Selain menjadi masjid kebanggaan warga Solo, keberadaan Masjid Sheikh Zayed menjadi simbol persahabatan antara dua negara, Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA). Sebagaimana diketahui bahwa masjid ini merupakan hibah atau hadiah dari Presiden Mohamed bin Zayed (MBZ), putra mahkota dari Sheikh Zayed (almarhum). Keduanya memiliki hubungan baik dengan Presiden Joko Widodo.
Hubungan baik itu yang kemudian UEA ingin menghadiahkan sesuatu yang bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia, yaitu masjid. “UEA pengennya memberikan hadiah tidak hanya secara personal dengan Pak Jokowi, tetapi ingin menjadikan sebuah persahabatan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat muslim di Indonesia dan UEA”, ujar Dr. Munajat, Direktur Masjid Raya Sheikh Zayed Solo.
Pagi buta (28/6/2023), seusai salat subuh, kami dan tim Alif.id berkunjung ke masjid yang pada hari itu bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1444H atau Hari Raya Iduladha. Sayup-sayup kumandang takbiran terdengar dari dalam mobil. Seperti dugaan kami, bahwa jamaah yang akan datang pasti membludak. Terlihat dari jalan raya, mereka berbondong-bondong membawa sajadah, berpeci, ada yang sudah mengenakan mukena. Mereka tak lain supaya bisa melaksanakan salat Id berjamaah di masjid ini. Terutama mencari barisan (shaf) paling depan.
Terlihat puluhan mobil yang sudah tertata rapi disaat kami memasuki area masjid. Jarak antara parkir bus dan mobil lumayan jauh. Pengunjung atau jamaah harus berjalan kaki. Sebelum masuk ke masjid, ada petugas yang memeriksa barang bawaan, tas dimasukkan ke mesin detector, layaknya di bandara.
Di depan masjid, pandangan tatapan mata kami disambut hangat dengan kibaran bendera Indonesia dan UEA yang begitu berwibawa, sebuah simbol persahabatan dari kemegahan.
Masjid yang terletak di Jl. Ahmad Yani No.128 Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta ini memiliki luas tanah 2,9 hektare. Area ini dulunya digunakan untuk Depo Pertamina. Jika jamaah penuh, masjid ini mampu menampung kapasitas jamaah yang besar, sekitar 15 ribu jamaah.
Pernah viral sebelum dibuka untuk umum pada 1 Maret 2023, masjid ini selalu menjadi opsi utama umat Islam atau menjadi jujugan wisatawan, untuk sekadar beristirahat maupun berswa foto. Yahya, dari Cepu misalnya, kedatangannya ke masjid ini selain untuk singgah menunaikan ibadah salat dan rehat dari perjalanan jauh, ia juga ingin menikmati suasana seperti di Arab, Timur Tengah.
Replika Masjid: Perpaduan Arab-Indonesia
Bangunan Masjid Sheikh Zayed Solo ini merupakan kopi paste atau replika dari Sheikh Zayed Grand Mosque yang berada di Abu Dhabi, UEA. Memiliki gaya arsitektur modern khas Timur Tengah, yang dipadukan dengan interior khas budaya Indonesia, batik.
“Bangunan yang ada di sini 80 % replika, walaupun tidak plek, lebih besar dari yang aslinya, 4 kali lipat dari yang di sini. Lalu atap atau kubahnya disesuaikan dengan kondisi di sini, ada hujan. Di sana panas,” ujar Dr. Munajat.
Budaya dan unsur-unsur seni yang berbeda, masjid ini pun memiliki sentuhan Arab-Indonesia, hal itu bisa dilihat dari kubah-kubahnya yang khas Arab atau Timur Tengah, sementara ornamen atau interior yang ada di dalam masjid, seperti pada karpet, ukiran, serta marmer, memiliki motif khas Indonesia.
Pada ruang utama, terdapat karpet dengan batik dua nagari, warna coklat dan biru, motif batik Solo dan Pekalongan. Pada ruang selasar, terdapat marmer dengan motif batik kawung. Makna kawung sendiri berarti kesempurnaan.
Interior seperti karpet di produksi di Bogor, sementara bahan baku pembuatan masjid ada yang didatangkan langsung dari luar negeri. “Dinding-dindingnya berasal dari bahan bangunan yang khusus didatangkan dari Italia, marmernya sama dengan yang ada di Masjidil Haram, kalau panas tidak terlalu panas, kalau di dalam ada marmer diukir membentuk ornamen bunga, itu dari Turki, didatangkan khusus dari pembuat bahan baku terbaik,” ujar Bagus Sigit Setiawan, wakil direktur Masjid Raya Sheikh Zayed.
