Dalam satu kesempatan ceramahnya di Kabupaten Sumenep, Madura, Gus Dur menerangkan betapa hebatnya gerakan Islam atau dakwah secara kultural. Gus Dur menyebut masyarakat yang berselawat, tahlilan dan semacamnya itu cara-cara Islam kultural berkembang. Sebaliknya, Gus Dur mewanti-wanti umat Islam tidak mengagung-agungkan agama secara institusi atau lembaga.
“Contohnya yang mementingkan lembaga itu dulu Pak Harto. Pak Harto tahun 1990 itu menganakemaskan, dianggap hebat, mengistimewakan apa yang dinamakan ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Itu kan lembaga, ikatan. Nah sedangkan waktu itu kita di Nahdlatul Ulama diam saja,” kata Gus Dur dalam ceramah umum di Sumenep sekitar tahun 2003 atau 2004.
“Pak Habibie datang cari saya ya.. Pak Dur, saya minta Anda jadi ketua dewan pakar ICMI,” kata Gus Dur menirukan Habibie.
“Saya bilang yang lain sajalah Pak, saya jangan diganggu. Saya tolak,” begitu Gus Dur percerita.
Gus Dur beralasan bahwa dirinya mementingkan cara berislam dengan budaya, seperti marhabanan, tahlilan, baca Al-Qur’an, halal bihalal. “Semua itu termasuk budaya, termasuk juga menghormati ulama dan habaib,” ucar Gus Dur.
Lembaga ICMI, kata Gus Dur, didukung pemerintah habis-habisan. (Sementara) NU warganya dibiarkan seperti itu. “Nyatanya sekarang ICMI-nya kelenger, NU-nya tetap segeeer,” ujar Gus Dur bangga. Mendengar itu jemaah pengajian bertepuk tangan.
Dalam banyak kesempatan Gus Dur sering meledek begini: “Gimana sih, cendekiawan kok mau diikat-ikat?” Banyak para intelektual, pakar, dan budayawan marah mendengar kritikan Gus Dur ini, konon termasuk Emha Ainun Najib yang memang sempat masuk ICMI, tapi kemudia keluar.
Kita tahu ICMI dilahirkan oleh rahim penguasa Orde Baru. ICMI lahir bersama-sama dengan institusi-institusi keislaman seperti Bank Muamalat. Bahkan saat itu, kebinet Soeharto dijuluki kabinet “ijo royo-royo”, karena banyak mengakomodir golongan Islam kota atau Islam modernis. Jangan lupa juga juga, tahun-tahun itu, tepatnya 1991, Soeharto dan keluarganya naik haji dan namanya berubah menjadi HM. Soeharto. Para pengamat menilai, rezim Orde Baru ingin kekuasaannya tetap kuat dan bertahan, salah satunya dengan merangkul kelompok Islam modern atau Islam kota.