Sedang Membaca
Inilah Jejak Sejarah Percetakan Mushaf Alquran di Nusantara
M. Dani Habibi
Penulis Kolom

Lahir di Lampung, 1996. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Isalam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini tinggal di PP Wahid Hasyim

Inilah Jejak Sejarah Percetakan Mushaf Alquran di Nusantara

Di Nusantara, mushaf Alquran cetakan tertua berasal dari daerah Palembang. Mushaf tersebut berhasil ditulis dan dicetak batu (litografi) oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak pada tahun 21 Ramadan 1264 (21 Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga saat ini, inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara. Peninggalan yang diketahui sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin di Palembang.

Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebih muda, selesai dicetak pada Senin, 14 Zulqa’dah 1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorang kolektor naskah abad ke-19, pernah membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini atas permintaan Residen Belanda di Palembang yang dimuat dalam TBG 1857.

Berdasarkan catatan itu, mushaf cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta.

Sementara itu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, pada akhir abad ke-19 mushaf yang beredar secara luas adalah cetakan Singapura dan Bombay. Bukti luasnya peredaran mushaf cetakan Singapura ditemukan di Palembang, Jakarta, Surakarta, Bali, Palu, Maluku, dan Johor. Sedangkan luasnya peredaran mushaf cetakan Bombay terdapat di Palembang, Demak, Madura, Lombok, Bima, dan Filipina Selatan.

Bombay, kota di pantai barat India, sejak akhir abad ke-19 memang merupakan pusat percetakan buku-buku keagamaan yang diedarkan secara luas ke kawasan Asia Tenggara.

Beberapa jenis mushaf yang berhuruf tebal, selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga tahun 1970-an. Sebagian penerbit juga masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang, di samping mencetak mushaf dengan jenis huruf yang lain, karena semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan para penerbit.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (6): Fathul Muin, Kitab Fikih Banyak Jebakan

Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India itu sebagai teks pokok, sementara untuk teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, bergantung pada pilihan penerbit.

Terkait dengan upaya memelihara kemurnian, kesucian, dan kemuliaan Alquran, lembaga yang secara resmi mempunyai tugas memeriksa kesahihan suatu mushaf, yaitu Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (sejak 2007 bernama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an). Lajnah secara kelembagaan dibentuk pada 1 Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agama No. 11 Tahun 1959.

Ada tiga jenis mushaf standar yang secara resmi menjadi pedoman kerja bagi Lajnah – dan dengan demikian secara resmi dapat diterbitkan dan diedarkan di Indonesia.

Pertama, Mushaf Alquran Rasm Usmani (istilah ini berarti penulisan Alquran, disebut juga Rasmul Quran. Utsmani merujuk pada Khalifah Utsman bin Affan, yang membentuk tim penulisan Alquran secara “resmi”). Penetapan mushaf ini berdasarkan mushaf cetakan Bombay, karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya bahkan jika dihitung sejak awal peredarannya di Nusantara telah mencapai satu abad lebih.

Kedua, Mushaf Alquran “Bahriyah” yang cenderung memiliki Rasm Ilma’i. Mushaf ini modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah.

Baca juga:  Generasi Z dan Literasi Kafe

Ketiga, mushaf Alqur’an Braille, yaitu mushaf bagi para tunanetra. Mushaf ini menggunakan huruf Braille Arab sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Internasional Unesco Tahun 1951, yaitu al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah. Dalam penulisannya, jenis mushaf ini menggunakan prinsip-prinsip Rasm Usmani dalam batas-batas tertentu yang bisa dilakukan.

Untuk kepentingan umat Islam di Indonesia, mushaf Alquran Rasm Usmani dan mushaf Alquran “Bahriyah” kemudian ditulis oleh putra Indonesia. Mushaf dengan Rasm Usmani ditulis oleh khattat Ustaz Muhammad Syadali Sa’ad, dan mushaf “Bahriyah” ditulis oleh Ustaz Abdur-Razaq Muhili, tahun 19841989.

Mushaf dengan rasm Usmani telah mengalami penulisan ulang oleh Ustaz Baiquni Yasin dan timnya, pada tahun 1999-2001. Sedangkan mushaf Bralille diterbitkan dan diproduksi, di antaranya oleh Koperasi Karyawan Abiyoso, Bandung.

Para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an, setelah terbitnya Mushaf Standar, hingga awal dasawarsa 2000-an, pada umumnya masih meneruskan tradisi lama dalam produksi mushaf.

Mereka kebanyakan hanya mencetak Alquran Bombay (yang telah distandarkan), Mushaf Standar itu sendiri, atau Alquran “Bahriyah” model sudut. Sampai sejauh itu tidak ada inovasi yang berarti baik dalam tampilan maupun komposisi isi mushaf.

Dalam hal desain kulit, misalnya, pada umumnya hanya menampilkan pola simetris dalam bentuk dekorasi persegi yang berisi ragam hias floral, dengan tulisan “Qur’an Majid”, “Qur’an Karim”, atau “alQur’an al-Karim” berbentuk bulat di dalam medalion yang terletak di posisi tengah. Warna yang digunakan pun adalah warna-warna dasar seperti merah, hijau, biru, coklat, kuning, dan emas.

Sehingga dalam perkembanganya di tahun 2000, Para penerbit tampak tidak ragu-ragu untuk menawarkan kelebihan produknya dibanding produk sejenis dari penerbit lainnya.

Baca juga:  Jalan Lurus Sang Filsuf: Membaca Otobiografi Mulyadhi Kartanegara

Mereka berlomba-lomba mengasah kreativitas, baik dalam hal cover, isi, maupun kelengkapan teks tambahannya. Para pembaca semakin dimanjakan dengan berbagai tawaran manis yang diajukan penerbit.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top