Saya menemukan dua buku penting ini, sungguh dari keajaiban google yang maha (serba) tahu. Buku yang Pertama History of Java-nya Raffles (1817) dua volume, sedangkan yang kedua History of Indian Archipelago-nya John Crawfurd (1820) dua volume.
Dua buku di atas, bagi saya, begitu penting, terutama berkait dengan dokumen awal bagaimana cara pandang dunia Jawa, atau tepatnya “agama Jawa” didefinisikan untuk pertama kali dalam lembar-lembar awal penelitian akademik para orientalis, yakni dalam pengertian komprehensivitasnya.
Dan kita akan segera tahu, dua buku “history” ini merupakan blue print untuk pertama kali bagaimana “agama Jawa” didefinisikan, serta berikutnya bagaimana defenisi itu direproduksi berulang-ulang oleh para orientalis yang lebih belakangan, atau bahkan hingga para sarjana kita hari ini.
Setidaknya hingga abad 19 (1800 M), VOC hanya mengenal beberapa aspek masyarakat wilayah di sepanjang pantai utara Jawa, atau setidaknya sedikit aspek pengetahuan masyarakat untuk menunjang ekonomi dagang mereka, seperti terekam dalam laporan catatan perjalanan para pelancong Eropa maupun catatan-catatan statistik para pejabat VOC. Wilayah pedalaman Jawa selatan, hingga tahun awal 1800, merupakan tanah “antah berantah” yang lebih banyak diselubungi mitos.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa sebelum tahun 1800 belum ada karya tulis tentang Jawa sama sekali. Bukan, bukan itu.
Ada beberapa nama penulis yang telah mendahului Rafless, seperti Areland (1677-1718) yang pernah menulis menulis daftar vocabulary Jawa di awal abad 18, atau laporan perjalanan Enggel Hard di Jawa (1761-1831), juga Jayyet (1620-1689), hingga Gordjin yang untuk pertama kalinya menerjemahkan sebagian “Sejarah Raja Jawa” di tahun 1779. Atau para akademisi Belanda di tahun 1768 sudah mengenal terjemahan kode hukum kesultanan Cirebon dalam bahasa mereka.
Belum jika kita memasukkan catatan-catatan lapangan yang dilakukan oleh para missionaris dan zending yang sejak awal abad 18, seperti dilakukan JFC Brumund, dan kawan-kawan. yang merekam pertemuan dan perkenalan awal mereka dengan masyarakat Jawa pada catatan-catanan mereka dalam konteks misi.
Signifikasnsi History of Java-nya Raffles menurut saya; karena membahas masyarakat Jawa—yang sebelumnya berupa pecahan-pecahan yang tak terangkai—mencakup seluruh wilayah Jawa dalam satu buku untuk pertama kalinya, atau meminjam kalimat Jochem van den Boogert (1971) “very first collections all available knowledge of Java”. Dalam bahasa panjangnya, buku ini mengajak pada publik Eropa secara luas, menikmati seluruh potongan dari bagian yang tersedia dari seluruh sobekan pengetahuan tentang Jawa dalam satu format yang terstruktur dalam sebuah buku untuk pertama kalinya.
Ia mengurai dari perihal gunung, penduduk, pakaian, makanan, adat, ceremony kerajaan, hingga “agama”. Kita juga dengan segera akan mendapati bahwa History of Indian Archipelego Crawfurd mempersembahakan bahasan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa.
Tak aneh jika sejak diterbitkannya dua buku tersebut di abad 19 (1817 & 1820 M), dua buku ini menjadi sebuah terobosan dan merupakan satu-satunya otoritas serta sumber referensi absolut selama lebih setengah abad untuk para sarjana Eropa secara umum, atau bahkan lebih. Ingat, bahkan Karl Marx pun dalam “das Capital” yang melegenda itu, saat membahas “tipe produksi Asiatic”, merujuk dengan bersemangat buku Raffless ini. Atau Ricklefs sejarawan Jawa kontemporer hari ini dalam trilogi buku islamisasi masyarakat Jawa-nya—(1) Mystics Synthesis, (2) Polarizing, dan (3) Islamisation—masih perlu merujuk buku ini.
Oleh para sarjana orientalis terkemuka, Raffles disebut sebagai inisiator dan pemula studi ilmiah atas masyarakat Jawa. Bahkan beberapa pakar menyebutnya sebagai “the first true orientalist on Java”. Meski perlu dicatat, kata “history” seperti dibubuhkan dalam judul buku tersebut, sebenarnya tak memiliki pengertian sejarah ilmiah ketat hari ini. Kata (History) hanya secara sederhana dimaksudkan sebagai sebuah kompilasi pandangan yang mencakup aspek menyeluruh segala hal-ihwal tentang Jawa. Sesederhana itu.
