Habib Ali bin Abdurrahman al Jufri atau yang karib dengan nama habib Ali al Jufri adalah salah satu habib yang dikenal sangat moderat dan selalu mendakwahkan ajaran Islam yang rahmah. Hari-hari ini beliau tengah melangsungkan rihlah dakwahnya ke berbagai kota dan pesantren di Indonesia. Malam tadi beliau berkesempatan mengisi sebuah majlis di Pesantren Darul Halim, Bandung.
Seperti biasa beliau menyampaikan pesan-pesan seputar Islam yang rahmah, mencintai Nabi saw dan pentingnya mencintai negara. Beliau juga tidak lupa menyinggung tren politisasi agama yang belakangan gencar dilakukan di beberapa negara. Beliau secara tegas mengecam keras aksi pihak-pihak yang “memperkerjakan” Islam sebagai alat politik semata. Hingga pada akhirnya Islam malah seakan-akan diposisikan sebagi biang konflik.
“Kita ingin religius dalam berpolitik tapi kami tidak ingin mempolitisasi agama”, tegas beliau. Beliau mencontohkan upaya politisasi agama bisa dengan cara seorang Khatib naik ke mimbar lalu berkata: “Yang tidak memilih si Fulan maka dia kafir”. Inilah orang yang kriminal, kata Habib Ali.
Beliau menambahkan, orang semacam ini tidak boleh naik mimbar. Sungguh berdosa besar jika ada yang menggunakan mimbar untuk menteror orang lain dalam politik dengan mengatasnamakan agama. Hal itu sebab di sebuah negara demokrasi orang bebas memilih siapa saja yang ia kehendaki.
Habib Ali menganjurkan, para khatib mustinya menyerukan umat untuk memilih calon pemimpin yang amanah, yang bertaqwa, dan jangan mau disuap. Inilah sebenarnya fungsi mimbar. Dan jika mimbar malah dijadikan untuk mempolitisasi agama maka ini akan menjadi kerugian besar bagi Islam itu sendiri. Orang-orang akan menganggap agama sebagai biang kericuhan. Akan banyak yang ingin menjadi sekuler atau bahkan ateisas. Sebab agama dieksploitasi. Kita harus memahami bahwa Agama ialah moral. Jika ada kebohongan di dalam penyampaiannya maka akan ada resistensi.
Tidak ketinggalan, beliau secara khusus mengkritik ulama yang enggan mengamalkan ilmunya dan menjadi tauladan bagi umatnya. Beliau membacakan sebuah hadis bahwa kelak yang pertama kali dibakar di neraka ialah para Ulama yang tidak mengamalkan ilmunya, dan yang lalai mensucikan jiwanya. Seorang cerdik pandai ialah dia yang sukses mensucikan jiwanya serta senantiasa sibuk dengan makna-makna cinta.
Habib Ali juga mengingatkan tentang pentingnya mencintai negara dan bukan membela mati-matian pada partai atau rezim. Jangan mempercayai isu-isu yang tidak jelas semisal bangkitnya komunis. Sebab sekarang komunis sudah habis bahkan di tempat asalnya ideologi tersebut. Peperangan di belahan bumi lainnya sebetulnya tidak karena konflik agama atau ideologi melainkan murni politik dan ekonomi.
Yang terpenting ialah bagaimana kita membina generasi-generasi kita dan menyebarkan kalimat tahlil dan nur tauhid. Jangan terima sekolah yang mengindoktrinasi tentang islamisasi, atau liberalisme dan sebagainya. Beliau berpesan untuk senantiasa mengajarkan kepada murid-murid kita untuk menjaga negara ini. Sebab ini era jatuhnya negara-negara, yang kesemuannya akibat konflik politik bukan agama. Agama hanya dijadikan perantara semata. Pemimpin bisa berganti namun pondasi yang bernama negara harus tetap dijaga.
“Jangan pernah terima siapa saja yang hendak menggoyahkan negara kalian. Sebuah negara tidak akan rusak selagi menjaga kuliyyat khamsah (menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan),” pesan beliau.
Dalam sesi tanya jawab, ada pertanyaan, bagaimana kelak kita bisa dikenali Rasulullah di akhirat nanti?
Beliau menjawab bahwa Nabi saw bisa mengenali ummatnya dari bekas wudlu dan salawat yang dibacakan umatnya kepadanya. Semakin banyak selawat dibacakan kepada Nabi Muhammad maka semakin dekat dirinya dengan Nabi SAW dan sebagai tanda kuatnya pertalian cinta di antar keduanya. Sebab kata beliau, “cinta adalah jalan menuju kebersamaan.”
Di akhir acara beliau memberikan ijazah berupa talqin. Ijazah yang bersambung hingga Rasulullah saw tersebut didapat beliau dari Syaikhnya yang mendakwahkan Islam di Afrika Timur. Tak kurang dari tiga ratus ribu orang telah menjadi muallaf melalui bimbingannya. Semoga kalimah Laa ilaaha illallah akan kita pertahankan hingga kita menutup usia. Amin Allahumma Amin…. (Mutarjim: Habib Ali Ridho)