PERADABAN modern terus tumbuh dalam skala mengagumkan. Fajar milenium ketiga telah merekah. Masyarakat Indonesia yang mukim di Pulau Jawa, telah membuktikan ini—mungkin tidak dalam kesadaran penuh. Mereka yang pada akhir 2018 menyempatkan diri mudik ke kampung halaman, merasakan betapa ruang-waktu menciut. Jalan Trans Jawa yang melintang mengular ke segenap penjuru, memangkas jarak tempuh jadi sedemikian ringkas.
Ya, kita sedang berada di mana segala sesuatu melesat begitu rupa. Termasuk perasaan yang mudah terbolak-balik. Lantas kemudian melupa.
Sekadar contoh. 2018 lalu bolehlah kita tahbis sebagai tahun gempa Indonesia. Ada sebelas ribuan lindu terjadi sepanjang tahun. Satu melumat Lombok. Lainnya berujung tsunami dan tanah amblas di Palu. Kita belum lagi menyertakan tsunami Selat Sunda yang tak didahului gempa sama sekali. Masih ada lagi musibah pesawat Lion Air yang terjun bebas di Laut Jawa, dan karamnya KM Sinar Bangun di kaldera Gunung Toba.
Cara terbaik tapi usang yang masih terus kita lakukan untuk memahami rangkaian peristiwa tersebut adalah; sudah menjadi bagian takdir Tuhan, dan atau kecerobohan manusia mengelola hidup. Selebihnya, menyisakan lakuna yang tetap tak terjangkau akal pikiran kita.
Kala semua musibah itu terjadi, media massa dan segala saluran komunikasi kita kebanjiran kata, gambar, rekaman adegan, termasuk tetek bengek musik latarnya. Jutaan piksel, menyatu dalam rambatan suara. Berubah jadi tontonan semata. Setelah itu, purna. Hampir tak ada yang membekas. Tak ada yang tersisa sebagai renungan. Hidup jadi kian meranggas. Tuna makna. Kita kehabisan waktu menyelami kerja cerdas alam. Lalu sekonyong² gegabah menuding para korban sedang diadzab Tuhan. Luar biasa …
Sadar atau tak, kini ada begitu banyak hal yang bermunculan dari keentahan dan hanya menyisakan kegagapan. Arus cepat aliran teknologi, serta ledakan informasi yang teraduk bersama berita palsu—juga data melalui internet, turut memaksa kita membentuk sistem berpikir baru.
Zaman ini, menuntut kita tinggal landas menuju babak lain kehidupan homo sapiens. Analogi penalarannya seperti ini. Anda tinggal membayangkan bagaimana bila Abbas ibn Firnas dari Abad ke-9 (810-887 M) melihat purwarupa pesawat ciptaannya, kini telah mengudara dengan kecepatan suara—dan bahkan mendekati rambatan cahaya.
Masa depan yang menggelayuti alam pikiran semua manusia, datang lebih cepat dari yang bisa terbayangkan. Lebih tiba-tiba tinimbang yang sanggup kita tangani. Sementara dalam saat bersamaan, segala pranata lama belum lagi kita ubah. Kita perlu menyusun ulang norma baru. Menatanya jadi kaidah hidup yang jelas dibutuhkan anak-anak manusia, yang lahir dan tumbuh di era sibernetik—binaan Google.
Pelbagai kecerdasan artifisial terus menerus dikembangkan. Terutama yang turut membantu peradaban manusia. Mobil otonom sudah wira-wiri di jalanan Amerika. Super komputer telah meratakan jalan kita ke antariksa terjauh. Namun semua temuan canggih tersebut belum dan takkan sanggup seperti kita—yang bisa tersakiti dan mau memaafkan.
Empati dan simpati kita menumpul. Kepekaan meluruh jatuh ke jurang terdalam sejarah kemanusiaan. Orang-orang berlomba memaksa diri jadi pusat perhatian. Segala tentang keberadaannya, seolah harus diketahui orang lain.
“Hei, aku di sini. Lihat aku…” Pertanyaannya, itu kecenderungan apa? Lalu kenapa kalau orang² tahu? Adakah yang didapatkan sebagai pengetahuan—alih-alih jadi ilmu? Cara semu manusia terhubung dengan dunia lain di luar dirinya ini, sesungguhnya perlu dikaji lebih dalam. Apa yang menyebabkan pola itu mencuat ke permukaan? Jawaban yang kita dapat masih sama dengan yang direnungkan Socrates (470-399 SM) di Yunani: eksistensi diri.
Sadarkah kita bahwa nun di seberang sana, ada segelintir orang yang memaksa kita jadi semacam Data Raksasa untuk diolah? Sadarkah kita bahwa manusia hari ini nyaris seragam dalam pola tingkah laku? Sadarkah kita betapa hidup jadi kian menjemukan dengan balutan media sosial? Silaturahim dan hubungan antar manusia ter(di)paksa berubah.
Kita seperti tak bisa memilih jalan lain menuju kebahagiaan paripurna. Hidup sudah beralih dari satu akun ke akun berbeda. Abad modern adalah kata lain dari pemindahan makna kehidupan pada kekuasaan segelintir orang untuk mengendalikan umat manusia.
Kenyataan Hidup Baru
Pada tujuhpuluh ribu tahun lalu, manusia menaklukkan dunia mereka berkat kemampuan uniknya untuk percaya pada mitos-mitos kolektif tentang mitologi, dewa-dewi, dan danyang. Sementara dunia yang kita hidupi hari ini, menunjukkan gejala anomali yang masih tampak sulit dimengerti.