Sebenarnya buku dalam genre history tentang nusantara, Raffles bukan seorang pemula. Sebelumnya William Marseden sudah menerbitkan buku “History of Sumatra” di tahun 1789 M. Raffles ternyata berteman akrab dengan Marseden, yang merupakan lawan diskusinya yang bersemangat.
Di kemudian hari kita tahu, buku “History of Sumatra” Marseden membantu Raffles untuk menyempurnakan dan menstrukturkan “history of Java”-nya dalam bangun yang lebih utuh dan koheren secara umum.
Selain signifikansi kebaruan dan kemenyeluruhan studi Raffles yang diklaim merupakan tonggak studi sejarah dengan intensi “ilmiah” pertama atas masyarakat Jawa, Raffless menginisiasi metode keilmuan yang belum dilakukan para pendahulunya dalam penyelidikan tentang masyarakat Jawa.
Kita tahu, sejak menjadi penguasa baru Jawa dan diangkat Leutenan General di tahun 1811 di Hindia Belanda, Raffles merupakan produk “anak sah zaman Pencerahan Eropa”. Ia sangat bersikeras mengganti sistem monopoli ekonomi VOC menuju liberalized Economy. Karena baginya, free-trade dan sistem pajak yang fair lebih menggiurkan daripada pengiriman dan ekspor pertanian. Dan Raffles tahu, sistem pajak baru tersebut membutuhkan perluasan keterlibatan pengawai sipil lokal dan perbaikan pendidikan atas para pejabat tersebut.
Nah, sebelum menerapkannya, Raffles membentuk sebuah komite yang bertugas menginvestigasi hukum lokal tentang kepemilikan yang pernah ada sebelumnya. Collin MacKenzie ditunjuk untuk mengepalai Land Rent Commite yang bertugas mengumpulkan artefak, kostum, gambar, dan teks yang tersebar di seluruh penjuru pulau Jawa. Dari perbendaharaan materi koleksi MacKenzie tersebut sebagaian akan digunakan Raffless dalam menyempurkanan History-nya.
Dengan mudah kita mendapati dalam “History”, nama dan karya pendahulu orientalis Belanda, seperti HC. Cornellius perihal sketsa dan gambar tentang candi-candi di Jawa Tengah, atau studi Captain George P. Backer yang melakukan studi ekstensif tentang Borobudur dan Prambanan, juga Nicolaus EnggleHart terkait gambar-gamabr patung di wilayah Semarang. Ia menggabungkan temuan-temuan para orientalis Belanda awal dalam bangun maha karyanya.
Lebih-lebih, Raffles juga berteman akrab dengan para priyayi dan bangsawan istana, seperti Bupati Torbaya (Semarang), Kiai Adipati Suraadimenggala, dan Panembahan Sumenep, Natakususma, yang dikemudian hari kita ketahui ikut menerjemahakan sebagian babad untuk pertama kalinya. Oleh Karenanya, “History” sering dianggap sebagai sebuah sintesis laporan dengan bahan-bahan yang dipersiapkan dan dikumpulkan para relawan, serta menggabungkan temuan studi dari pada pendahulu yang tak selalu mendapat sebutan kredit sepantasnya.
“History” dengan sendirinya menampilkan ketersambungan usaha-usaha penyeledikan sebelumnya yang merentang dari sejak VOC, atau bahkan sejak zaman Portugis.
Selain buku, signifikansi Raffless juga terletak pada usahanya untuk menghidupkan lagi Het Bataviaash Genoothschap voor en Wtenschappern (Batavian Society) atau sering dikenal dengan Royal Batavian Society Art and Science, yakni sebuah lembaga dan Society bentukan Belanda yang pertama kali yang pernah ada di Asia, bahkan mendahului Royal Asiatic Society bikinan Inggris. Kajian Society ini sebelumnya di masa VOC merentang dari geografi, teknologi, agrikultur, sejarah alam, etnologi, kesehatan tropis, dan sedikit tentang sejarah dan sastra. Sedangkan fokus tentang Kajian “agama” tidak ada.
Sejak Raffles mengambil alih lembaga ini, kajian tentang deskripsi etnografis dan agama Jawa meningkat drastis. Memang sebelum tahun 1800, sudah ada beberapa orientalis Belanda yang tertarik dengan kajian sastra Jawa. Tapi hanya di masa Raffless dan Crawfurdlah yang menandai tinggal landas menuju studi saintifik akan bahasa dan sastra Jawa. Kita tahu, sejak tinggal di Jogjakarta, Crawfurd belajar dengan intensif bahasa dan sastra Jawa dan berteman aktif dengan para bangsawan istana Keraton Jogjakarta.
