“Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik,” inilah istilah ini sering digunakan dalam mempertahankan tradisi turun-temurun yang dianggap baik dan dilaksanakan sampai saat ini. Seperti yang terjadi di Indramayu, daerah dengan hamparan persawahan 57.94 % dari wilayahnya yang kurang lebih 118.011 hektar ini mayoritas penduduknya adalah petani.
Lazimnya daerah agraris lainnya yang memiliki adat dan tradisi “sedekah bumi” dan “mapag sri” pada saat panen, maka Indramayu pun memiliki tradisi “Ngarot” sebagai tanda bahwa masa bercocok tanam (tandur) telah dimulai.
Tradisi ini masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat Indramayu, yakni pada kecamatan Lelea dan Cikedung. Istilah Ngarot sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Ngawurat yang bermakna “membersihkan diri dari segala dosa akibat kesalahan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu”. Adapun dalam bahasa Sunda Kuno berarti “minum yang dilakukan oleh kasinoman (anak muda)”.
Faktor pembeda utama dari pelaksanaan Ngarot dengan adat tradisi lainnya adalah pada segi pelakunya, yakni para anak muda, bukan orang tua. Ini tidak lazim.
Upacara adat ini mempunyai sejarah panjang turun-temurun yang berawal dari gagasan Ki Ageng Gelito atau Ki Kapol, seorang petani dan tokoh karismatik di Desa Lelea yang memiliki lahan sawah yang luas, namun tidak memiliki keturunan. Hasil panen yang melimpah dan sifatnya yang ramah dan loyal, tak sedikit orang dari kalangan muda dan tua berkumpul di kediamannya untuk sekedar menikmati jamuan.
Kebiasaan ini pun berlangsung terus-menerus. Pada akhirnya Ki Kapol memanfaatkannya untuk membuat kegiatan yang bertujuan mempersatukan kawula muda, yakni dalam bentuk gotong royong untuk memanfaatkan lahan sawah miliknya seluas 26.100 m2. Gagasan ini disambut baik oleh mereka, dan akhirnya terbentuklah Adat Ngarot sebagai bagian dari tradisi masyarakat.
Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini tetap berlanjut dan menjadi salah satu icon budaya di Indramayu. Namun terjadi beberapa perubahan pelaksanaan, yakni bukan berupa adat upacara saja, akan tetapi dimeriahkan juga dengan karnaval/pawai yang diikuti oleh masyarakat sekitar.
Perwakilan pemuda dan pemudi daerah tersebut mengenakan pakaian adat yang kaya akan simbol dan falsafah hidup. Untuk para pemudi menggunakan mahkota yang tersusun dari berbagai macam bunga (kenanga, cempaka, melati, dan soka) sebagai tanda kecantikan seorang perempuan.
Mahkota bunga tersebut dianggap sebagai pengingat bahwa seorang perempuan harus memiliki tata krama yang lembut, sehingga ia bisa menebarkan aroma keharuman di setiap langkah dan kehidupannya.
Baju kebaya yang mereka pakai juga menjadi simbol bahwa seorang perempuan harus bersahaja, penggunaa tapi (sewet) juga memiliki arti bahwa perempuan harus berhati-hati dalam melangkah. Adapun selendang yang tersampirkan di pundaknya menjadi simbol bahwa perempuan harus menjaga kehormatannya.
Tak kalah dengan pemudi, para pemuda juga menggunakan pakaian adat berupa komboran (baju hitam dan celana hitam), yakni sebagai simbol bahwa laki-laki harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Pemakaian kain sarung yang diselendangkan juga bermakna bahwa suatu saat mereka akan mengemban tugas.
Adapun Ikat kepala yang mereka pakai merupakan simbol bahwa para pmuda harus menyatuan pikiran mereka untuk membangun kemajuan desanya. Tak lupa keris atau kujang juga mereka bawa, yang bermakna bahwa laki-laki harus tajam dalam berpikir. Itulah simbol-simbol yang dipercaya oleh masyarakat Lelea.
Pawai ini berlangsung dari rumah kepala desa dan berakhir di balai desa. Setelah itu barulah dimulai adat upacara Ngarot yang dilakukan oleh kepala desa, tetua desa, raksa bumi, dan lebe setempat.
Upacara diawali dengan pembacaan singkat sejarah Ngarot, sambutan-sambutan, dan penyerahan seperangkat alat pertanian secara simbolis berupa pemberikan benih padi unggul, kendi berisi air, pupuk, alat pertanian, dan sepotong ruas bambu kuning oleh kuwu dan pamong desa kepada perwakilan pemuda-pemudi yang telah ditunjuk. Ini merupakan tanda bahwa penanaman padi dan irigasinya akan segera dimulai.
Serangkaian upacara adat Ngarot ini awalnya bertujuan untuk mengumpulkan para pemuda dan pemudi yang akan diserahi tugas dalam pembangunan di bidang pertanian.
Pada dasarnya yang paling utama dari pertemuan tersebut adalah agar mereka menyadari bahwa tidak lama lagi akan turun ke sawah, bekerja dan mengolah sawah bersama-sama secara sukarela, yang dikenal dengan istilah ‘durugan’. Pada saat itu masyarakat masih meyakini bahwa sawah warisan akan baik hasilnya jika digarap oleh para pemuda.
Namun adat upacara yang dilakukan saat ini cenderung simbolisasi saja. Pada pelaksanaannya para pemuda tidak lagi menuju sawah secara langsung untuk melakukan penanaman padi. Akan tetapi langsung dilanjutkan dengan acara-acara hiburan. Salah satu hiburannya adalah tari topeng, ronggeng dan dangdutan. Maka pelaksanaan adat Ngarot saat ini pada dasarnya adalah hiburan semata dan pesta kesenian yang dinikmati masyarakat.
Meskipun demikian, adat ini tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat, selain karena kaya akan simbol dan filosofinya, juga sebagai bukti bahwa tanah Wiralodra Dharma Ayu ini juga memiliki banyak tradisi menarik untuk diingat kembali. Juga menjadi ajang dalam memberikan wadah dan keuntungan kepada masyarakat yang berdagang pada saat kegiatan ini berlangsung