Ragam corak baru bermunculan. Cara kita belajar, mengenali sesuatu, memahami, dan menjalankannya, membutuhkan asas lain. Paling tidak, kita butuh satu-dua dekade lagi agar bisa mengerti format hidup abad-21 yang terus menggeliat. Anak manusia telah siap menyingkirkan seleksi alam ala Darwin, dengan desain baru intelegensia. Meluaskan kehidupan organiknya ke dalam siklus inorganik.
Beberapa kenyataan menarik yang telah menanti di ambang senjakala kesadaran kita, bisa dirunut satu per satu kemunculannya—dan itu tentu akan menguras energi.
Kendaraan berbahan bakar fosil kini telah beralih menggunakan tenaga listrik. Selain itu, masih ada sumber energi angin, air, dan udara yang telah difungsikan dalam keseharian. Jack Ma dengan Ali Baba yang ia dirikan, sanggup memaksa pusat belanja super megah untuk menggulung tikar bisnis mereka.
Pada 1998, Kodak memiliki 170.000 pegawai dan menjual 85 persen foto kertas di seantero dunia. Dua dekade kemudian, model bisnis mereka hilang dan bangkrut. Siapa yang mengira itu akan terjadi?
Kamera dijital perdana yang dibuat pada 1975, empat dekade kemudian mengubah segala tentang citra diri kita dengan sebuah ponsel cerdas. Kecerdasan buatan yang mewarnai hidup kita hari ini sudah mengubah wajah dunia kesehatan, sistem transportasi, pendidikan, pencetakan 3D, agrikultur, dan tentu lapangan pekerjaan. Anda yang masih hobi ngantor, harus bersiap gigit jari dalam tempo satu dasawarsa lagi, ketika semua pekerjaan Anda tergusur oleh teknologi terbarukan. Di hadapan kita sekarang, telah terbuka lebar pintu Revolusi Industri 4.0. Perangkat lunak akan terus “mengacaukan” banyak industri tradisional dalam lima-sepuluh tahun mendatang.
Uber di Inggris, dan Gojek di Indonesia, hanya menyediakan piranti lunak. Mereka tidak memiliki satu pun mobil, tapi sekarang merekalah perusahaan taksi terbesar di dunia! Airbnb berubah jadi perusahaan hotel terbesar dalam skala global, kendati mereka tidak memiliki properti apa pun.
Di Amerika, pengacara muda sudah tidak lagi memiliki pekerjaan. Berkat Watson IBM, Anda bisa memeroleh nasehat hukum dalam hitungan detik (saat ini untuk hal-hal dasar), dengan akurasi 90 persen, dibandingkan 70 persen akurasi yang dilakukan manusia. Jadi jika Anda belajar hukum, berhentilah segera. Hanya spesialis serba tahu yang masih akan tetap bertahan di bidang itu.
Watson telah membantu perawat dalam mendiagnosa kanker, empat kali lebih akurat dibandingkan perawat manusia.
Facebook sekarang memiliki perangkat lunak pengenal pola yang dapat mengenali wajah lebih baik daripada manusia. Pada 2030, komputer akan menjadi lebih cerdas dari yang bisa kita perkirakan, dan mumpuni secara eksponensial dalam hal memahami dunia kita. 2018 lalu, komputer berhasil mengalahkan pemain game terbaik dunia. Sepuluh tahun lebih cepat dari yang diharapkan.
Dunia kesehatan juga mulai berkenalan dengan Tricorder X seperti dalam film Star Trek. Mesin ini bisa bekerja dengan telepon Anda, untuk memindai retina, sampel darah, dan nafas kita. Lalu menganalisa 54 bio-marker yang akan menandai hampir semua jenis penyakit. Saat ini sudah terdapat lusinan aplikasi telepon untuk tujuan kesehatan.
Bagaimana mahasiswa kedokteran? Lalu apatah lagi nasib agama-agama manusia?
Sejak mata uang pada era merkantilisme berhasil mengganti posisi tuhan, kini internet tampil superior melindas kita di bawah kakinya yang maya.
Semua kitab tuhan yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul, pelahan jadi tidak “suci” lagi sejak berubah sebagai aplikasi semata. Para penganjur agama bermunculan bak cendawan musim penghujan. Mereka tak perlu bersusah payah belajar, menghafal, dan mengumpulkan sanad guru sebanyak Syeikh Yasin Isa al Fadani. Cukup dengan memasukkan kata kunci, lalu menekan tombol klik di layar ponsel, segala ayat, hadits, atsar, dan petuah bijak orang bijak bestari, tersusun rapi di halaman mesin pencari.
Kita tak perlu lagi bertungkus lumus pada ranah rasa hidup sejati. Lupakan saja soal rasa tuhan yang mengalir dalam sendi-sendi paling purba diri kita. Toh kepercayaan pada Dia yang Maha Suci, tetap tak berdampak pada keselarasan pikiran, hati, tindakan, dan keselamatan hidup sendiri.
Percaya atau tidak, bukan hanya agama yang kehilangan pamor. Saat ini, kita punya masalah akut pada nilai istimewa kemanusiaan. Kecerdasan yang kita kembangkan, ternyata menyeret peradaban manusia ke tubir kehancuran. Sebagaimana pernah dikemukakan Albert Einstein (1879-1955):
“Sebagaimana yang saya tahu, bukan senjata apa yang akan digunakan untuk perang dunia ketiga, tapi yang pasti perang dunia keempat akan memakai senjata batu dan tongkat.”
Selatan Jakarta, 11 Januari 1927 Çaka