Film serial Gadis Kretek mampu menyedot perhatian publik. Tayangan yang diputar di Netflix sejak 2 November 2023 itu hingga kini masih menjadi buah bibir. Serial Gadis Kretek digarap oleh dua sutradara, Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, itu diadaptasi dari novel fiksi sejarah yang disusun Ratih Kumala.
Sorotan mata pemirsa tak lepas dari sosok Dasiyah, pemain utama yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo. Dalam kerajaan bisnis rokok ini, perempuan cakep bernama Dasiyah itu dikenal mahir menentukan tembakau terbaik dan berambisi menelurkan saus kretek terbaik. Laksana harimau, hidungnya begitu tajam mengendusi aroma aneka bahan kretek.
Suatu hari, ayah Dasiyah mengajak pemuda gagah bernama Soeraja untuk turut berpeluh di perusahaannya. Selain trengginas dan cepat beradaptasi, Soeraja lincah bekerja di berbagai pos pada industri tembakau itu.
Bahkan, ia tak ragu mereken Dasiyah, sebuah sikap yang berkebalikan dengan pandangan umum yang menempatkan perempuan tak lazim berada di ruang saus. Sikap inilah yang bikin Dasiyah kesemsem dan klepek-klepek terhadap Soeraja.
Beberapa tahun silam, saya blusukan ke Kudus menelusuri aspek kesejarahan dan budaya lokal. Yang bikin terpana ialah sepetak ruangan yang diisi serombongan wanita berusia setengah abad ke atas. Mereka nglinthing dengan tangan, tanpa bantuan mesin.
Para “Kartini” kretek itu tekun bekerja dengan cara tradisional, tentu disertai bumbu guyonan agar suasana tak kering. Yang jelas, film Gadis Kretek mengingatkan kita pada kiprah barisan perempuan tua ini.
Selain itu, film yang memotret geliat bisnis kretek di kota “M” tersebut secara tidak langsung membuka memori kolektif tentang tokoh Djamhari. Penemu rokok kretek dari Kudus ini hidup dalam realitas sejarah, bukan di ranah mitos dan fiksi yang tak pasti kebenarannya.
Menyimak hasil riset Edy Supratno (2016), nama Djamhari ditulis berbeda-beda. Contohnya, van Reijden (1929) menatah dengan nama Djamahri, Lance Castles (1982) menyebutnya Djasmari, dan Parada Harahap (1952) mengukir nama Djamhari.
Kendati demikian, maksud mereka sama, yakni hendak merujuk ke satu orang Kudus yang dipercaya masyarakat telah meramu tembakau dengan cengkeh untuk mengobati rasa sakit di dadanya.
Bila dirunut, “silsilah” coretan itu diwiwiti dari laporan Darmawan Mangoenkoesmoemo yang terbit pada 1929. Dalam karya itu, Darmawan tak menyebut siapa peramu kretek, namun banyak membeberkan perihal aktivitas industri rokok di Kudus.
Disinggung mengenai persaingan pengusaha pribumi dengan Tionghoa yang berujung kerusuhan pada 1918. Tahun 1929 juga P. de Kat Angelino menyusun laporan yang memotret tembakau di Nusantara.
Lima tahun berikutnya, van Reijden yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah kolonial menyurat perkara industri kretek. Pada halaman 10 paragraf keempat, Reijden secara spesifik menulis siapa orang yang “berjasa” dalam lahirnya rokok kretek. Berkat penelitian Reijden inilah orang mengetahui bahwa kretek di Indonesia kali pertama lahir dari rahim telatah Kudus.
Di bagian terakhir paragraf kelima, Reijden menyebut Djamhari meramu rokok cengkeh itu antara 1870-1880. Tahun tersebut merupakan tahun kematian si peramu pada 1890. Jadi, pendapat ini merupakan satu-satunya sumber yang kuat. Hingga detik ini pendapat itu sudah berlangsung sekitar sepuluh windu.
Jika menelaah pilihan kata yang dipakai Reijden dalam tulisannya, sangat terbuka peluang untuk menelusuri lebih jauh tentang kecocokan tahun kematian Djamhari. Apakah perkiraan Reijden sudah pasti atau masih ada kemungkinan lain.
Misalnya pilihan kata dalam kalimat paragraf yang secara lengkap berbunyi demikian: Meergenoemde baji zou in 1890 te Koedoes zijn overleden, zoodat mag worden verondersteld, dat bet onstaan dezer industrie uit bet tijdvak van 1870 tot1880 dateerz.
Branding “Kudus Kota Empat Negri” berpotensi menutupi kehebatan para usahawan kretek di masa lampau. Semisal, tokoh kretek Kudus menuju Tasikmalaya secara senyap sejak peristiwa kerusuhan anti-Tionghoa pada 1918. Sudah puluhan tahun sebelumnya, Tasikmalaya menjadi salah satu kota tujuan berlayar pedagang Kudus.
Motivasi berlayar ke Tasikmalaya setidaknya karena dua hal. Pertama, dorongan berbisnis, dan kedua lantaran tertarik memelajari sulam bordir yang dihasilkan perajin Tasikmalaya terkenal lebih halus. Kenyataan faktual tersebut jelas luput dalam bingkai branding baru ini.
Selain itu, ketika para peneliti mencari orang-orang dekat Djamhari di Langgardalem dimungkinkan tidak akan pernah bertemu, sebab mereka sudah tidak lagi berada di desa tersebut.
Langgardalem adalah sebuahb desa yang dikenal sebagai tempat tinggal Djamhari. Penelusuran riset ini menemukan sepucuk fakta bahwa domisili saudara dekat Djamhari justru berada di Kampung Pringginan yang masuk ke Desa Kerjasan.
Kekuatan identitas “Kota Kretek” ialah mewarat ingatan sejarah silsilah keluarga bisnisman lokal. Sebagai contoh, silsilah milik keluarga Hardiwidjojo, saudara sepupu Djamhari. Catatan ini menjadi sebuah petunjuk berapa anak Djamhari dan siapa saja nama anaknya.
Tidak sekadar sampai di keluarga Djamhari, isinya juga mengurutkan siapa nama-nama keluarga besarnya. Catatan ini cukup teruji karena disusun oleh sanak saudara yang menyaksikan hidup Djamhari dan keluarga besar lainnya.
Demikianlah, film Gadis Kretek yang baru tayang itu menjadi pemicu untuk mengerti pahlawan kretek, sejarah lokal, dan dinamika bisnis kretek warisan leluhur, tak sebatas tayangan di waktu longgar.
Lembaga plat merah, usahawan hingga komunitas sejarah-budaya harus ikut menyahuti gema film tersebut untuk kepentingan membumikan kesadaran historis ke generasi kiwari.
Bagaimanapun, ekonomi kretek merupakan kearifan lokal yang teruji zaman. Jangan sampai ia punah gara-gara digilas kapitalisme jahat yang beselingkuh dengan kekuasaan, juga diperparah dengan rasa cuek kita.