Masjid tidak hanya untuk sekadar tempat salat, tetapi menjadi ruang bersama, ajang silaturahmi oleh semua kalangan, baik anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Konstruksi bangunan masjid ini juga didesain ramah terhadap semua kalangan, disediakan lift menuju area tempat wudu dan toilet, sehingga memudahkan jamaah yang kesulitan mengakses tangga. Disediakan juga ruang perpustakaan, di sana terdapat ribuan buku yang bisa dibaca oleh para jamaah.
Tradisi dan Budaya: Menebar Islam Wasathiyah
Dalam pengelolaannya, Masjid Raya Sheikh Zayed ini mengacu pada masjid negara, seperti Masjid Istiqlal di Jakarta dan Masjid Al-Akbar Surabaya. Ada bagian-bagian seperti imaroh, idaroh, dan riayah.
“Imaroh itu tentang kemakmuran masjid, idaroh pekantoran, riayah itu fasilitas-fasilitas. Ada beberapa anggota imam, saya salah satunya,” ujar KH. Ibrahim Asyfari, Pengasuh PPTQ Masjid Agung Surakarta.
Bagian imaroh atau kemakmuran masjid, ada banyak kajian mingguan maupun bulanan. Kajian yang ada di masjid ini, selain mengkaji tafsir al-qur’an, ada juga fikih. Fikih yang digunakan adalah menggunakan kitab-kitab fikih Syafiiyah atau mengacu pada madzhab Syafii, mayoritas yang dipakai di Indonesia. Begitu juga soal ‘ubudiyyah (peribadatan) mengacu pada Imam Syafii. “Yang dari UEA pernah singgah ke sini, mereka menyesuaikan dengan mazhab Syafii, walaupun di sana mayoritas menggunakan madzhab Maliki.”tambahnya.
Tidak hanya pada sisi bangunan atau fisiknya. Kegiatan-kegiatan yang ada di masjid ini juga dipadankan dengan tradisi atau peribadatan di negara UEA.
“Seperti disaat bulan suci Ramadan, pada saat salat tarawih dan witir, bilangannya mengambil 23 rakaat, lalu di UEA, doa qunut dibaca sejak hari pertama, sementara di masyarakat Indonesia doa qunut dibaca pada tanggal 16 Ramadan ke atas. Lalu kita tampung. Terus setiap khutbah Jumat, sejak awal full bahasa arab, menjadi kekhasan, namun bilal dan wirid atau zikirnya menggunakan khas Indonesia,” ujar Bagus Sigit Setiawan.
Kelenteruan dalam beragama, menyesuaikan dengan kondisi lokal, bersikap terbuka, moderat, toleran, menjadi visi misi dari keberadaan masjid ini. Selain tempat ibadah, masjid ini menjadi ikon wisata, yang apapun agamanya boleh berkunjung ke masjid ini. Bahkan sejak diresmikannya pada 14 November 2022, pengurus masjid mengundang dari perwakilan tokoh lintas agama; Hindu, Buddha, Kristen, dan lain sebagainya untuk ikut serta meresmikan.
Tercatat, masjid ini kemudian secara pengelolaan diserahkan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia. “Dihibahkan kepada Kemenag, asetnya milik Kemenag, dan dikelola oleh Kemenag. Dalam sambutan disaat peresmian, Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI menyatakan, bahwa Masjid Sheikh Zayed ini menjadi masjid pelopor moderasi beragama.
Karenanya, kegiatan-kegiatan yang ada di masjid banyak mendukung penguatan moderasi, mempromosikan budaya dan nilai yang luhur yang ada di Indonesia, serta keteladanan dari Sheikh Zayed untuk masyarakat Indonesia. Dalam wawancara dengan Dr. Munajat, Direktur Masjid, ada dua hal besar yang menjadi visi misi dari masjid ini. Yang itu diserap dari keteladanan Sheikh Zayed. Pertama adalah menjadi pioner budaya islam yang toleran. Kedua mempromosikan dialog lintas budaya.
Misinya satu kita ingin menyebarkan legasi dari Sheikh Zayed, ayah dari Presiden Mohammad bin Zayed. Beliau ingin menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan dan lintas budaya, bagaimana dia memelihara di kawasan lintas Uni Emirate Arab untuk menyambut masa depan. Dia bisa mengubah wajah padang pasir dengan teknologi canggih, kota-kota modern.
Kedua, ingin menyebarkan islam wasathiyyah, moderasi. Sebagaimana misinya Kementrian Agama RI. Menjadi masjid pelopor moderasi beragama. Mengajak masyarakat islam sinergi dengan nilai-nilai Sheikh Zayed.