Indonesia kehilangan cendekiawan penting, Mudaham Taufick Zen atau biasa dikenal dengan M. T. Zen pada 24 Mei 2022. Ia adalah salah seorang berpengaruh dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu saat, publik akan terus mengenang sosok itu. Baik sebagai guru besar ilmu geofisika di Institut Teknologi Bandung, Wakil Direktur Yayasan Obor Indonesia, hingga keterlibatannya sebagai asisten untuk menteri Negara Riset (Kabinet Pembangunan II) dan Menteri Riset dan Teknologi (Kabinet Pembangunan III).
Di tahun 1981, ia menyusun buku berjudul Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Buku diterbitkan oleh Gramedia atas kerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Di sana M. T. Zen sebagai editor. Selain tulisan yang dihadirkan, buku itu juga melampirkan beberapa tulisan dari H. Poincare dan J. Bronowski.
Satu bab awal dengan judul sama seperti buku memuat gagasan Zen. Ia mengetengahkan sejarah dan perkembangan sains, keberadaan cabang-cabang ilmu sains kealaman, hingga antisipai yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi perubahan zaman. Ia membicarakan sains kealaman tidak berdiri sendiri, namun berkait dengan sosial, filsafat, dan kamanusiaan.
Di salah satu bagian tulisan, ia memberikan catatan akan tantangan keberadaan sains yang memungkinkan munculnya keterasingan manusia. Tantangan itu masing-masing berupa: 1. Dilampauinya batas daya tampung bumi, 2. Kompleksitas, spesialisasi dalam sains dan teknologi yang terlalu jauh, 3. Timbulnya masyarakat konsumen, dan 4. Ancaman bahaya perang nuklir besar-besaran.
Itulah mengapa Zen mencetuskan istilah sains bukan satu panacea atau pelipur lara. Keterkaitan itu Zen memberikan keterangan: “Jelas, bahwa dunia manusia membutuhkan suatu filsafat sosial (social philosophy) baru yang mampu memberikan arah perkembangan sains dan teknologi di kemudian hari. Bukan itu saja, kini dibutuhkan filsafat sosial dengan pandangan-pandangan baru yang harus memberi arah kepada perkembangan dunia sebagai keseluruhan.”
Penjelasan membawa pada struktur keberadaan sains dan teknologi. Ia berkaca pada sejarah lampau akan keberadaan sains dan teknologi yang cenderung bergerak dengan sendiri-sendiri. Dengan menaruh pada tugas pemenuhan fungsi sosial, ia menegaskan peran manusia seiring waktu perlu penuh perhatian dalam menggunakan kemajuan teknologi. Tak terkcuali Indonesia yang baginya memiliki peradaban dan tata nilai yang tua. Sebagai kesimpulan ia mengimajinasikan perpaduan antara analisis Barat dan kearifan berpikir Timur.
Petuah itu agakanya penting menjadi renungan pada abad XXI. Pembabakan antara Barat dan Timur kita teringat sosok Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai sosok penting dalam mengagas kemajuan untuk perkembangan Indonesia, meski banyak gagasan dikritik oleh berbagai pihak. Kita kemudian tergerak dengan sebuah buku yang dipersembahkan untuk 80 tahun STA, dengan judul Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke 21 (Dian Rakyat, 1988).
Di sana M. T. Zen ikut urun tulisan. Tulisannya berjudul Energi, Sumber Daya, Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Berkesinambungan. Tulisan panjang, padat, dan penuh analisis. Namun, perlu diberi penegasan bahwa tulisan itu penting. Di sana ia membahas jenis-jenis sumber daya energi. Sekian jenis tersebut: sumber daya energi fosil, batu bara, nuklir, tenaga surya, biomassa, geotermal, dan masih banyak lagi.
Keterangan mangajak berpikir tentang energi, satu kata yang terus populer hingga abad XXI. Ia resah akan keberlanjutan lingkungan atas pembicaraan energi. Kalimat perlu dikutip: “Pandangan manusia terhadap alam kini masih terlalu mekanistik dan terlalu teknokratik”. Manusia dengan lingkngan hidup wajar saja seiring perkembangan zaman terus menampakkan masalah serius. Gagasan Zen tengang itu secara lengkap dapat kita lihat dengan bukunya Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup (1978).
Melalui buku Guru-Guru Keluhuran (Kompas, 2010) yang dieditori St. Sularto, kita menemukan spotong kisah hidup M. T. Zen dengan tulisannya, Menjelajah Alam Semesta. Ia berkisah masa kecil di tempat kelahirannya Mentok, Bangka, bacaan yang disediakan orang tua, hingga peran guru yang membangkitkan minatnya terhadap sains. Ia terlahir pada 14 Agustus 1931. Masa kecilnya melalui ayahnya disediakan Madjalah Pandji Pustaka dan Pandji Masyarakat.
Ayah dalam pengakuannya seorang otodidak dan hanya berpendidikan SD saja. Namun, sosok tersebut memberi banyak sumbangan akan ragam keilmuan. Pengakuan Zen: “Di sepanjang perjalanan-perjalanan seperti itulah ayah bercerita tentang Newton (itu satu-satunya ilmuwan fisika yang dia ketahui), tetapi dia banyak bercerita tentang petualangan seperti Sven Hedin, Fritjhoff Nansen, Roald Amundsen, terutama Sven Hedin dengan buku-bukunya: Padang Gobi Mongolia, Karakroum, dan Dari Kutub ke Kutub”.
Di luar itu ada sederet nama ilmuwan yang terceritakan dari seorang ayah. Perjalanan sekolah membawa perjumpaan dengan seorang guru ketika di Herstel Mulo, Pangkalpinang. Guru bernama Ir. Van Diemen de Jel. Kenangan tercatat: “Dialah yang meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan alam dan ilmu pasti dan merangsang aku untuk lebih jauh menelusuri filsafat science, mulai dari para ilmuwan zaman Yunani terus ke Tycho Brahe, Kepler, Copernicus, Galileo hingga Newton. Keluarga dan guru menjadikan Zen meniti jalan keilmuan sebagaimana yang tergambar dalam pikirannya saat remaja.
Kita membaca Majalah Tempo edisi 28 Januari 1984 di bagian Surat dari Redaksi. Pihak redaksi memberi penjelasan rubrik dimajalah yang diasuh olehnya. Rubrik dinamakan Teleskop dengan cakupan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada keterangan: “M. T. Zen. Seorang guru besar ilmu geofisika terkemuka Indonesia, bukan orang baru di dunia karya tulis: ia termasuk sastrawan yang dihormati, dengan karya-karyanya di majalah Horison dengan pemikiran filsuf Prancis, Albert Camus”.[]