Salah satu tokoh muslim modern yang membahas masalah peradaban adalah Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani (1839-1897). Beliau adalah seorang pembaru Islam yang sekaligus politisi, guru, dan penulis.
Sejarah awal kehidupannya agak kabur. Keddie mengatakan bahwa dia lahir di Iran dan berasal dari keluarga Syiah. Namun kebanyakan penulis muslim menyebutnya Sunni.
Dia hidup berpindah-pindah Iran, Afghanistan, India, Turki, Mesir, Perancis, Rusia, dan akhir hidupnya dihabiskan di Turki sebagai tahanan rumah Imperium Usmani. Pemikirannya memengaruhi baik muslim reformis maupun radikal.
Kita mengenalnya al-Afghani adalah mentor Syaikh Muhammad Abduh, seorang alim reformis Mesir, guru dari Syaikh Muhammad Rasyid Rida. Gagasan al-Afghani menarik bagi para reformis karena dia menghormati kebaikan sains Barat, walau dia sangat anti-penjajahan Eropa.
Al-Afghani dipandang sebagai penggagas modernisme Islam karena dia menekankan kemajuan peradaban memerlukan asimilasi yang kritis terhadap model-model Eropa. Dia mengapresiasi ilmu pengetahuan dan peradaban Barat.
Namun dia juga berpendapat bahwa rasionalisme dan sains dalam konteks masyarakat Islam bukanlah impor dari Barat, tetapi keduanya adalah elemen-elemen tradisional dari budaya Islam sendiri. Dunia modern adalah tempat bagi ilmu, kuasa militer, pembangunan ekonomi Eropa yang telah merusak kemandirian politik dan mengancam identitas kultural dunia Islam.
Al-Afghani, menurut saya, menggagas apa yang para sarjana saat ini menyebutnya sebagai “multiple modernities”. Modernitas itu bukan hanya tunggal, yakni model Barat; tapi ada modernitas lain model Islam, dan model lainnya.
Pandangannya tentang peradaban terefleksikan dengan baik dalam dua esainya “Ar-Radd ‘ala ad-dahriyyin” (Bantahan terhadap kaum Materialis)–selanjutnya “Bantahan”–dan “Jawaban terhadap Renan”–selanjutnya “Jawaban”. Saya hanya membatasi penggunaan dua sumber ini. Di sini saya menggunakan edisi terjemahnya dalam bahasa Inggris Jamal al-Din Al-Afghani, An Islamic Response to Imperialism , terj. Nikki R. Keddie (Berkeley: University of California Press, 1968), 175-187.
***
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terpilah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa kemajuan peradaban Islam dapat diperoleh kembali melalui pengadopsian praktik-praktik Barat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, rasonalitas, pemikiran kritis dan kemajuan material.
Kedua, mereka yang menolak peradaban Barat secara total dan mempromosikan penerapan praktik-praktik keagamaan yang ketat, baik dalam hukum negara maupun pendidikan. Al-Afghani tidak mau terjebak dalam keduanya.
Dia adalah tokoh yang menekankan fungsi sosial ortodoksi keagamaan Islam dan pada saat yang sama mempertahankan rasionalisme dan pemikiran kritis serta mengadopsi aspek-aspek penting kemajuan Barat, sembari menentang imperialismenya. Konsepnya tentang peradaban mencerminkan pengaruh sumber-sumber Islam dan Eropa.
Al-Afghani menekankan kesesuaian Islam dan modernitas, tetapi bukan berarti mengekor kepada Barat. Artinya modernitas bukan dalam pengertian Eropa, karena menurutnya misi “pemberadaban” Eropa bersifat eksploitatif dan barbarik. Dia menginginkan modernitas yang Islami.
Sejak awal tampaknya al-Afghani menyadari potensi ganda agama, termasuk Islam, dalam melahirkan kebaikan dan peradaban dunia pada satu sisi, dan melahirkan perpecahan dan intoleransi pada sisi lain. Pemikiran yang tampak paradoks ini menjadi perbincangan banyak ahli (seperti, di antaranya, Kedourie 1966; Kiddie 1966, 1972, 1983; Hohn 2009). Tapi berbagai macam aksi terorisme akhir-akhir ini membenarkan pendapatnya itu. Tentu al-Afghani ingin mendorong potensi pertama dari agama itu, dan untuk itulah dia mengabdikan hidupnya.
