Saat penulis belajar Metodologi Hukum Islam (usul fikih), tepatnya pada semester enam. Penulis merasa terkesima dengan penjelasan dosen yang begitu memakau. Beliau menerangkan bahwa pencetus ilmu ini, yaitu Imam Syafi’i dengan karyanya yang berjudul ar-Risalah pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Imam apa hukuman jika membunuh orang?”
Sang Imam pun menjawab bahwa membunuh orang adalah perbuatan haram yang dilarang agama, yang pelakunya tidak dimaafkan dan akan dimasukan kedalam neraka.
Beberapa hari kemudian ada orang yang bertanya lagi kepada Imam Syafi’i tentang pertanyaan yang sama. Kemudian Imam Syafi’i menjawab bahwa membunuh adalah perbuatan dosa, akan tetapi pelakunya bisa mendapatkan ampunan tuhan apabila bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Murid Imam Syafi’i pun terheran-heran dengan gurunya ini, bagaimana mungkin pertanyaan yang sama dijawab dengan dua jawabanya berbeda. Yang satu pelakukanya tidak akan dimaafkan dan dimasukan kedalam neraka sedangkan yang satunya bisa mendapatkan ampunan.
Kemudian Imam Syafi’i menjawab, “Wahai muridku taukah engkau bahwa orang pertama yang menanyakan ini sedang menaruh dendam dan ingin melakukan pembunuhan. Makanya saya jawab dengan tegas bahwa pelaku pembunuhan tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan dalam neraka. Dengan jawaban ini semoga orang itu tidak akan melakukan pembunuhan.”
Sedangkan orang kedua yang menanyakan ini adalah orang yang pernah membunuh orang, sehingga saya jawab bahwasanya pelaku pembunuhan akan tetap mendapatkan ampunan asalkan mau bertaubat dengan sungguh-sungguh. Semoga dengan jawaban ini dia mau bertaubat dan mengerti bahwasanya ampunan Allah itu maha luas.
Kemudian Muridnya bertanya lagi, Wahai guru dari mana engkau bisa mengetahui hal itu, maka Imam Syafi’i menjawab saya melihat dari sorot matanya.
Ternyata dalam memberikan fatwa ini, Imam Syafi’i tidak hanya menggunakan pendekatan ilmu fikih saja akan tetapi juga menggunakan Ilmu firasat, yaitu suatu ilmu yang digunakan untuk membaca kharakter seseorang dengan melihat anggota tubuhnya.
Walaupun cerita mengenai ilmu firasat ini mashyur akan tetapi Imam Syafi’i tidak membukunya dalam sebuah buku. Imam Syafi’i hanya membukukan ilmu yang berkaitan dengan agama saja, seperti kitab al-Um dan ar-risalah.
Sedangkan ulama yang membukukan ilmu firasat ini adalah Imam ar-Razi dalam dalam kitabnya yang berjudul “Al-Firasat Daliluka Ila Makrifatil Ahlakinnas”. Dalam dunia modern ilmu firasat dinamakan dengan ilmu Fisiognomi.
Yang lebih menarik adalah ada naskah nusantara yang mencatat secara apik mengenai ilmu firasat Imam Syafi’i ini. Penulis menemukan ada dua naskah yang merekam ilmu firasat Imam Syafi’i ini. Naskah pertama dengan judul “Wirasat Sapi’i” dan naskah kedua berjudul “Pirasating Sujalma Miwah Katurangganing Wanita”.
Naskah pertama ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional, dengan nomor panggil Br 8. Naskah ini menggunakan bahasa Jawa dan beraksara Arab-Pegon. Dalam naskah ini bisa kita temukan ilmu firasat Imam Syafi’i untuk mengetahui kharakter seseorang, baik itu perempuan ataupun pria.
Naskah ini memberikan informasi yang cukup detil mengenai kharakter seseorang dilihat dari wajahnya. Ada delapan Aspek dalam wajah yang perlu dicermati untuk bisa menilai kharakter seseorang yaitu bentuk kepala, rambut, dahi, alis, telinga, mata, hidung dan bibir. Setiap bentuk dari delapan aspek ini akan menunjukan kharakter yang berbeda.
Agar lebih mudah penulis sajikan salah satu aspek dari delapan wajah tersebut, yaitu aspek hidung.
- Hidung panjang menunjukan bahwa seseorang tersebut memiliki watak yang tidak karuan (irung kang pinur cita, wong kadewan irung, tanda budine belasar)
- Hidung tebal menunjukan bahwa orang tersebut bintar bercerita dan memainkan retorika kata-kata (irung kandel ing antara kang ireki tandane sugih cerita)
- Hidung lebar menandakan bahwa orang tersebut suka khawatir (irung jembar lang-langan nireki)
- Hidung agak menjorok kedalam menunjukan bahwa orang tersebut senang dalam syahwat (irung kalungsur asing ing sahwat)
- Hidung yang lebar ujungnya (mancung) menunjukan bahwa orang tersebut suka berbohong (irung kang jembar pucuke, iku tanda gadebus.
