Sedang Membaca
Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (6): Visi Ideologis Bonjol Hari Ini 

Peminat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta

Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (6): Visi Ideologis Bonjol Hari Ini 

Makam Imam Bonjol Di Pinelang, Minahasa

Mengunjungi Museum Imam Bonjol, sambil membayangkan makamnya yang jauh di Pinelang, Minahasa, saya lalu berniat mampir di Benteng Bukit Tajadi. Saya bertanya sampai empat kali kepada penduduk di mana lokasi benteng tersebut berada, tapi tak satu pun jawaban memuaskan. Seorang ibu muda berkebaya yang tampaknya mau pergi ke tempat orang berhelat, saya cegat. Saya tanyakan jalan ke Bukit Tajadi. Tapi ia menjawab masa bodoh, sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang bercelak.

Pada seorang bapak tukang kayu, saya bertanya lagi. Ia malah balik bertanya, kok ndak bawa rantang makanan? Menurutnya, di sana enak buat makan-makan. Dua orang lagi yang saya tanyai menunjukkan arah, tapi karena banyak simpang tanpa sekedar papan penunjuk nama, saya menyerah.

Jawaban dan kenyataan tersebut bernasib sama dengan nama bukit yang bias. Ada menyebut Bukit Tajadi, sebagian menyebut Bukit Tak Jadi. Dalam bahasa Minangkabau, “tajadi” berarti “terjadi”, tapi ketika disebut “Tak Jadi”, maknanya tentu bertolak belakang. Mana yang benar? Bukit Terjadi atau Bukit Tak Jadi? Bukit tempat terjadinya peristiwa penting, atau bukit dengan peristiwanya seakan tak jadi penting?

Jauh-jauh hari sebelum ke Bonjol sebenarnya saya sudah kontak-kontakan dengan seorang pegiat literasi Bonjol, Arbi Tanjung. Ia mendirikan pondok baca Ladang Raso dan termasuk aktif berkegiatan. Kami sudah berjanji akan bertemu, dan jika memungkinkan mengadakan diskusi kecil dengan anggota komunitasnya. Tapi sayangnya, sejak di Sidempuan kontak dengan Arbi terputus. WA dan inbox yang saya kirim padanya tak berbalas. Saya menganggap mungkin ia sedang punya kesibukan lain. Barulah ketika saya sudah berada di luar Bonjol, tepatnya di Sipisang, kami kembali terhubung. Ia sebut kartunya eror. Tapi saya memutuskan tak balik lagi.

Ini memang hal-hal teknis yang sederhana. Tapi siapa nyana, kita bisa membaca sejumlah isyarat dari sana. Apakah orang-orang Bonjol sudah lupa atau sengaja melupakan Bukit Tajadi karena trauma? Lagi pula, tak satu pun papan penunjuk arah dibuat pihak desa atau balai arkeologi. Sementara jalan kampung yang saya lalui punya begitu banyak persimpangan! Apakah pula literasi tidak termasuk upaya memperlancar komunikasi?

Tak mau tersesat dalam labirin, saya harus puas menyaksikan deretan perbukitan itu dari kejauhan. Kabarnya di puncak Bukit Tajadi terdapat sebuah monumen bertuliskan pernyataan Tuanku Imam Bonjol. “Melawan kolonial Belanda bukan masalah bagiku, namun untuk mempersatukan masyarakat Bonjol terluka hatiku karenanya.”

Baca juga:  Nietzsche, Islam, dan Bias Orientalisme: Tanggapan terhadap Ahsan Rasyid

Apa gerangan yang terjadi? Kenapa hati sang imam sampai terluka? Apakah karena Bonjol “diduduki” pengikut Imam Bonjol yang datang dari luar, bukan dukungan langsung masyarakat lokal? Atau lanskap sosial-politik Lembah Alahan Panjang yang unik dan kuat, tidak serta-merta membuat mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Peto Syarif?

