Suhu politik jelang Pilpres 2024 yang digelar beberapa bulan lagi kian memanas. Aroma politik kepentingan sesaat semakin dirasakan masyarakat. Janji-janji politik di luar nalar kemanusiaan yang dipromosikan menyeruak di benak masyarakat kita. Tragisnya, etika politik semakin tenggelam di tengah meluapnya kepentingan sektarian dan kelompok. Nilai-nilai spiritualitas pun nasibnya hampir bisa dipastikan, meredup.
Berbicara Islam di Indonesia tentunya tidak dapat dilepaskan dari nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur merupakan salah seorang intelektual Islam Indonesia yang konsen terhadap problematika kebangsaan yang terjadi. Beragam gelar disematkan kepadanya, mulai dari sang demokrat sejati, bapak pluralisme, hingga bapak Tionghoa. Gus Dur dikenal sebagai budayawan, politikus, dan kiai nyentrik yang sarat dengan kontroversi.
Salah satu sisi kehidupan Gus Dur yang patut ditelaah adalah dari perspektif ke-kiai-annya yang nyentrik tersebut. Sebagai Kiai nyentrik, Gus Dur disinyalir memiliki paradigma pemikiran dalam keilmuan tasawuf. Paradigma pemikiran tasawufnya ini dapat ditelusuri dari berbagai tulisannya di media massa. Beberapa tulisannya yang berhasil penulis lacak misalnya, pertama, “Tasawuf dan Kebatinan/Kejawen” (Kompas, 18 Maret 2001); kedua, Nasionalisme, Tasawuf, dan Demokratisasi” (Kompas, 23 Maret 2001); dan ketiga, “Diperlukan Spiritualitas Baru” (Memorandum, 4 April 2002).
Dalam artikel pertama, Gus Dur menawarkan perspektif berbeda terkait aliran Kejawen/Kebatinan yang genealoginya berasal dari ajaran Syekh Siti Jenar. Menurut Gus Dur kaum Sufi Sunni menolak penyebaran paham “Wahdatul Wujud” di ranah publik, bukan di wilayah privat. Penerimaan di ranah privat dibuktikan dengan adanya kepercayaan ajaran “Wahdatul Syuhud” (ajaran mengetahui sebelum terjadi, dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Weruh Sedurunge Winarah). Konsep dan ajaran ini menjadi titik temu antara Islam (tasawuf) dan budaya Jawa (baca: Kebatinan/Kejawen. Dari kedua entitas ini harus diupayakan titik temu kebudayaan (encountering of culture) dan sisi persamaan dari pada menekankan sisi perbedaannya. Salah satu ciri khas budaya Jawa adalah mengutamakan kesantunan dan tenggang rasa. Nilai-nilai seperti ini secara eksplisit ditawarkan oleh tasawuf. Di saat terjadi beragam kasus di dalam negeri kita, pendekatan doktriner dan normatif dalam agama seringkali gagal menemukan solusi dan tawaran-tawaran strategis. Tetapi melalui pendekatan etis-humanis seperti di atas ketegangan antar kelompok, budaya, dan agama dapat diminimalisir.
Sementara itu dalam artikel kedua, Gus Dur menyoroti peran dan urgensi tasawuf dalam upaya pengembangan demokrasi di Indonesia. Terkait bentuk kenegaraan, pilihan antara Islam dan Nasionalisme seringkali muncul ke permukaan. Tuntutan formalisme Islam dalam negara berbenturan dengan pilihan mayoritas rakyat terhadap NKRI. Akibatnya, friksi dan gesekan politik pun tak dapat dihindarkan. Dalam konteks inilah urgensi tasawuf yang mengedepankan dimensi rasa dan batiniah manusia dirasa menjadi salah satu faktor determinan dalam meleburkan sekat-sekat primordial masyarakat kita yang sangat plural dan bahkan multikultural ini. Dikotomi struktur sosial mayoritas-minoritas di Indonesia dapat terjembatani dengan adanya dialog antar umat beragama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Dialog antar umat beragama menjadi penting di tengah menguatnya ruang-ruang eksklusivitas di ranah publik kita. Dengan adanya dialog konstruktif ini prinsip-prinsip persaudaraan dan kesetaraan yang menjadi pilar demokrasi dapat diwujudkan secara nyata.
Sementara dalam artikel ketiga, yang berjudul “Diperlukan Spiritualitas Baru”, menurut Gus Dur (2006: 280-281) diperlukannya agama dalam memandu dunia global saat ini. Artikel ini ditulisnya terkait dengan kecenderungan dunia global yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan. Dalam agama menurutnya terdapat nilai-nilai etis-humanis yang berguna untuk menuntun umat manusia dalam satu titik temu peradaban yang damai.
Konteks artikel tersebut adalah pidato Gus Dur pada sebuah pertemuan Dewan Agama sedunia. Dewan Agama ini yang nantinya akan menjadi penasihat Dewan Keamanan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Menurutnya, sederhana yang dibutuhkan dunia saat ini, yaitu spiritualitas harus kembali berbicara dalam arena politik. Ungkapan Gus Dur tersebut pernah juga dikemukakannya sewaktu menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gakai di Tokyo, pada bulan April 2002.