Ia juga sempat belajar bahasa dan sastra Melayu di Penang, sebelum berlabuh di Jawa.
Dari Raffles kita tahu ia adalah seorang filolog bersemangat dan merupakan ekponen awal akan ide: “teks menyediakan titik akses penting terhadap studi kebudayaan bangsa lain”.
Di awal abad pertama 18, Raffles mengerahkan usaha gigihnya merekonstruksi untuk pertama kalinya “agama Jawa” dengan intensi akademik dan ilmiah, melalui pintu masuk filologi dan arkeologi. Persis bersamaan dengan tokoh-tokoh Inggris Charles Wilkens, William Jone, dan Henry Thomas Coolebroke dalam merekontruksi dan “menginvensi” agama Hindu melalui jalur bahasa Sankrit di tanah jajahan di India.
Dalam sebuah pidatonya di Royal Batavian Society, Raffles menekankan akan pentingnya dua hal penting bagi penelitian ilmiah akan Jawa:
(1) Pentingnya penelitian etnologi area luar Jawa, agar tidak tumpang tindih dengan kajian yang dilakukan Royal Society (Inggris) di Jawa;
(2) Penekanan akan pentingnya studi filologi (manuskrip dan teks-teks Jawa) sebagai pintu masuk paling sempurna pada sejarah, pikiran, adat, hukum, dan istitusi Jawa.
Memang studi akan budaya dan agama Jawa, terutama melalui pintu teks, akan mengalami fase panennya baru di pertengahan pertama abad 19 (1850 ke atas) dan mencapai kematangannya di awal abad 20. Namun fondasi penelitian ilmiah awal melalui jalur filologi (juga arkeologi) yang dilakukan Raffleslah yang menjadi pijakan awal yang kita tahu segera akan diamini secara teguh dan diteruskan oleh para filolog Belanda setelahnya.
Oleh karenanya di awal abad 20, kita akrab dengan nama-nama seperti Gericke, T.J. Roorda, Winter, Cornet de Groot, Cohen Struart, Wilken, Brandes, dan masih banyak lainya. Raffleslah yang meletakkan batu bata pertama penelitian Jawa dalam konteks akademik dan ilmiah secara ketat melalui jalur filologi.
Islam Jawa
History-nya Raffles, jauh dari para pendahulunya, memberi bahasan “agama Jawa” sekitar 68 halaman sendiri dari ketebalan buku 800 halaman secara keseluruhan, sedangkan Crawfurd (History of Indian Archiphelego) perlu mengulas agama Jawa sepanjang 55 halaman dari total 1700 halaman secara keseluruhan.
Dari 68 halaman ulasan ihwal agama Jawa dalam “History” Raffless lebih menitikberatkan pada ancient religion pada 63 halaman, sedangkan porsi Islam—yang merupakan agama mayoritas pada masa itu—hanya ditulis dalam 13 halaman sisa. Ini persis juga dilakukan Crawfurd dalam bukunya yang lebih memberi porsi “agama kuno” masyarakat, berdasar reruntuhan candi-candi Hindu, patung, inskripsi Jawa yang ia teliti secara menggebu. Bahkan Crawfurd membuat klasifikasi dari candi, patung, dan inskripsi yang ia telaah dalam rentang kategori penyembahan yang murni hingga penyimpangan penyembahan pada artefak-atefak tersebut.
Crawfurd berpendapat “Hinduisme” yang dipeluk oleh masyarakat pribumi adalah “Hinduisme yang sudah terkorupsi”. Kasus penemuan “agama Hindu” pada masyarakat Jawa sebenarnya merupakan temuan baru. Baru di tahun 1787 agama Hindu disebut dalam tulisan-tulisan para orientalis, dan Budha baru disebut di awal abad 18.
Sebelumnya para orientalis awal Eropa seperti Stavorius (1760) menyebut agama Jawa dengan istilah “Javanese Heathen”, atau Dirk van Hogendrof menyebut “old heathen religion”, yakni semacam agama pagan.
Dalam argumen post colonial, penekanan pada agama kuno di banding Islam pada dua mahakarya Raffless dan Crawfurd, dengan porsi pembahasan yang tidak seimbang, memberi sedikit permakluman dan “excuse” akan dugaan kebencian dua tokoh ini terhadap agama Islam.