Sejumlah lembah subur Minangkabau memiliki sistem kepemimpinan sendiri semacam kekuasaan supra-desa yang terdiri dari empat kelompok. Masing-masing kelompok memiliki raja, dikenal sebagai Raja Empat Sila (Dobbin, 258). Lembah Alahan Panjang tempat Bonjol terletak juga demikian. Kehadiran kelompok lain seperti kaum Padri, tidak membuat raja setempat ciut nyali. Terbukti, Peto Syarif dan anak buahnya pada awalnya sering dilawan berkelahi oleh warga setempat. Jika pun kemudian penduduk Lembah Alahan Panjang memberontak kepada Belanda, itu bukan di bawah komando Imam Bonjol. Justru mereka memanfaatkan situasi blokade Bukit Tajadi.

Ketimbang tunduk, pemberontakan warga meluas setelah Imam Bonjol ditangkap dan unsur Padri dianggap takluk. Residen Elout terpaksa menulis surat kepada Gubernur Jendral Van den Bosch,”Bahwa apa yang dulu hanya kemungkinan, setelah kita berhasil menghancurkan kekuatan Padri mungkin semua kekuatan penduduk asli akan bergabung melawan orang-orang Eropa, sekarang telah menjadi kenyataan” (ibid, 305)

Tarik-ulur hubungan penduduk Lembah Alahan Panjang dengan Bonjol, dapat dimengerti. Contoh lebih dekat bisa kita lihat dari peristiwa PRRI/Permesta, 1958, ketika Sumatera Barat dan Sulawesi Utara mengadakan perlawanan bersenjata atas dominasi Jakarta. Tapi perlawanan itu tidak semuanya didukung “orang dalam”. Sebagian masyarakat dan sejumlah petinggi militer/sipil Sumatera Tengah menarik dukungan. Sebagian bekerjasama dengan “tentara pusat” yang dikirim Soekarno. Misalnya Kaharudin Datuk Rangkayo Basa yang saat itu menjadi gubernur Sumatera Tengah.

Begitulah, sebuah tempat, sebuah kota, memiliki sifat-sifatnya sendiri yang kompleks. Sekalipun di sana lahir sejumlah tokoh atau gerakan, selalu ada oposan yang berbeda pilihan. Hal itu besar hikmahnya. Tanpa harus berkecil hati, barangkali ini yang justru menyelamatkan kita dari badai besar primordial. Sejumlah tokoh, meski lahir dan berasal dari kota yang sama, bisa saja bersilang-pendapat bahkan melebihi kerasnya dengan orang-orang lain daerah. Kenapa bisa terjadi? Tentu saja kepentingan, misalnya kepentingan politik dan kekuasaan. Tapi yang lebih tinggi dari itu semua adalah visi bersama, katakanlah visi ideologis.

Baca juga:  Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (2): Belajar di Rumah Aja

Kita lihat betapa sengitnya Hatta vs Tan Malaka dalam merumuskan konsep republik, belakangan dengan Syahrir, meski mereka berasal dari “alam” yang sama. Hatta justru bergandeng tangan dengan saudara dari Jawa atau Sulawesi. Begitu pula Tan Malaka dan para pendukungnya, mereka terikat ideologi yang sama. Bukan daerah asal, etnik atau agama—meski di irisan yang lain unsur-unsur ini juga menyatukan. Dalam konteks tulisan ini, saya melihat ideologilah yang dapat memecah hubungan primordial. Meski dalam proses selanjutnya, jika ideologi mengeras, primordial dalam bentuk lain akan timbul juga. Jika ini dibiarkan, semua akan primordial juga pada akhirnya; karena itu perlu pengelolaan yang baik.

Kata Amin Maalouf, identitas tersusun atas sejumlah pertalian. Tapi identitas juga tunggal dalam arti sesuatu yang kita alami untuk sepenuhnya. Identitas bukanlah assembling yang terpisah-pisah, bukan pula semacam jalinan lepas kain perca; identitas ibarat sebuah pola di perkamen yang dibentang kuat-kuat. Satu bagian pertalian saja tersentil, seluruh tambur akan berdentum (Maalouf, 2004: 26).