Dalam analisisnya Gus Dur menyatakan bahwa berbagai organisasi keagamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partai-partai politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Budha terbesar di dunia sejak beberapa dasawarsa, mendukung Partai Komeito (partai bersih), yang menjadi mitra junior bagi Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat itu. Di India juga senada, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) sebuah organisasi keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925, mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan Atal Bahari Vajpayee yang memerintah India saat itu. demikian pula di Iran saat itu, Jam’iyyah al-Taqrib bain al-Mazahib, di bawah pimpinan orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, mendukung presiden Iran Mohammad Khatami. Tak ketinggalan pula, di Indonesia organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama mendukung Partai Kebangkitan Bangsa.
Munculnya fenomena tersebut dikarenakan ternyata agama memiliki sudut pandang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik berbagai bangsa. Di kalangan Kristiani baik Katholik maupun Protestan muncul apa yang dinamakan “tanda-tanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan moralitas. Maka lahirlah “Teologi Pembebasan” (liberation theology) yang digagas oleh Leonardo Boff dan kawan-kawannya di Amerika Latin.
Dalam pandangan Gus Dur kepentingan yang sejati adalah kepentingan yang berpihak pada kemaslahatan publik atau umum (maslahat al-‘ammah), bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Sementara kita melihat dalam dunia politik nilai-nilai etis-humanis seperti tenggelam dan hanya terdengar sayu diterpa derasnya arus kepentingan individu dan golongan. Saatnya kini menggaungkan kembali nilai etis-humanis ini melalui agama (baca: tsawuf sosial) di tahun politik yang penuh dengan intrik dan janji-janji keadilan dan kesejahteraan.
Jamal Ma’mur Asmani (2019: 42-43) mendefinisikan tasawuf sosial dengan ajaran-ajaran tasawuf yang bertujuan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada masyarakat luas (maslahat al-‘ammah). Ciri-ciri tasawuf sosial di antaranya pertama, doktrin tasawuf sosial bercorak membangun kehidupan dunia, bukan membencinya; kedua, menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual; dan ketiga, pembumian di ranah praktis untuk pribadi maupun umat secara keseluruhan, tidak hanya teori.
Mengacu pada definisi dan ciri-ciri tasawuf sosial di atas, paradigma pemikiran tasawuf yang digagas Gus Dur dalam ranah praksisnya jelas menunjukkan akan hal tersebut. Rekam jejak perjuangan kemanusiaannya masih tercatat jelas di kanvas kehidupan berbangsa kita. Di antaranya adalah upaya dan keterlibatannya mendorong pesantren untuk mengembangkan kapasitasnya secara profesional dan pemberdayaan ekonomi umat. Beliau juga aktif mengembangkan kualitas lembaga pendidikan dengan menjadi Rektor Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang. Selain itu pembelaannya terhadap kalangan minoritas di Indonesia menunjukkan sisi humanismenya yang luar biasa. Gagasan bernasnya mengenai diperlukan “dialog antar umat beragama” kini dirasakan betul nilai urgensinya di masyarakat.
Dalam sebuah ceramah di Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan Gus Dur secara tegas menyatakan pilihan tasawufnya. Dalam tradisi Islam, corak tasawuf dibagi dalam dua kategori, akhlaqi/amali dan falsafi. Tasawuf akhlaqi merupakan ajaran tasawuf yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Secara historis kehidupan Nabi Muhammad Saw merupakan pedoman dan anutan yang nyata bagi kalangan Sufi atau ahli tasawuf. Ciri khasnya secara nyata ditunjukkan dengan paradigma pemikirannya yang berupaya menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Tokoh-tokoh sufi yang masuk dalam kategori ini misalnya Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
Sementara itu tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dari Yunani. Ajaran-ajarannya yang berpijak pada pemikiran filosofis filsafat Yunani sulit dicerna oleh kalangan masyarakat bawah. Ciri khasnya ditunjukkan dengan keasyikannya dan tenggelam dalam “pelukan” Tuhan sehingga melupakan makhluk yang seharusnya tetap membutuhkan bimbingan dan arahan. Beberapa tokoh sufi falsafi di antaranya adalah Abu Yazid al-Busthami, Husain Manshur al-Hallaj dan Siti Jenar sendiri dari Tanah Jawa.
Dari dua corak tasawuf tersebut Gus Dur cenderung memilih yang pertama, tasawuf akhlaqi atau amali. Pilihan ini tidak berarti menafikan dan menegasikan corak tasawuf yang kedua. Alasannya sederhana bagi Gus Dur. Gus Dur merupakan sosok pemimpin dengan berjuta umat yang ikut dalam organisasi sosial keagamaan yang besar.
Oleh karena itulah sisi kemanusiaannya menuntunnya untuk menetapkan pilihan pada tasawuf kategori pertama. Tak berlebihan pula jika dinyatakan bahwa paradigma pemikiran tasawufnya bercorak teo-antroposentris. Selain bersumberkan al-Qur’an dan Hadits, juga menghadirkan humanisme tingkat tinggi (high level of humanity).
Nilai-nilai spiritual dan humanisme Gus Dur inilah yang signifikan untuk diunggah kembali dimana budaya saling menghujat dan menghakimi marak kita temukan di media sosial. Walhasil, tasawuf sosial Gus Dur yang terpotret dalam rekam jejak spiritualitasnya relevan dijadikan rujukan, terutama di tahun politik.