Dalam dua karya tersebut segera kita menemukan tesis yang (terlihat) mengafirmasi seperti dipaparkan dan diklonklusikan di sepanjang isi teksnya.
Baik Crawfurd maupun Raffles menyakini secara self-evident bahwa agama orang Jawa adalah Islam. Namun, buru-buru ia memberi catatan, bahwa Islamnya orang Jawa sudah tercampur dengan adat lokal dan hukum Hindu. Keduanya berpendapat bahwa masyarakat Jawa adalah “supervisial muslim” alias “muslim yang hanya ada pada permukaan”. Bahkan lebih lanjut, bagi Crawfurd, Islamnya orang Jawa adalah “modified Islam, a mixture of native customs with Islamic dan Hindu laws”. Salah tafsir ini mungkin berawal mengikuti penyepadanan kerangka dan model yang seolah-olah selaras dengan perkembangan sejarah agama Kristen Eropa, dari Catholic ke Protestantianisme yang menghendaki pemurnian.
Mereka tidak sadar akan bias kontruksi ke-“Kristen”-an mereka, yang hal tersebut menyebabkan mereka abai terhadap fakta betapa beragamanya ekspresi keberagamaan Islam zaman itu—yang memang beragam—baik corak Islamnya Maroko, Islamnya Afrika, Islamnya Arab Saudi, Islamnya Turki, Islamnya Persia, Islamnya Melayu, maupun Islamnya Jawa yang memang tak mengenal otoritas absolut tunggal, seperti layaknya Paus dalam Katholik yang bertugas menyeragamkan secara absolut aliran-aliran dalam tubuh agamanya, dalam konteks masa itu.
Bahkan Raffles misalnya mencap masyarakat Jawa sebagai “Islam di permukaan” dengan hanya menyebut kriteria bahwa orang Jawa tidak terlalu mengenal nabinya dan mereka “tidak terlalu benci melihat Belanda sebagai kafir.”
Pernyataan Raffles mungkin merupakan praduga Islam paling membekas sejak persentuhan Eropa dengan Islam dalam even berkepanjangan perang Salib; bahwa Islam harus selalu berarti “peperangan” dan “kekerasan”. Dan kita tahu, hingga abad 16-17, pengetahuan Eropa tentang Islam adalah sederet ingatan akan kekerasan Islam di Perang Salib.
Crawfurd malah lebih lanjut menyebut, masyarakat Jawa memiliki kekurangan “kapabilitas mental” untuk memahami Islam—sehingga mencampuradukkannya dengan kepercayaan lama—dan bahkan juga Hindu, serta kurang mampu menjangkau ide-ide abstrak yang ditawarkan oleh dua agama tersebut. Masyarakat Jawa—meminjam bahasa Crawfurd dalam History of Indian Archiphelego-nya—adalah “semi-barbarian”.
Dari dua mahakarya ini, “agama Jawa” diintrodusir dan benar-benar memperoleh standarisasi pada level tertentu, dan menyembunyikan bias-bias kolonialnya.
Tafsir dua raksasa filolog ini, di kemudian hari, direprodusir berulang-ulang di sekolah dan universitas tempat pendidikan calon pegawai sipil dan militer Belanda, maupun para akademisi Belanda, sebelum masa tugas mereka di Hindia Belanda.
Doktrin tentang “agama Jawa” inilah yang kemudian memberi strukturasi pada pengalaman para pejabat Hindia Belanda di tanah Jajahan.
Oleh Karenaya, orang-orang seperti Roorda van Eisinga (1819-1830 M), seorang sarjana dengan pengetahuan ekstensif paling terkemuka di masanya tentang Jawa, Melayu, Arab, dalam ceramahnya di tahun pada calon-calon pejabat yang akan berangkat ke Hindia Belanda masih mengulang proposisi yang sama dengan Raffless dan Crawfurd. Atau Johannes Oliver, seorang kepala sekolah pemerintah untuk calon pejabat kolonial menulis dalam jurnal “De Osterling” di setengah awal abad 19 mengatakan: Islamnya orang Jawa adalah “mixed with Hindu concept” atau dalam istilah lain “restricted to behavior”.
Dan sepertinya preposisi Raffless tidak berhenti di abad itu, ia berlangsung hingga hari dan masih diyakini teguh oleh para akademisi kita. Mereka meringkas semua perdebatan itu dengan istilah besar bernama “sinkretisme”. Titik.
Catatan :
Ulasan ini diilhami dan sebagian disarikan dari sebuah buku Jochem van Den Boogert, Rethinking Javanese Islam, Towards New Descriptions of Javanese Traditions, Leiden University Desertasion, Belanda, (1971).