SEBAGAI agama Langit yang merahmati semesta alam, Islam turun secara bergelombang selama dua puluh tiga tahun. Kota Makkah al-Mukarromah dan Madinah al-Munawwaroh adalah saksi bisunya. Berikut pemakaman para penganut terawal (assabiquna l-awwalun) dan juga Sahabat Nabi Saw generasi tabi’in.
Merekalah yang turut menghidupkan spirit Islam dengan segenap kesadaran, serta keyakinan penuh tak bersyarat. Lantas bagaimana mereka menyangga agama paripurna yang dibawa oleh manusia terbaik sepanjang masa itu?
Sayyidina ‘Ali karamallahu wajhahu dan Abu Hurairah ra berkata, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
“Bermula syariat itu beberapa perkataanku, dan bermula thariqat itu beberapa perbuatanku (amalanku), dan bermula hakikat itu beberapa hal-ku (pendirian [keadaan]-ku), dan makrifat itu kepala hartaku (hasil perolehanku).” Dalam redaksi yang hampir mirip, sabda Nabi Saw itu berbunyi, “Syariat ialah katakataku (aqwali), thariqat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakikat (haqiqah) ialah keadaan batinku (ahwali). Ketiganya saling terkait dan tergantung.”
Keempat matra besar itu masih lagi tersusun dalam;
1) Syariat yang syariat, syariat yang thariqat, syariat yang hakikat, dan syariat yang makrifat.
2) Thariqat yang syariat, thariqat yang thariqat, thariqat yang hakikat, thariqat yang makrifat.
3) Hakikatnya syariat, hakikatnya thariqat, hakikatnya hakikat, hakikatnya makrifat.
4) Makrifatnya syariat, makrifatnya thariqat, makrifatnya hakikat, dan makrifatnya makrifat.
Sayangnya, setelah Islam bertumbuh kembang selama limabelas abad dan menjelma jadi agama dengan penganut terbesar sedunia, kaum Muslim hanya berkutat pada dua subjek penyangga yang kerap menimbulkan perselisihan tak berujung: syariat dan thariqat (perkataan dan perbuatan Nabi Saw).
Beliau berkatakata dengan bahasa kaumnya, serta bertingkah laku seturut adab kebangsaan masyarakat Arab secara umum. Perkataan dan perbuatannya itu dihapal, ditiru, digugu oleh siapa saja yang ditemui Beliau selama hidup. Generasi tabi’ut tabi’in Islam menamai kecenderungan ini dengan sebutan sunah, yang dicatat dalam hadis.
Alhasil, wajah Islam yang kini kita lihat melulu soal dzahiri (eksoterik), bukan batini (esoterik). Padahal ranah hakikat dan makrifat, sarat dengan peng(alam)an kita pribadi. Bukan tekstual, apalagi kontekstual. Alam dan ilmu itu, berasal dari paduan tiga huruf yang sama dalam bahasa Alquran (‘ain-lam-mim). Konotasinya mengarah pada Pengetahuan tentang keberadaan diri di jagat raya ini. Lalu siapa di antara generasi pertama Islam yang memegang kunci Ilmu Hakikat dan Ma’rifat? Nabi Saw pernah melansir pesan yang berbunyi:
أنا مدينة العلم وعلی بابها
فمن أراد المدينة فليأتها من بابها
“Ana madînatul ilm wa ‘Aliyyun bâbuhâ
Faman aroda l-Madînah, fal ya’tiha min babiha
Akulah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Maka siapa yang ingin mendapatkan ilmuku, maka datanglah dari pintunya.”
Namun apa mau dikata, sebagian besar muslim malah tak mau beranjak dari urusan dzahirnya. Gemar menyoal dosa-pahala. Getol membahas neraka dan surga belaka. Sehingga bangunan Islam yang berdiri, jadi timpang. Limbung tak tentu arah. Padahal jika segala yang di dalam diri sudah ajeg, niscaya ekspresi luarnya jadi ngadek (berdiri). Hakikat Islam adalah kenyataan hidup, dan makrifatnyalah yang menyempurnakan diri kita selaku ciptaan.
Bila langkan pengetahuan hakikat & makrifat dalam Islam tiada kita rambah, maka menjadi sulitlah memahami ujaran bijak semacam begini dari Syeikh Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Abdul Karim ibnu Khalifah ibnu Ahmad ibnu Mahmud al-Jili (l.782 H):
“Kerana kerahasiaan & kelembutan esensi-Nya yang mendalam, Tuhan sesungguhnya bersemayam dalam jiwa mereka yang kafir, lalu mereka meyakini bahwa apa yang mereka lihat & pahami adalah baik (termasuk mengingkari Wujud-Nya). Tuhan menghendaki mereka menyembah-Nya dalam bentuk yang lain, sesuai dengan nama dan sifat-Nya, al-Mudill (Yang Mahamenyesatkan).
Demikian dari kami. Semoga kita berhasil menegakkan catur pilar yang telah menyangga Islam selama seribu empat ratusan tahun. Wallahu a’lam… []
6 Syawal 1439 H