Dalam “Bantahan”, al-Afghani memulai dengan pendapat yang Hobbesian tentang konflik yang endemik dan menjelaskan mengapa agama merupakan metode terbaik untuk menciptakan keteraturan sosial. Argumen utamanya adalah bahwa agama menyediakan kondisi bagi perkembangan peradaban dan kebaikan manusia secara umum. Kekuasaan sekular tidak memadai karena ia tidak mempunyai mekanisme untuk meyakinkan bahwa penguasa dan rakyat mengikuti hukum. Baginya Islam adalah sumber kesatuan, identitas, dan mobilisasi melawan penjajah.
Dalam konsepnya tentang “peradaban Islam” al-Afghani mempertahankan baik empirisisme (ilmu Barat) dan rasionalisme karena menurutnya keduanya penting untuk pengembangan peradaban Islam. Ilmu empirik diperlukan untuk mengembangkan teknologi militer dan teknologi material lainnya agar dapat mengimbangi Barat.
Tapi, menurutnya, kemakmuran dan teknologi penting hanya untuk sarana menuju tujuan, yakni ilmu dan hikmah (wisdom). Akal adalah anugerah Allah untuk manusia, yang harus dimanfaatkan secara hati-hati untuk mengembangkan diri dan dunia. Al-Afghani mengakui, dalam “Jawaban”, bahwa agama seringkali menolak ilmu dan akal. Namun, dia tetap membela agama karena agama dapat memberikan kontribusi untuk kemajuan peradaban.
Apa kontribusi agama dalam peradaban? Dalam “Bantahan”, Afghani menjelaskan kegunaan sosial dan politik dari agama, yang didefinisikannya sebagai sistem hukum dan praktik yang didasarkan atas keimanan pada Tuhan yang transenden. Al-Afghani berargumen bahwa materialisme adalah sumber dari kerusakan yang menyebabkan kekacauan masyarakat.
Menurutnya, konsekuensi logis dari materialisme adalah penolakan terhadap keberadaan Tuhan yang transenden. Dengan demikian materialisme melemahkan keyakinan masyarakat terhadap agama. Padahal, menurutnya, di sini agama niscaya untuk penanaman moral, menjamin stabilitas politik, dan mendorong perkembangan peradaban. Jika agama lemah, maka hal ini tidak dapat dilakukan dengan baik.
Arti penting agama bagi peradaban itu dijelaskan juga dalam “Jawaban”, saat dia mengatakan: “Tidak ada yang dapat menolak bahwa dengan pendidikan keagamaan ini, baik itu muslim, Kristen, atau pagan, semua bangsa keluar dari barbarisme dan beranjak menuju peradaban yang lebih maju.” Agama–apa saja–menurutnya mampu mengeluarkan manusia dari kemunduran dan membuat mereka mempunyai peradaban yang maju. Dalam konteks perjuangannya, tentu saja, agama itu adalah Islam. Agama-agama profetik, termasuk Islam, menurutnya memberadabkan masyarakat barbar dengan mengajarkan kemampuan “proto-filosofis” seperti kontrol-diri dan pemikiran abstrak. Nabi Muhammad saw tidak hanya memperkenalkan seperangkat kebenaran abadi namun juga melahirkan peradaban Islam yang progresif.
Dalam “Bantahan”, Al-Afghani lebih lanjut mengklaim bahwa agama niscaya dalam peradaban karena ia memproduksi tiga kualitas yang penting bagi kebaikan bersama (common good), yakni malu, amanah, dan kejujuran. Tiga konsep akhlak ini tidak dia bahas secara teologis, tetapi sosiologis. Malu menurutnya lebih penting daripada “1000 hukum” untuk mempertahankan keteraturan masyarakat. Malu adalah perilaku yang menyatukan masyarakat. Dia mengatakan:
“Kualitas (malu) ini adalah ikatan alians manusia, asosiasi, dan masyarakat, karena sebuah aliansi di dalam sebuah kelompok terjadi hanya jika peraturan dipertahankan, dan pemertahanan peraturan tidak dapat dicapai kecuali dengan karakter mulia ini.”
