Orangtua sadar, tiap ilmu itu sakral sekecil apa pun yang akan diperoleh dan mendekam di raga, pikiran, dan hati anaknya. Ilmu itu akan menentukan nasib keselamatan dan kemudharatan bagi anaknya dan orang-orang di sekitarnya.
Maka, doa restu dimohonkan, slametan diadakan, sedekah dihaturkan, para tetangga sekeliling rumah disalami, bahkan sumpah suci diikrarkan orang tua pada momen keberangkatan seorang anak yang mengharap keberkahan ilmu. Di rumah ilmu, orangtua sangat menghormati para guru anak-anaknya.
Sekarang, barangkali tak banyak anak Indonesia yang mendapatkan momentum sakral dan mendidik dari orangtua mereka saat memasuki pintu rumah ilmu, untuk dikenang dan dijadikan teladan dan pedoman berilmu. Ini tak sepenuhnya kesalahan orangtua, guru-guru di sekolah, atau pemerintah.
Seperti dikatakan filosof Seyyed Hossein Nasr (1997) dalam bukunya, Pengetahuan dan Kesucian, di zaman modern ada pandangan bahwa ilmu (dan) pengetahuan lebih dianggap sebagai hal instrumental, perkakas kiat hidup ragawi, terutama sebagai teknik dan strategi mereguk keuntungan ekonomistik sosial politik—sesuatu yang tak sepenuhnya salah.
Ilmu dan pengetahuan tak lagi sebagai sesuatu yang suci dan sakral untuk kemuliaan dan kemanusiaan. Di sinilah, kelak, ilmu yang dikuasai seorang anak malah bisa saja digunakan sebagai alat kejahatan pada sesama manusia dan alam semesta.
Anjuran mengantar ke sekolah itu memang terkesan hanya pada jenjang sekolah dasar dan menengah dan terutama saat hendak belajar ilmu agama (apa pun). Namun, kita boleh mengharapkan, saat seorang anak hendak belajar ilmu sosial-politik ia diantarkan ke keharibaan rakyat jelata yang ada di pemukiman kumuh; seorang calon dokter diantar ke rumah derita kelas rendah dengan manusia yang tidak bisa membayar pengobatan; seorang calon guru diantar ke tempat-tempat anak yang putus sekolah atau yang tidak bisa bersekolah, dan seterusnya.
Semua ini ada proses etika berilmu yang bisa diharapakan agar kita bisa berharap pada mereka kelak negeri ini jauh lebih baik dan mulia.
Maka, dari prosesi dan perilaku awal orangtua mengantarkan anak-anak ke pintu rumah ilmu, meskipun anjurannya hanya pada hari pertama, barangkali kita bisa berharap ada kesadaran bersama: mengantarkan anak itu momentum sakral yang sepantasnya diamalkan dengan antusias, anak-anak kita akan belajar dengan optimisme dalam mempelajari ilmu. Kelak, dari ilmu dan guru yang dimuliakan anak-anak kita bakal memuliakan ilmu, manusia, dan semesta raya.