Avatar
Penulis Kolom

Pelajar Islamic Study di Univ. Sidi Mohamed bin Abdellah, Fes, Marocco

Memahami Agama, Memadukan Akal dan Kultur

Memahami Agama, Memadukan Akal dan Kultur 2

Agama (din: bahasa Arab, religion: bahasa Inggris) secara singkat bisa kita artikan sebagai ajaran-ajaran Tuhan yang dibawa oleh  rasul dan ditujukan bagi manusia sebagai satu kewajiban. Setelah itu muncul reaksi manusia sebagai jawaban atau sambutan atas ajaran-ajaran itu, baik sebagai keyakinan, rujukan berpikir, hingga pijakan tingkah laku keseharian.

Manusia yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup lantas dinamai pemeluk agama. Bahasa Arabya, tadayyun.

Tentunya  dua kata itu, din dan tadayyun, tidaklah sama, berbeda sama sekali. Jika din (agama) memiliki sifat kesempurnaan, maka  tadayyun (pemeluk agama) memiliki keterbatasan dan bersifat relatif. Jika din bersumber dari sang pencipta, maka tadayyun bersumber dari ciptaan. Sudah tentulah tidak sama, pencipta dengan ciptaan, bukan?

Maka itu, merupakan suatu ketidakadilan jika seorang agamawan, misalnya, dituduh sebagai penghianat atau pendusta jika ia melakukan kesalahan.  Seorang pemeluk, ahli agama sekali pun, adalah seseorang yang memiliki keterbatasan.

Kesucian agama tidak berarti kesucian pemeluk agama. Bukankah yang sempurna itu adalah agamanya?

Dalam keyakinan umat Islam, dan saya rasa juga semua umat beragama, ajaran-ajaran agama menjadi pegangan dan  pedoman dalam kehidupan sehari-hari kita. Ia merupakan penutup dan pelengkap bagi ajaran-ajaran sebelumnya, apalagi dibawa oleh Nabi yang juga merupakan khotamul anbiya.

Yakin itu bertempat di hati

Adalah penting untuk menyadari, bahwa satu keyakinan  di dalam diri kita, belum tentu ada di dalam diri orang lain. Maka alangkah picik jika menghukumi atau menghujani orang lain dengan kata-kata yang tidak semestinya, seperti sesat dan kafir. Benar, bahwa dalam berkeyakinan itu ada tuntutan untuk seratus persen meyakini apa yang kita pegang. Akan tetapi, bukankah “yakin” itu tempatnya didalam hati?

Baca juga:  Agama itu Cinta

Mengklaim keyakinan diri sebagai suatu kebenaran yang paling benar,  silahkan. Itu suatu keniscayaan. Namun, keyakinan ada di dalam batas keyakinan itu sendiri. Aksi atau pengungkapan keyakinan adalah hal yang berbeda. Ada rambu, jangan sampai ungkapan keyakinan itu  justru membuat hubungan antarmanusia menjadi terhalang.

Saya kembali lagi pada dua subjek bahasan, agama dan pemeluk agama. Pemeluk agama memiliki akal dan ia berada di dalam satu lingkungan (sosial) tertentu. Akal dan lingkungan sosial itu tidaklah dapat dipisahkan, sehingga  dua unsur itu sama-sama berperan penting dalam memahami agama. Akal dan lingkungan sosial bahkan menjadi rukun yang selalu harus dipakai dan dipadukan untuk  mengimplentasikan suatu keyakinan.

Akal adalah ilmu……

Apa itu akal? Akal dalam hal ini adalah ilmu-ilmu atau pengetahuan yang berkaitan dengan alam dan manusia yang diserap oleh otak kita. Manusia berpikir menggunakan akal. Ketika akal berinteraksi dengan teks-teks agama, ia berpegangan pada fondasi-fondasi logistik yang sudah barang tentulah tidak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang diserap.

Ada ilmu-akal yang  kebenarannya absolut, ada pula yang nisbi atau relatif.  Bagaimana dengan ilmu-akal untuk memahami agama? Agar tidak terintervensi oleh kesamaran atau ketidakjelasan, maka pemahaman agama membutuhkan kebenaran absolut.

Pemahaman agama dengan menggunakan ilmu-akal yang berpijak pada kebenaran absolut sebetulnya bisa menjadi penengah (moderasi) di antara dua kelompok. Dua kelompok itu adalah mereka yang tidak melirik akal dan hanya membawa-bawa teks (biasanya disebut fundamentalis) dan mereka yang berlebihan menggunakan akal sehingga menghilangkan peran teks-teks agama.

Baca juga:  Masjid dan Panggilan Etis Agama

Pemahaman seperti itu bukanlah suatu yang baru di era mutakhir ini. Para ulama salafus sholih juga telah melakukannya, dan sejarah serta karya-karya warisan mereka menjadi saksinya.

Racikan akal dan lingkungan

Akal dipadukan dengan kondisi lingkungan sosial, yakni kultur yang telah ada dan mengakar kuat di dalam masyarakat. Kebiasaan dan kultur di dalam masyarakat tentu berbeda-beda, namun banyak di antara kebiasan-kebisaan itu bersifat haq atau tidak melenceng dari ajaran agama, sehingga  membuahkan hasil yang bermanfaat serta baik.

Mungkin ada begitu banyak kebaikan di dalam kultur kehidupan manusia, tapi tidak ada keterangan yang merujuk pada sumber agama selain petunjuk maqoshid secara umum. Maka, kultur dan kebiasaan itu pun bersinergi dengan akal melalui ijtihad dalam mencari maksud Ilahi di dalamnya.

Mengapa demikian? Sebab, kebiasaan dan kultur itu tidak sedikit yang melenceng dari ajaran agama, menimbulkan kerusakan di tengah kehidupan sosial (lagi-lagi ini bersifat relatif). Akal “dituntut” bersinergi dengan sumber ajaran agama untuk mencari solusi terbaik, sehingga tercapai maksud Ilahi.

Kondisi lingkungan seperti itu, oleh sebagian ulama fikih dan ushul fikih dijadikan pijakan dalam menetapkan hukum-hukum agama. Lantas lahirlah kaidah-kaidah seperti Urf, Mashlahal Mursalah, Istishhab, dan lain sebagainya yang menjadi sumber atau rujukan hukum ketika tidak adanya keterangan teks-teks agama pada sebuah peristiwa atau kejadian baru.

Baca juga:  Merayu Tuhan

Tentu sebelum semua itu, penguasaan bahasa Arab dengan berbagai rukunnya seperti nahwu, shorf, balaghoh, dan ilmu-ilmu alat lainya adalah niscaya. Hal ini tidak lain karena rujukan ajaran agamanya adalah Alquran dan Hadis, yang memang berbahasa Arab dan Alquran juga diturunkan di dalam masyarakat berbahasa Arab.

Makin kompleksnya problema beragama kita sekarang ini barangkali membuat orang makin berani berfatwa dengan mengambil rujukan langsung pada Alquran dan Sunnah, tanpa penguasan ilmu-akal yang saya beberkan di atas. Merasa pintar dan mampu lalu berfatwa tanpa ilmu-akal, sama saja dengan mengabaikan peran ulama. Nauzdu billah.

Wallahu alam bissawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top