- Hidung yang berukuran sedang menunjukan orang tersebut memiliki perilaku yang baik (irung sedeng pertanda becik)
Sedangkan naskah kedua merupakan koleksi dari Perpustakaan Museum Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta dengan nomor panggil MTS.DKG.Bb.1073. Naskah ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Krama dan dengan menggunakan aksara Jawa.
Dalam naskah ini diceritakan banyak kisah tentang Imam Syafi’i dalam menerapkan ilmu firasatnya. Di antaranya Imam Syafi’i bisa menjelaskan dua anak dari seorang perempuan, bahwa anak perempuan tersebut yang satu adalah hasil pernikahan yang sah dan yang satunya adalah sebab zina. Dalam naskah ini juga diceritakan ketika Imam Syafi’i sempat merasa bimbang karena ilmu firasat yang dimiliki meleset untuk mengetahui kharakter seseorang akan tetapi pada akhirnya memang benar bahwa Ilmu firasat Imam Syafi’i itu tepat.
Menurut hemat penulis bahwa ilmu firasat itu berasal dari ilmu titen atau ilmu pengamatan dengan menggunakan landasan kaidah fikih al-Adah muhakkamah (Adat bisa dijadikan hukum). Artinya ilmu ini telah diterapkan kepada banyak orang sehingga muncul suatu kesimpulan atau adat bahwa orang yang memiliki hidung panjang akan memiliki kharakter ini dan yang memiliki hidung pendek akan memiliki kharakter itu.
Dalam naskah ini diterangkan bahwa untuk mengetahui kharakter seseorang harus diperhatikan 18 aspek, berbeda dengan naskah pertama yang hanya menyebutkan delapan aspek saja. Kedelapan belas aspek ini adalah dimulai dari bentuk kepala, rambut, bulu, dahi, alis, telinga, mata, hidung, bibir, gigi, dagu, suara, jenggot, leher, bahu, dada, perut, serta betis.
Hal ini menunjukan bahwa naskah kedua memberikan informasi yang lebih komprhensif dalam menerangkan ilmu firasat daripada naskah yang pertama. Dalam naskah kedua ini juga ditambah ilmu firasat untuk mengetahui kharakter seorang perempuan.
Bahkan bisa dikatakan naskah ini cukup informatif dalam mengabarkan kharakter kaum Hawa ini, tentu saja ya, informasi ini dari sudut pandang laki-laki yang bisa dinilai amat misoginis (Imam Syafi’i laki-laki bukan?). Hal ini karena naskah ini menyajikan lebih dari tiga puluh aspek untuk mengetahui kharakter perempuan.
Sebagaimana contoh naskah ini menuliskan:
“Yen kuning pawakanipun, akas rema tur apanjang, ing pucuk lemes tur dadi, dhasar aking sakunira, punika estri kinaot, abener pangucap ira, iku wong estri srepen, ing candranipun pinunjul, ingaran retna kencana”
Terjemahan
“Kalau kuning badanya, rambut panjang dan lurus serta dipucuknya lembut dan pekat, kakinya kurus kecil itu istri yang baik yang diucapkan selalu berupa pengetahuan yang benar memiliki kelebihan yang disebut mutiara kencana.
Dalam halaman 30 naskah ini juga menerangkan bahwa perempuan yang mempunyai kulit putih banyak bicaranya serta memiliki rambut lurus dan panjang menunjukan bahwa kharakter perempuan yang banyak mendatangkan kenikmatan, banyak dikeberkahi tuhan serta khusuk dalam beragama.
Dan masih banyak aspek-aspek lainnya dalam naskah ini yang menggambarkan secara jelas kharakter perempuan. Bahkan dalam salah satu kitab yang berjudul “Fathul Izar”, wajah perempuan pun juga menunjukan bagaimana organ intimnya. Dalam kitab tersebut ditulisakan:
“Para ahli firasat berkata bila mulut seorang wanita lebar maka besar pula organ intimnya. Bila mulutnya kecil begitupun juga dengan organ intimnya. Bila kedua bibir wanita tebal maka tebal pula bibir organ intimnya.”
Dalam budaya patriarkis-misogonis, cukuplah laki-laki dengan bermodal ilmu ini untuk memilih perempuan yang mau dijadikan istrinya. Tapi apakah ilmu ini masih masuk akal sekarang? Apakah ilmu ini menghormati hak-hak perempuan untuk menerima atau menolak laki-laki, bahkan menolak “kodrat” perempuan menjadi istri seperti Rabiah al-Adawiyah?