Mawar nan indah, bunganya merupakan lambang atas cinta. ~ Ummi Koultum ~ (Ward l-Gamil)
Berlainan dengan tradisi sastra syair sufistik Nusantara, khususnya sastra sufi Melayu, seperti Hamzah Fansuri, misalnya atau Nurudin Ar-Raniri. Agaknya puisi dengan menggunakan simbol “bunga mawar” dalam tradisi sastra puisi sufi Arab dan Persia tampak begitu meruah dibanding sastra sufi Nusantara yang cenderung menggunakan simbol lain seperti pohon, kelapa, burung atau lautan.
Meski sastra Melayu banyak terpengaruh dengan sastra arab dan persia. Namun, sastra Melayu tampaknya memiliki kecenderungan yang berbeda dan seolah memiliki gayanya sendiri yang menunjukkan akan lokalitasnya. Hamzah Fansuri yang disebut-sebut sebagai pelopor syair sufi Melayu lebih banyak menggunakan simbol yang menggambarkan tradisi masyarakat Nusantara, yang tentu berlainan dengan di wilayah arab.
Syair-syair Hamzah lebih banyak menggunakan kata seperti padi, laut, kapal, burung, kembang, bunga kenanga atau kekasih yang begitu kental sebagai ciri khas Nusantara.
Sebagaimana dinyatakan oleh Brakel, sistem citra yang digunakan oleh Hamzah Fansuri memang merupakan gambaran tentang masyarakat Melayu abad ke-16; suatu masyarakat yang bila malam hari berjalan membawa obor, mengenakan sarung dan kain dari bahan kapas, kekasih bersumping kembang di telinganya, uang direnteng dengan seutas benang, orang berlari-lari seperti kijang, berenang seperti ikan paus, atau berjualan arak, yang menyamakan dunia seperti dadu, payung berjumbai menyatakan tanda lahiriah jabatan tinggi, pagar-pagar beranyam dan orang berangjasana malam hari ke kampung kekasih, dan yang mempersamakan antara wujud Ilahi dengan wujud lahiriah seperti hubungan antara kelapa dan tempurungnya.
Gambaran itu yang kemudian menjadi tumpuan Hamzah Fansuri dalam syair-syairnya. Ia seolah terinspirasi atas apa yang berada di hadapannya.
“Rumah tanggamu berpagar sasak,
Tukarkan dengan secawan arak”
“Laut sedia; apabila berpalu menjadi ombak baharu.
Dikata orang ‘ombak’, tetapi pada hakikat laut jua”
“Misal kelambir sebuah dengan kulitnya, dengan tempurung-nya, dengan isinya, dengan minyaknya.
Yang syariat seperti kulitnya; yang tarekat seperti tempurungnya; yang hakikat seperti isinya; yang ma’rifat seperti minyaknya”
“Batang gelam batang kenanga,
Sama tumbang menimpa pundung;
Kumbang mengidam na` sari bunga,
Bunga di puncak gunung”
Tidak berbeda jauh dengan Hamzah Fansuri, yaitu Abd ar-Rauf dari Singkel. Ia menulis:
“Sebiji kelapa ibarat sana,
Lafaznya empat suatu ma’na,
Di situlah banyak orang terkena,
Sebab pendapat kurang sempurna”.
“Kayu itu terlalu tinggi,
Sungguhpun besar asalnya biji,
Buahnya lengkap tiada tersembunyi,
Sunggunhnya lengkap tiada terdinding”
“….adalah ibarat fakir yang hina,
Sepohon kayu banyaklah maknanya,
Jikalau pohon tiada sempurna,
Cawang dan dahan tiada berguna.”
Berlainan dengan sastra sufistik Melayu, dalam sastra arab, bunga mawar mendapat porsi yang begitu melimpah dibanding kapal, laut, pohon dan lainnya.
Ibn Faridh, penyair sufistik yang dikenal sebagai raja para pecinta dalam diwan syairnya menulis:
“Halus pipinya menyala bagai merah mawar.
Dan keras hatinya serupa tameng baja”.
Farid Ad-Din Attar:
“ Di tempat tidur Mawar, misteri bersinar, rahasianya tersembunyi dalam Mawar.”
Masih banyak syair serupa dari penyair Arab dan Persia seperti di atas. Hal ini, barangkali dampak dari cara pandang masyarakat Arab atas bunga Mawar.
Dalam dunia perdagangan yang berlangsung di Arab, bunga mawar menjadi komoditas yang bernilai jual tinggi lantaran dapat dijadikan sebagai ‘ithr (minyak wangi), sehingga bunga mawar menjelma sebagai suatu yang dianggap mewah dan begitu istimewa di mata orang-orang Arab dan Persia.
Bahkan, saking istimewanya, sebagaimana dinyatakan oleh Philip K. Hitti, pajak yang dikirim untuk khalifah di Baghdad pernah dibayarkan menggunakan 30 ribu sari mawar merah, dan Al-Mutawakkil juga pernah memonopoli budidaya bunga mawar untuk ia nikmati sendiri, sehingga pada masa itu bunga mawar hanya dapat dilihat di istana.
Disamping itu, kepopuleran bunga mawar juga didukung dengan hadis-hadis Nabi yang menjelaskan mengenai keutamaan wangi bunga mawar.
Lantaran itu, mungkin para penyair sufi Arab dan Persia kemudian terinspirasi terhadap bunga tersebut, sebagaimana mereka terinspirasi terhadap arak untuk mencipta syair-syair khamriyyat (wine poem) kala melihat gaya hidup hedonis yang berada di lingkungan istana khalifah.
Di Nusantara, mungkin bunga mawar dulu tidak begitu istimewa dan populer sebagaimana di Arab atau Persia, kalah dengan bunga kenanga atau melati.
Dan sebab itu pula barangkali, mengapa Danarto salah seorang cerpenis kenamaan memilih judul “Setangkai Melati di Sayap Jibril” atas buku kumpulan cerpennya bukan “Setangkai Mawar”, hal tersebut semata menunjukkan atas corak sufi yang berada di wilayah Nusantara dan menegaskan terhadap genre yang dipilih oleh Danarto sendiri atas cerpen-cerpennya yang mengusung ide-ide sufisme.