Dalam praktek politik kontemporer kita, terlepas dari motif atau skenarionya, kita lihat SBY “pecah kongsi” dengan Anas Urbaningrum, meskipun mereka berasal dari kota yang bertetangga di Jawa Timur, Pacitan dan Blitar. “Ideologi” partai dan “atas nama bangsa dan negara” lebih menyentil tambur identitas ketimbang daerah asal. Ingat pula betapa sarkasnya ungkapan Andi Malaranggeng bahwa “Belum saatnya orang Sulawesi jadi presiden.” Ia menyasar Jusuf Kalla, orang Sulawesi Selatan, yang maju sebagai Capres menghadapi SBY dan Megawati dalam Pemilu 2009. Andi sendiri orang Sulawesi Selatan.

Dalam Pemilu 2014, warga Sumbar banyak tak memilih Jokowi-JK. Sekalipun JK merupakan sumando (suami kemenakan) orang Minang yang selalu bergerak cepat saat “urang awak” butuh bantuan, termasuk saat Istana Pagaruyung ludes terbakar. Sikap tak memilih sumando sendiri dapat diasumsikan demi kepentingan lebih besar, melebihi urusan keluarga besar. Pemilu 2019 lebih ramai. Duo wong Solo saling berseberangan: Amien Rais dan Jokowi. Pasti juga atas nama bangsa. Sementara itu, Faizal Assegaf mengkritik keras Anies Baswedan meski ia menyadari “kita keturunan Arab”. Sebelumnya, Kwik Kwan Gie buka suara soal Ahok; mengalahkan sekat etnisitas. Gus Dur pernah ramai dengan Muhaimin, masih kerabatnya. Dan begitu seterusnya tambur itu berdentuman.

Baca juga:  Cara Ulama Memanfaatkan Waktu

Itu semua sehat dan menyehatkan. Dinamika dan dialektika yang membuat kita kuat. Tentu saja dengan catatan kepentingan itu atas nama apa dan siapa. Apakah hanya merujuk segolongan atau benar-benar kepentingan orang banyak? Apakah hanya misi sesaat atau menyangkut visi dan ideologi yang lebih besar? Dalam konteks kekinian jawabannya bisa jadi: visi kebangsaan.

Di Bonjol, jawaban demi jawaban sedikit-banyak saya dapatkan. Tentu ia akan terus berproses. Tapi setidaknya, paradoks dalam diri saya mulai mencair. Mengalir seperti arus sungai Alahan Panjang membelah lembah yang tak bosan mata memandang. Perlahan saya buka buku puisi yang saya bawa, Api Bawah Tanah (2013). Pada satu halamannya pernah saya tulis sajak ziarah ke Pinelang. Izinkan saya salinkan puisi ini sebagai penutup:

Di Makam Imam Bonjol

Assalamu’alaikum, ya, syarif tua! aku datang

Menjengukmu dengan hati iba ibarat anak dagang

Berkayuh sekeping papan. jauh sekali tempat

Engkau berbaring tapi bertahun jarak

Yang memisahkan kita tak terasa

Sedekat jarak kain dan kafan

Mendekap roh dan badan

Ingin kuukur jubahmu, dari tumit ke sorban

Tidak besar tapi membungkus keberanian

Persis buntalan anak dagang yang bersiap pergi

Membawa peruntungan, di tiap tikungan

Engkau menghadang siapa pun

Yang bersekutu dengan apa pun yang bisa dipersekutukan

Sedang engkau hanya bersekutu dengan tuhan

 

Benarkah ada tanah buangan? bagi mereka yang mengira

Dapat menerabas angin dan fajar, memutus air dan api

Setiap pelosok ujung bumi mereka namai tanah pengasingan

Dengan kapal-kapal oleng mereka kirim para pesakitan

Terlunta dan kejam. tapi tahu apa mereka tentang fajar?

Fajar mengandung angin pagi, air dan lidah api, menyepuh satu bumi

Tempat lahir dan mati

 

Maka engkau, syarif peto, tak merasa asing terbuang

Dari tanjungbungo ke pinelang, saudara jua yang kaujelang

Engkau perantau sebagaimana semua orang perantau

Di bumi jalang. maka sebagai sesama perantau

Perkenankan kusentuh nisanmu dan kucium batu sembahyangmu

Dengan rida hati si anak dagang, entah kapan akan pulang!

 

Manado-Yogyakarta, 2009-2011

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top