Kejujuran dia kaitkan dengan upaya mencegah bencana dalam masyarakat, yakni dengan mendasarkan diri pada dan bantuan orang lain. Nah, untuk itu diperlukan kejujuran, yang dari kejujuran itu akan muncul solidaritas. Masyarakat bisa tertimpa hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kelaparan, bencana alam, penyakit menula, dan sebagainya. Di situ manusia perlu bantuan dan solidaritas sesamanya, yang itu dibangun di atas prinsip kejujuran.
Diskusi tentang amanah bersentuhan dengan aspek politik. Pemerintah adalah niscaya untuk memastikan warganegara terlindungi dengan baik. Oleh karena itu pemerintah harus menegakkan hukum, menarik pajak untuk mendanai proyek-projek kebaikan bersama dan membayar gaji pegawai pemerintah. Di situ dituntut amanah agar tidak terjadi penyimpangan.
***
Pada sisi yang lain, agama juga melahirkan apa yang disebut al-Afghani sebagai “kebanggaan sektarian”. Tapi, berbeda dari kebanyakan pandangan orang, “kebanggaan sektarian” menurutnya adalah sisi positif agama. Dia mengangap bahwa kebanggaan komunal itu memotivasi manusia untuk mencari tingkatan yang paling tinggi (excellence) dan karenanya hal ini akan mendorong kemajuan peradaban. Argumennya adalah bahwa orang yang percaya pada superioritas kelompoknya akan masuk dalam rivalitas dan kompetisi dengan komunitas lainnya. Mereka akan “berkompetisi dalam bidang kebaikan”, dan akan meraih superioritas di atas semua komunitas lain dalam semua kebaikan kemanusiaan, baik itu bersifat intelektual, spiritual, maupun material (Kohn, 2009).
Banyak ahli melihat itu sebagai paradok. Namun, saya kira hal itu harus dipahami dalam konteks teori Ibn Khaldun tentang ashabiyyah dan ajaran al-Qur’an tentang “kompetisi kebaikan” (fastabiqu l-khairat). Ashabiyyah adalah “kesadaran dan perasaan sekelompok” yang merupakan perekat solidaritas kelompok yang akan menguatkan sebuah komunitas dan membuatnya maju. Masyakarat nomaden dengan ashabiyah yang kuat dapat berkembang menjadi masyarakat kota, dan bahkan mengambil alih kota yang ashabiyahnya menipis atau hilang. Tapi saat ashabiyah itu hilang, komunitas itu juga akan jatuh. Ini juga hukum jatuh-bangunnya peradaban, tak terkecuali peradaban Islam. “Kebanggaan sektarian” itulah ashabiyah itu, yang menurutnya justru tidak boleh hilang dari umat beragama. Sedangan etika al-Qur’annya, yang tidak boleh terpisah, adalah bahwa kompetisi itu adalah kompetisi dalam bidang kebaikan kemanusiaan untuk meningkatkan kemajuan intelektual, spiritual dan material mereka. Dalam konteks ini, masing-masing kelompok yang berkompetisi akan sama-sama berproses menjadi semakin baik secara intelektual, spiritual, dan material.
Agama apa saja mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pendorong peradaban. Oleh karena itu, dalam “Bantahan”, al-Afghani mengatakan:
“Di atas semuanya agama akan menjadi sebab bagi kemajuan material dan moral. Ia akan menaikkan bendera peradaban di kalangan penganutnya.”
Oleh karena itu, dia juga mendukung pandangan Guizot bahwa reformasi Protestan memainkan peran penting dalam memajukan peradaban Eropa. Namun dia memimpikan bahwa hal yang sama terjadi di negeri-negeri muslim, agama memainkan peran penting dalam memajukan peradaban Islam, bukan malah sebaliknya.